Opini

Jangan Biarkan Semangat Kartini Hanya Menjadi Seremoni Tahunan

Oleh: Eva Riana Rusdi*

Channel9.id-Jakarta. Setiap 21 April, nama Raden Ajeng Kartini kembali menghiasi berbagai platform media sosial, spanduk, dan menjadi tema utama dalam berbagai acara. Sosok perempuan kelahiran Jepara tahun 1879 ini selalu diperingati sebagai simbol emansipasi wanita Indonesia. Namun, di balik perayaan dan seremoni tahunan yang penuh dengan kebaya dan upacara, kita perlu bertanya: sudahkah kita benar-benar menghayati dan meneruskan perjuangan Kartini?

Kartini yang kita kenal lewat buku “Habis Gelap Terbitlah Terang” bukanlah sekadar ikon feminisme. Ia adalah seorang pemikir visioner yang melihat jauh ke depan tentang kondisi bangsanya. Pemikiran Kartini tidak hanya berkutat pada isu kesetaraan gender, tetapi juga pada pendidikan, budaya, dan kemajuan sosial secara menyeluruh. Dalam surat-suratnya kepada sahabat penanya di Belanda, Kartini mengungkapkan keresahannya terhadap budaya feodal, keterbatasan akses pendidikan, dan praktik-praktik tradisional yang menghambat kemajuan perempuan pribumi.

Di era digital dan globalisasi saat ini, pertanyaannya: apakah semangat Kartini masih relevan? Jawabannya adalah sangat. Meski secara formal perempuan Indonesia telah memiliki akses yang lebih luas ke pendidikan dan dunia kerja, faktanya ketimpangan gender masih terasa di berbagai lini. Data BPS menunjukkan bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan masih lebih rendah dibandingkan laki-laki. Perempuan masih dihadapkan pada “glass ceiling” di dunia profesional dan “double burden” antara karir dan tanggung jawab rumah tangga.

Pernikahan dini, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan perdagangan manusia masih menjadi ancaman nyata bagi perempuan Indonesia. Bahkan di era digital, perempuan menghadapi bentuk kekerasan baru seperti cyber harassment, body shaming, dan penyebaran konten intim tanpa persetujuan. Isu-isu ini menunjukkan bahwa perjuangan Kartini belum selesai.

Yang memprihatinkan, peringatan Hari Kartini kerap kali justru tereduksi menjadi ritual kosong. Lomba memasak, fashion show kebaya, dan kontes kecantikan yang sering menjadi agenda peringatan Hari Kartini justru bertentangan dengan esensi perjuangan Kartini yang menentang keterbatasan peran perempuan. Kartini tidak pernah bermimpi perempuan Indonesia hanya pandai berdandan dan memasak, tapi ia ingin perempuan memiliki pikiran yang bebas, mendapatkan pendidikan yang setara, dan berkontribusi nyata bagi masyarakat.

Maka dari itu, mari kita kembalikan esensi Hari Kartini dengan aksi nyata. Bagi para orang tua, didiklah anak perempuan dan laki-laki dengan perlakuan yang setara tanpa stereotip gender. Bagi para pendidik, tanamkan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan sejak dini dalam kurikulum pendidikan. Bagi para pembuat kebijakan, pastikan bahwa setiap regulasi yang dihasilkan responsif gender dan melindungi hak-hak perempuan.

Bagi perusahaan dan institusi, ciptakan lingkungan kerja yang ramah terhadap perempuan dengan kebijakan cuti melahirkan yang layak, fasilitas penitipan anak, dan kesetaraan gaji. Bagi para aktivis dan organisasi masyarakat, teruslah menyuarakan isu-isu perempuan dan memberikan pendampingan bagi korban kekerasan berbasis gender.

Dan yang tidak kalah penting, bagi kita semua sebagai masyarakat, mari kita bersama-sama menciptakan lingkungan yang aman dan setara bagi perempuan. Mulai dari hal sederhana seperti tidak melontarkan komentar yang merendahkan perempuan, tidak menormalisasi kekerasan, hingga berani bersikap ketika menyaksikan ketidakadilan gender.

Kartini pernah menulis, “Aku ingin bebas, agar aku dapat berdiri sendiri, tidak bergantung pada siapapun, agar aku dapat mengatur hidupku sendiri.” Kata-kata ini masih sangat relevan hingga kini. Kebebasan dan kemandirian perempuan masih menjadi perjuangan yang belum selesai.

Jadi, di Hari Kartini yang ke-146 ini, kita mesti mewujudkan semangat Kartini melalui tindakan nyata, bukan sekadar seremoni tahunan. Kartini bukan hanya ikon yang diabadikan dalam poster atau nama jalan, tetapi inspirasi yang harus hidup dalam setiap kebijakan, tindakan, dan pemikiran kita sehari-hari. Dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa perjuangan Kartini tidak sia-sia dan cita-citanya untuk perempuan Indonesia yang berdaya terus hidup sepanjang masa.

Baca juga: Mengenang Jejak Perjalanan Sejarah Film Indonesia

*Kandidat Doktor Sejarah Universitas Indonesia – Rafflesia Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

45  +    =  47