Nasional

Infeksi Kulit Pascabanjir: Apa Saja Gejala yang Tak Boleh Diabaikan Pengungsi?

Channel9.id – Jakarta. Banjir dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra dan Aceh tidak hanya merusak pemukiman, tetapi juga memunculkan persoalan kesehatan di lokasi pengungsian. Salah satu dampak yang kerap muncul adalah meningkatnya kasus penyakit kulit akibat kondisi lingkungan yang lembap, padat, dan minim fasilitas kebersihan.

Paparan air banjir yang tercemar menjadi faktor utama munculnya berbagai keluhan kulit pada korban bencana. Situasi ini semakin berisiko ketika pengungsi terpapar dalam waktu lama tanpa perlindungan dan sanitasi yang memadai.

Dosen Fakultas Kedokteran IPB University dr Widya Khairunnisa Sarkowi menyebut peningkatan penyakit kulit hampir selalu terjadi pada fase tanggap darurat bencana. Pola serupa juga tercatat di berbagai negara yang kerap mengalami banjir dan berulang di banyak wilayah Indonesia.

“Air banjir biasanya bercampur lumpur, sampah rumah tangga, kotoran, hingga bangkai. Kombinasi ini sangat ideal untuk menimbulkan penyakit kulit, terutama ketika warga terpapar dalam waktu lama,” kata Widya, dikutip dari laman resmi IPB.

Ia menjelaskan bahwa jenis penyakit kulit yang paling sering muncul meliputi dermatitis kontak, infeksi jamur, dan infeksi bakteri. Keluhan ini dapat dialami oleh siapa pun, tetapi risikonya meningkat pada warga yang tinggal di pengungsian dalam kondisi serba terbatas.

Menurut Widya, dermatitis kontak umumnya ditandai kulit merah, gatal, dan perih akibat paparan air banjir atau bahan pembersih. Sementara itu, infeksi jamur dan bakteri sering muncul pada area tubuh yang lembap atau pada luka terbuka yang tidak tertangani dengan baik.

“Yang paling sering muncul adalah dermatitis kontak, infeksi jamur, dan infeksi bakteri. Ini menjadi pola umum pascabencana,” jelasnya.

Selain penyakit kulit akibat paparan langsung, korban banjir juga kerap mengalami luka traumatik selama proses evakuasi. Luka akibat tersayat puing atau benda tajam menjadi pintu masuk kuman karena lingkungan sekitar tidak higienis dan sulit dijaga kebersihannya.
Widya menekankan bahwa gejala infeksi kulit yang semakin berat tidak boleh diabaikan karena dapat menandakan penyebaran infeksi ke jaringan yang lebih dalam. Penanganan yang terlambat berisiko menimbulkan komplikasi, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, ibu hamil, dan penderita penyakit kronis.

“Kulit yang memerah luas, bengkak, hangat, atau terasa sangat nyeri dapat menandakan infeksi yang semakin dalam. Jika luka tampak memburuk, mengeluarkan nanah, berbau, atau disertai demam, warga harus segera mencari pertolongan medis,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa keterbatasan akses air bersih dan layanan kesehatan di pengungsian membuat pencegahan menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap tanda awal infeksi kulit menjadi penting agar kondisi tidak berkembang menjadi lebih serius.

Lebih lanjut, Widya mengimbau masyarakat tetap berupaya menjaga kebersihan diri semampunya dan tidak mengabaikan keluhan pada kulit. Deteksi dini dan penanganan cepat dinilai menjadi kunci untuk mencegah dampak kesehatan yang lebih berat pascabencana.

“Prinsipnya adalah bersihkan, keringkan, dan lindungi. Setelah terpapar air banjir, segera cuci bagian kulit yang terasa gatal atau muncul ruam dengan air bersih dan sabun, lalu keringkan dengan handuk bersih,” pungkasnya.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

68  +    =  72