Oleh: Yahya Ansori
Channel9.id – Jakarta. Bantuan anggaran pendidikan dari pemerinah pusat ke Kabupaten Indramayu ditengarai menyimpang. Banyak sekolah yang tidak berhak justru mendapat sokongan. Kepala-kepala sekolah mengaku harus menyetor commitment fee kepada konsultan.
Gedung dengan dua pintu tersebut sudah lima tahun mangkrak. Pintu kayunya belum dicat. Delapan jendelanya juga belum disapu kelir. Temboknya baru selesai diaci.
Lantai gedung tersebut masih berupa tanah bergunduk-gunduk. Plafonnya berantakan. Tujuh tiang beton di depan gedung yang menyangga teras masih berupa cor-coran kasar. Tampangnya sudah mulai rapuh. Besi beton berserakan di sana sini.
Begitulah bentuk sebagian ruang gedung SMAN Gabuswetan, yang letaknya bersebelahan dengan Balai Desa Gabuskulon, Kecamatan Gabuswetan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat.
Pada 12 Agustus 2021, Kepala Sekolah SMAN Gabuswetan, Edi Kanedi—kini Kepala Sekolah SMAN Gantar—menjelaskan proyek penunjukkan langsung itu tidak terselesaikan. Edi tidak berani menyentuh proyek itu, apalagi melanjutkannya.
Gedung mangkrak itu sebetulnya tak sampai menggangu pembelajaran. Masih banyak ruang kelas lainnya yang bisa terpakai. Sebab SMAN Gabuswetan termasuk kategori sekolah besar yang kekurangan murid. Rasio jumlah siswanya lebih sedikit dibanding ketersediaan ruang kelas.
Rupanya ini telah jadi masalah menahun di Indramayu. Beberapa sekolah terus mendapat bantuan pembangunan fisik, kendati jumlah siswanya sedikit. Sebaliknya, sekolah-sekolah yang kekurangan ruang kelas justru tak dapat bantuan ruang kelas baru.
“Dinas Pendidikan Indramayu tidak punya database yang valid soal kebutuhan dan kondisi ruang kelas ini,” kata Wakil ketua DPRD Indramayu Amroni pada 2 November 2021.
Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu, Supardo, mengklaim ketidakberesan database itu bermula dari laporan kepala-kepala sekolah, yang menginput laporan-laporan positif saja. Ketika data permohonan bantuan sekolah diusulkan ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, datanya tidak sinkron.
“Kami sudah sampaikan ke semua kepala sekolah agar jujur ketika mengisi Dapodik, isilah apa adanya,” ujar Supardo pada 9 Desember 2021.
Ditemukan ketidaktepatan penyaluran bantuan itu bukan saja perkara basis data. Diduga ada penyimpangan dalam pencairan bantuan tersebut.
Sejumlah kepala sekolah, baik swasta dan negeri, mengaku menyetor uang komitmen agar sekolah mereka mendapat bantuan pembangunan, yang anggarannya berasal dari dana alokasi khusus fisik pemerintah pusat, yang disalurkan kepada pemerintah derah, sebagai bagian dari Transfer ke Daerah. Jika mereka yang mau menyetor, maka sekolahnya akan mendapat bantuan tersebut.
Modusnya, para kepala sekolah ini akan mengajukan permohonan bantuan secara online ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan—kini Kemendikbudristekdikti—yang kemudian dikawal oleh para “konsultan”. Para kepala sekolah diwanti-wanti harus menyetor ke pengawal anggaran yang disebut konsultan itu, jika dananya cair. Para konsultan itu di antaranya merupakan aktivis politik yang punya jejaring luas hingga ke level pemerintah pusat. (Bersambung)