Channel9.Id – Jakarta. KPK beberapa waktu lalu, melakukan OTT terhadap pejabat UNJ yang memberikan THR kepada pejabat Kemendikbud usai menerima laporan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
KPK kemudian melimpahkan proses penyelidikan kepada Polda Metro Jaya karena tidak menemukan keterlibatan penyelenggara negara. Gegara kasus itu institusi KPK dipermalukan.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto menilai, KPK tak berniat menyelidiki kasus OTT pejabat UNJ yang hanya menyita uang di bawah 50 juta.
Dugaan Agus, KPK sebenarnya sedang mengincar kasus yang lebih besar di Kemendikbud.
“Perkiraan saya sih, KPK sedang mengincar kasus yang lebih besar di Kemendikbud,” kata Agus saat dihubungi tim Channel9.id, Sabtu (23/5) lalu.
Dugaan tersebut ada benarnya, bila melihat temuan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terhadap hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan pertanggungjawaban belanja barang untuk diserahkan kepada masyarakat/pemda tahun anggaran 2018 dan 2019 Kemendikbud.
Dalam laporan BPK itu menemukan Kemendikbud memiliki indikasi merugikan negara Rp1,8 M dan potensi penyalahgunaan dana bantuan Rp5,2 M
Hasil pemeriksaan tersebut dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan dengan Nomor: 1/HP/XIX/01/2020, tertanggal 20 Januari 2020.
BPK menemukan berbagai permasalahan dalam pengelolaan tersebut.
Pertama, ditemukan Belanja Bantuan Pemerintah Tahun Anggaran 2019 pada Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan tidak Sesuai Juknis/RAB Sebesar Rp1.857.621.000,00 dan Bantuan Pemerintah yang Belum Tersalurkan ke Penerima Bantuan Sebesar Rp5.216.124.151,00.
“Akibatnya ada indikasi kerugian negara sebesar Rp1.857.621.000,00 dan potensi penyalahgunaan dana bantuan yang belum digunakan per 31 Desember 2019 sebesar Rp5.216.124.151,00,” tulis laporan tersebut, dilansir Klikanggaran.com, Selasa (26/5).
Penyebab potensi penyalahgunaan tersebut adalah tidak optimalnya PPK Subdit Sarpras dan PPK Subdit Kurikulum Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan, dalam melakukan verifikasi proposal penerima bantuan dan RAB.
Kedua, penerima dana Bantuan Pemerintah antara lain pada Direktorat Pembinaan Paud, SD, SMP, SMA, dan SMK, Direktorat Pembinaan Kursus dan Latihan, Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PPKLK) Minimal Sebesar Rp2.579.225.473.051,00 belum menyerahkan Laporan Pertanggungjawaban kepada masing-masing PPK.
Akibatnya, PPK terkait belum dapat mengendalikan perjanjian, melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan serta menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan kegiatan kepada PA/KPA atas Bantuan Pemerintah minimal sebesar Rp2.579.225.473.051,00.
Hal ini disebabkan oleh juklak/juknis bantuan pemerintah yang tidak sesuai dengan PMK No. 168/PMK.05/2015 jo. No.173/PMK.05/2016 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Bantuan Pemerintah pada Kementerian/Lembaga.
Ketiga, Direktorat Pembinaan SMP dalam menetapkan Dasar Pengenaan Pajak untuk PPN tidak sesuai Surat Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor S-445/PJ.02/2018 Tentang Perpajakan Pengelolaan Bantuan Pemerintah. Bendahara Pengeluaran sekolah negeri wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas pembayaran di atas Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) sepanjang penyerahan BKP dan/atau JKP atas pembayaran tersebut dilakukan oleh PKP, sedangkan atas juklak bantuan pemerintah Program Renovasi Sekolah 2019 menunjukkan bahwa bendahara pengeluaran sekolah negeri wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang atas pembayaran diatas Rp100.000.000,00.
Akibatnya, negara kehilangan kesempatan memungut potensi penerimaan pendapatan dari PPN dan PPh minimal sebesar Rp1.824.639.762,90.
Sebabnya, Direktur Pembinaan SMP tidak cermat dalam menetapkan dasar pengenaan PPN dan pemungutan PPh oleh bendahara sekolah swasta belum diatur dalam juklak bantuan pemerintah.
(Hendrik)