Opini

Jadi Ekonom Sekuler

Oleh: Awalil Rizky*

Channel9.id-Jakarta. Cuitan saya di akun Twitter nyaris selalu berupa satu grafik atau diagram tentang data satu aspek dari ekonomi Indonesia. Kadang disertai simpulan umum. Saya tak menanggapi mereka yang sampaikan pandangannya atas itu. Tidak juga membalas komentar yang menafsirkannya dalam konteks pro atau anti pemerintah. Biasanya hanya menjawab komen yang sifatnya bertanya atau mau klarifikasi sumber data atau metodologi yang dipakai dalam cuitan itu.

Belakangan ini, ada satu dua orang yang komennya ditanggapi terkait dengan rangkaian cuitan saya tentang inflasi. Sebenarnya agak diluar kebiasaan, cuma lagi ingin tahu saja.

“Inflasi itu karena riba” komen sesorang atas cuitan berisi data inflasi 7 kelompok barang selama 7 tahun (2012-2019). Komen itu disertai lampiran ceramah ulama (doktor ekonomi Islam). Terus terang saya tidak menontonnya. Saya sampaikan komen balik untuk memastikan barangkali ada informasi yang saya tidak tahu. Saya  tulis,” Ada informasi tentang negara yang tidak ada inflasinya? Mohon dishare datanya untuk saya pelajari”

Dibalas olehnya, “Kalau negara setahu saya tidak ada karena selagi Negara itu ada bank konvensional dan praktek-paktek riba. Kalau berbicara alat tukar ada. 14 abad yg lalu sahabat Ali bin abi thalib membeli Domba dengan uang 1 dinar (uang emas 4,25 gram). Sekarang dengan 1 dinar masih kebeli Domba. (Komennya banyak pakai singkatan karena keterbatasan twit)

Saya jawab, “Jangan cuma harga domba. Inflasi itu harga seluruh barang dan jasa. Kan nggak cuma makan domba? Sekali lagi, jika ada data negara yang tidak inflasi, saya mau pelajari. Arab Saudi juga inflasi. Saya lampirkan grafik inflasi Arab Saudi selama 10 tahun terakhir.

Komen berbalas komen berlanjut tentang dinar dirham dan penjelasannya bahwa bukan soal domba, melainkan nilai emasnya. Pada dasarnya saya ingin menyampaikan pendapat bahwa bagaimana mencampurkan antara soalan emas dengan dinar-dirham sebagai mata uang. Karena ketika diminta di negara mana saat ini berlaku, tidak disebutkan.

Sebenarnya, komen-komen (kini ada 2 orang) berusaha menjelaskan tentang uang dengan standar emas dan semacamnya yang saya ketahui sejak dulu memang ada dasar pikirannya secara ilmiah. Namun cara pengutaraan mereka tampak lucu bagi saya, sehingga saya tanggapi terus. Mungkin dalam pandangan mereka, bapak ini kok bebal ya.

Salah satu komen saya begini, “Keliru jika uang emas tidak inflasi. Jelas harga emas naik dan turun. Jika harga domba sama dgn 14 abad lalu artinya kenaikan harga domba sama dengan emas. Kecuali semua barang (jutaan jenis) sama harganya.”

Saya tambahi, “Dengan apa mengukur emas tidak naik atau turun. Harus ada ukuran untuk tahu berubah atau tidak. Kalo dengan dirinya sendiri bercermin namanya.

Salah satu dari mereka bersikeras, “Menurut saya nilai emas itu tetap pak, yang naik atau turun nilai mata uang nya, maka asumsi bahwa harga emas itu naik, secara hakiki sebetulnya nilai uang yang turun. Perhatikanlah nilai mata uang yang tidak di back up emas di seluruh dunia, akan terus turun terhadap emas”.

Tentu saja pandangan dia tak sepenuhnya salah, tetapi saya mau tahu argumennya seberapa kuat. Kasih contoh uang yang dibackup emas dan nilainya tidak naik atau turun. Saya mau mempelajarinya. Dinar emas dan dirham perak. Ini mata uang di negara mana? Kasih data perkembangannya dan lalu inflasinya apa nol? Atau gimana tahunya bernilai tetap. Jangan kasih contoh domba lagi. Saya berhaji sekali dan umrah beberapa kali diminta bayar qurban domba pakai riyal, jadi saya nggak tahu ukuran dinarnya.

Langsung dibalas, “Nah.. di tempat kelahiran nabi saja tidak dipakai mata uang itu.. karena cenderung akan di hancurkan oleh sistem.. Ok pak cukuplah.. kuliahnya. Terima Kasih pak.”

Saya kira sudah selesai setelah dibalas oke. Ternyata masih ada lagi dari dia, cuma sudah keluar dari konten diskusi, ad hominem. Beberapa komen lain sebelumnya juga tidak saya sajikan di sini, karena pada dasarnya argumen pengulangan.

Yang menarik, sehari kemudian dari satu orang lainnya (saya kurang faham apa mereka saling kenal). Komen sampai empat cuitan. Ringkasnya, “Maaf prof @AwalilRizky. Saya tidak menolak atau membantah apa yg bapak sampaikan, saya melihat dari sisi lain. Kalau para ilmuan dan para Ahli melihat dari angka2, data2 dan lainnya kalau para ulama melihat dari perilaku masyarakat, kemudian dosa/maksiat/kemungkaran. Contohnya ekonomi terpuruk(nyungsep). Para ulama khususnya yang menguasai fikih muamalah memandang karena 1.Beredar dan berkembangnya Riba di masyarakat 2. Mengabaikan yg haram (mendapatkankan harta dari perilaku yg zalim , gharar dan riba). Dan lain2.”

Semula saya jawab begini, “Ya boleh banget begitu. Aku kerjakan bagianku yang sesuai kapabilitasku. Aku nggak mampu berbicara sebagai ulama begitu. Silakan yang berkompeten.”.

Tapi karena ternyata cuitannya panjang, saya tak bisa menahan diri untuk tidak menambahkan komen lagi, “Bagus jika kita berpandangan demikian untuk memperbaiki diri. Cuma orang boleh aja berpendapat sejauh ini yang ekonominya bagus bertahun-tahun itu Amerika dan China.

Astaga, apa karena saya sudah saking tidak Islaminya ya, sehingga mereka ngotot mau membuatku tobat. Ada beberapa nasihat mereka yang tak  saya tulis disini, malu.

Bagaimanapun, saya masih akan beri kuliah ekonomi lagi aja dulu lah tiap hari. Cuit ekonomi tiap hari. Dan jelas sebagian besarnya ala sekuler. Siapa tahu nanti ada yang memperbaiki pandangan saya dengan cara yang lebih cerdas, dan berhasil mengislamkan pandangan ekonomi saya.

*Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6  +  1  =