Nasional

Jalan Jihad Penjual Siomay Literasi (1)

Oleh: Tim Rumah daulat Buku (Rudalku)

Channel9.id – Jakarta. Kristianto tumbuh dari keluarga yang menghormati perbedaan. Saat bekerja di perantauan, ia sempat terjerembab ke dunia judi dan narkoba. Kini, ia bergerak di dunia pencerahan intelektual melalui gerobak motor siomay literasi kelilingnya.

“Nama Kristianto biasanya kritikus atau ilmuan ya?!” ujar Kristianto saat memperkenalkan nama dirinya. Tapi, ada Kristianto yang memiliki peran mulia, berdagang sambil memberi pencerahan melalui bacaan.

Dialah Kristianto yang memiliki pengalaman menghuni Lapas Cipinang kemudian memilih profesi sebagai penjual siomay keliling di wilayah Sukoharjo sambil membawa bacaan untuk anak-anak atau siapa pun yang berminat.

“Saya biasa simpan bacaan di box sisi kanan tempat siomay,” ujar Kristianto menunjuk motornya yang sudah siap berjualan keliling.

“Saya simpan di Kristianto bersama gerobak motor dagangannya dalam. Kalau ada anak-anak, saya keluarkan. Kalau sore di desa Gumpang itu banyak anak-anak. Mereka senang membaca cerita detektif conan,” demikian kata dia.

Sosoknya kini memilih menjadi jihadis literasi, berjihad melalui bacaan, melaksanakan perintah Allah “Iqro!” bacalah! Selain berkeliling, Kristianto juga sudah merancang sebuah lokasi dagang khusus di sebuah kompleks pertokoan di dekat pusat pemerintahan Kota Solo yang ada sudut baca.

Kristianto tidak menampik bahwa dalam Islam ada ajaran jihad secara fisik. Tapi, jihad secara fisik yang bertujuan membantu agama Allah terikat konteks. Dalam kondisi damai, ia berpandangan, menjadi marbot rumah ibadah juga sudah membantu agama Allah, tidak harus perang.

“Jihad tertinggi memang qital, berperang, tapi sekarang bukan waktunya,” katanya.

Anak Kejawen Ikut ke Masjid

Kristianto lahir di Kota Solo, 23 Oktober 1977 dari orang tua yang bertoleransi. Meski Hadi Sunaryo sang bapak seorang kejawen dan ibunya Suliyem penganut aliran kepercayaan tapi keduanya memberi kebebasan kepada anaknya untuk memeluk keyakinan.

“Bapak pernah bilang, ‘Le, kowe arep dadi milu agama opo? Katolik opo Kristen ning gerejo, Hindu ning puro, nek Islam ning masjid. Sak karepmu’,” ujar Kristianto meniru ucapan sang ayah. (Nak, kamu mau ikut agama apa? Katolik atau Kristen ibadahnya gereja, Hindu di pura, kalau Islam di masjid. Terserah kamu).

Kristianto tinggal bersama orang tua dan seorang kakak perempuan di kampung Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo. Bapak-ibunya berasal dari luar Solo, sang bapak berasal dari Karang Pete, Salatiga, sementara ibunya dari Gunung Kidul, Wonosari, Yogyakarta. Keduanya sama-sama merantau, lalu menikah dan menetap di Solo.

“Bapak punya dua istri, dan saya lahir dari istri kedua,” ujar Kristisnto.

Teman-teman sepermainan Kristianto berjasa membawanya menjadi seorang muslim. “Karena di lingkungan saya banyak yang Islam, saya ke masjid. Ke masjid pun ikut-ikutan,” ujar Kristianto.

Melihat anaknya suka ke masjid, sang bapak membuatkan padasan dari tong untuk berwudu. “Kedua orang tua saya tidak sholat, meskipun di kolom KTP tertulis Islam. Emak saya, kalau ada hujan, membaca mantra Jawa,” ujar Kristianto.

Saat kanak-kanak, Kristianto lebih senang berada di rumah, malam hari baru pulang. Sang bapak tidak keberatan dengan sikap dirinya, tapi menyampaikan pesan agar tidak berbuat nakal. “Le, ojo aneh-aneh. Orang tua milu gatut. Orang tua rak ngerti opo-opo, kalo ada anaknya di luar nakal, ditanya anake sopo toh?” ujar sang bapak yang masih diingat Kristianto. Kristianto pun mengikuti nasihat bapaknya. “Saya tidak suka bertengkar, minum pun tidak suka.”

Selain belajar di SDN Wiropaten 1, Kristanto juga belajar di Madrasah Al-Fajar pada sore harinya. Namun, di sekolah madrasah terkadang ia masuk kadang tidak.

“Kalau ada iming-iming, ‘nanti dapet buku’, datang. Akhirnya, di SD ia lulus, sementara di madrasah tidak. (Bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

86  +    =  93