Channel9.id – Jakarta. Ketua Umum IKA UNJ Dr. Juri Ardiantoro menyampaikan, dunia pendidikan telah menghadapi tantangan akibat pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Salah satu tantangan terbesarnya adalah kebutuhan yang diperlukan untuk memenuhi proses belajar mengajar baik di kampus maupun di sekolah.
Selama pandemi, proses belajar mengajar telah dipenuhi dengan cara pembelajaan jarak jauh (PJJ) dengan menggunakan perangkat teknologi informasi. Namun, menurut Juri, proses PJJ belum bisa memenuhi semua hak belajar anak didik.
“Sekilas masalahnya selesai, bahkan kadang dianggap sebagai momentum transformasi pendidikan berbasis teknologi informasi atau digital. Namun, jika bicara soal pendidikan, maka sejatinya belum dapat dikatakan sudah terpenuhi hak didik atau hak belajar anak-anak didik kita,” kata Juri saat memberikan pengantar Diskusi di Forum Diskusi Pedagogik IKA UNJ, Rabu 31 Maret 2021
Bagi Juri, PJJ yang memanfaatkan teknologi hanya bisa memenuhi kebutuhan aspek kognisi siswa. Sedangkan, PJJ belum menyentuh aspek afeksi dan psikomotorik.
“Mengapa? Karena teknologi baru bisa memenuhi salah satu aspek saja dari kebutuhan pendidikan kita, yakni kognisi (transfer ilmu dan pengetahuan) saja, belum menyentuh aspek penting lainnya yakni afeksi (nilai-nilai, dan pembentukan karakter) dan juga psikomotorik untuk menggali dan mengembangkan potensi kepemimpinan, tanggung jawab dan penyelesiaan masalah,” ujar Juri.
Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Bidang Informasi dan Komunikasi Politik ini menyatakan, kedua aspek itu bisa dipenuhi apabila ada proses yang intens antara anak didik, guru, orang tua, dan lingkungan.
“Interaksi intens inilah yang akan memonitor perkembangan anak, memeriksa potensi diri anak sekaligus memitigasi aspek-aspek yang dianggap perlu diperbaiki, dan juga mendorong dan memfasilitasi potensi, bakat, minat dan pilihan-pilihan anak didik setelah lulus. Interaksi intens ini juga dapat mengasah potensi kepemimpinan, yakni kemampuan mengenali problem-problem yang dihadapai dan mampu mencari berbagai alternatif peneyelaian dan membuat keputusan atas apa yang diyakininya,” ujar Juri.
Supaya interaksi intens ini bisa berlangsung, sekolah harus mengambil inisiatif. Sekolah harus dapat menyiapkan guru-guru yang dapat mengadaptasi pola baru ini, menyiapkan perangkat dan mekanisme komunikasi dengan orang tua, bahkan sekolah dapat menyiapkan kurikulum atau program belajar dengan metode ini.
“Dengan cara ini krisis pedagogic berupa hilangnya fasilitasi, pendampingan, dorongan, reward, dan punishment kepada anak didik dapat diatasi dan dihidupkan kembali. Tujuan pembelajaran dan aspek pedagogik dapat dicapai. Semoga,” pungkasnya.
HY