Oleh: Fatchuri Rosidin*
Channel9.id-Jakarta. Pandemi Covid-19 telah melahirkan 4,9 juta orang miskin baru di Indonesia. Angka itu didapat dari kenaikan jumlah penduduk miskin yang dikeluarkan BPS dibandingkan tahun 2019. Jika pemerintah gagal mengatasi pandemi ini dengan cepat, Center of Reform & Economics (CORE) bahkan memprediksi jumlah orang miskin baru akan mencapai 12,2 juta orang.
Pemerintah telah mengalokasikan dana hingga 677,2 trilyun untuk mengatasinya. 203,9 trilyun di antaranya dialokasikan untuk perlindungan sosial bagi masyarakat terdampak dalam bentuk bansos, bantuan sembako, bantuan tunai, program prakerja, program keluarga harapan, dan dana desa.
Tapi saya tidak ingin membahas program pemerintah. Sudah banyak yang membahasnya. Saya lebih tertarik menyoroti inisiatif lembaga-lembaga sosial yang bisa dijadikan benchmark dalam pemberdayaan ekonomi untuk masyarakat miskin. Siapa tahu program ini bisa diduplikasi untuk mengatasi kemiskinan. Saya ingin kupas salah satu saja: kurban.
Kenapa kurban? Karena potensi ekonominya besar. Tahun ini, diprediksikan ada 2,3 juta pekurban. Nilai ekonominya menurut riset Institute for Demographic & Poverty Studies (IDEAS) mencapai 20,5 trilyun. Jadi saya tertarik mengupasnya.
Saya pilih satu program saja. Namanya Tebar Hewan Kurban (THK) yang dikelola oleh Dompet Dhuafa. Program ini saya pilih untuk dibedah karena fokusnya memang pemberdayaan ekonomi masyarakat bawah, bukan jualan kambing. Program ini sudah berjalan 26 tahun. Tahun ini mereka mentargetkan bisa mendistribusikan 30.000 domba/kambing dan 1.000 sapi.
Oleh Dompet Dhuafa, kurban dijadikan sarana pemberdayaan ekonomi. Sasarannya para peternak kecil di desa-desa. Juga keluarga-keluarga miskin yang kemudian dilatih menjadi peternak binaan. Targetnya meningkatkan kesejahteraan peternak.
Lalu, disusunlah business process-nya. Bagaimana agar program ini bisa memberdayakan peternak kecil? Apa problem yang selama ini dihadapi oleh peternak kecil di daerah? Apa yang akan dilakukan oleh Dompet Dhuafa untuk mengatasi persoalan tersebut?
Mereka lakukan riset dan menemukan masalah-masalah yang dihadapi para peternak kecil di daerah: permodalan, pengetahuan yang rendah tentang pemeliharaan hewan ternak, manajemen, dan pemasaran. Desain program THK kemudian disusun untuk menjawab masalah ini.
Dalam hal permodalan, lembaga penerima penghargaan Magsaysay Award 2016 ini mengalokasikan dana sosialnya untuk memberikan bantuan modal bagi peternak kecil di daerah. Dompet Dhuafa datang ke desa-desa untuk merekrut calon peternak binaan dan memberikan bantuan modal. Modalnya bukan uang, tapi anak kambing.
Lalu, Dompet Dhuafa mengirimkan tenaga-tenaga ahli peternakan untuk melakukan pembinaan kepada peternak. Dompet Dhuafa menyebutnya sebagai pendamping. Mereka direkrut khusus, dilatih, dan disiapkan mentalnya. Karena tugas mereka tak hanya berkunjung memberikan pelatihan, tapi juga live-in alias tinggal di desa bersama para peternak; bertanggung jawab atas pembinaan peternak dalam satu wilayah tertentu. Para pendamping ini juga bertugas memfasilitasi tumbuhnya wadah bisnis peternak dan mengakses jaringan pemasaran. Merekalah para pejuang yang bekerja dalam sepi, mendedikasikan dirinya untuk memberdayakan para peternak.
Untuk memastikan kualitas ternak agar layak dijadikan kurban, Dompet Dhuafa secara periodik mengirimkan tim Quality Control (QC) untuk mengeceknya. Tim QC ini datang ke desa-desa menempuh perjalanan ratusan kilometer dengan jalan berbukit-bukit, menembus hutan, menelusuri sungai, menyeberang laut, hanya untuk memastikan hewan ternak memenuhi standar kualitas. Kisah-kisah perjalanan para quality controller ini seringkali diabadikan dalam catatan memoar perjalanan yang menyentuh hati.
Bagaimana dengan pemasarannya? Di sinilah Dompet Dhuafa dengan cerdik memanfaatkan hari raya Idul Adha untuk memasarkannya. Dompet Dhuafa bertindak sebagai off-taker; membeli semua ternak kurban yang dipelihara oleh para peternak binaan dan menawarkannya kepada masyarakat mampu yang akan berkurban.
Hewan ternak kurban ini tidak dibawa ke rumah pekurban, tapi dipotong dan dibagikan ke daerah-daerah miskin yang berada dalam satu wilayah dengan lokasi peternak. Distribusi kurban Dompet Dhuafa telah menjangkau 4.155 desa, 375 kecamatan, 214 kabupaten, dan 33 propinsi. Ini juga cara cerdas memotong biaya distribusi sehingga harga kurban yang ditawarkan Dompet Dhuafa bisa lebih terjangkau. Tahun ini kambing kurban mereka tawarkan mulai dari harga 1,49 juta rupiah.
Dompet Dhuafa memprioritaskan distribusi daging kurbannya ke daerah miskin, daerah penampungan pengungsi akibat bencana, panti jompo, panti asuhan, masjid, dan pesantren di daerah terpencil yang kesulitan mendapatkan bantuan hewan kurban karena umumnya ekonomi masyarakatnya kurang mampu.
Bisakah program semacam ini digunakan untuk memberikan lapangan kerja baru, termasuk mereka yang terkena imbas Corona? Apa bisa kambing dipakai untuk melawan Corona?
Kalau caranya seperti yang dilakukan Dompet Dhuafa, saya yakin jawabannya bisa. Tapi memang harus serius dan butuh stamina panjang. Program pemberdayaan ekonomi tak bisa hit & run. Tak cukup dengan memberikan modal. Tak cukup hanya melatih. Kita harus melakukan pendampingan peternak; menjadi mentor mereka, dan yang tak kalah penting menularkan optimisme dan etos kerja.
*Direktur Inspirasi Melintas Zaman