Channel9.id-Jakarta. Pembebasan Syafruddin Arsyad Temenggung mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankkan Nasional (BPPN) oleh Mahkamah Agung masih disoroti banyak pihak. Benarkah kasus yang menjeratnya bukan perkara BLBI?
Setelah bebas dari tahanan, Syafruddin Temenggung langsung menunjukkan buah pikirannya selama mendekam di tahanan KPK. Sebuah buku yang berkisah tentang krisis ekonomi 1997-1998 yang pernah dia hadapi selaku ketua BPPN. Berikut tulisan kedua dari nukilan pengantar Ekonom Senior Dr Rizal Ramli yang menjadi pengantar di buku yang ia tunjukkan kepada wartawan yang meliput hari kebebasannya.
BLBI adalah kebijakan Bank Indonesia menghadapi bank yang kekeringan dana sehingga BI mengguyur likuiditas. Praktek ini sudah dilakukan BI jauh sebelum krisis moneter 1997-1998 terjadi. Masalahnya kemudian, BLBI yang dikucurkan pada periode krisis haruslah berbeda penerapannya dengan BLBI sebelum krisis moneter. Saya mencatat, beberapa point penting antara lain:
Pertama, BLBI adalah sebagai kebijakan usang. Ini menunjukkan BI saat itu tidak memiliki kreativitas dan inovasi, selain mengguyur likuiditas kepada semua bank. Padahal, bank yang disiram dana BLBI pun akhirnya tutup. Hal ini berbeda sekali dengan yang dilakukan Federal Reserve atau The Fed di Amerika saat menghadapi krisis Subprime Mortgage 2007-2008.
The Fed jelas membedakan kebijakan kepada Perusahaan Asuransi AIG, Citi Bank yang di-bail out, sedangkan Lehmans Brothers yang tidak mendapat dana talangan akhirnya tutup. Dua pola berbeda ini terjadi karena detil masalahnya tidak sama. Lehman Brothers ditutup karena kolateral minim dan sulit untuk tetap hidup walau mendapat pertolongan, sebaliknya Citi Bank justeru meraup keuntungan setelah bail out dari The Fed.
Kedua, Penyaluran BLBI oleh Bank Indonesia berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyimpang sebesar 98 persen. Penyimpangan itu antara lain terkait persyaratan bank yang berhak mendapatkan kucuran. Misalnya terkait modal atau CAR negatif, seharusnya tidak boleh mendapatkan bantuan likuiditas dan bank penerima bantuan likuiditas harus memiliki jaminan nilai kolateral aset yang besar.
Ketiga, kegilaan dari penyaluran BLBI berlanjut oleh bank-bank penerima kucuran dana. Masih menurut audit BPK tahun 2002 menegaskan bahwa penggunaan dana BLBI oleh bank-bank penerima, menyimpang sebesar 58 persen. Penyimpangan ini terjadi karena BLBI tidak digunakan untuk membayar dana pihak ketiga atau nasabah, melainkan digunakan oleh para pemilik bank untuk disalurkan kepada grup perusahaan sendiri, sehingga muncul pelanggaran Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK). Akibatnya BLBI tidak efektif, percuma, karena pada akhirnya bank-bank tersebut harus ditutup.
Keempat, ketidakhati-hatian BI saat itu berlanjut hingga saat penyelesaian berlangsung, nilai kolateral yang dihitung ternyata tak lebih dari 8 persen dari total pinjaman BLBI yang diberikan. Nilai jaminan ini sangat kecil. Akibatnya, pada saat penyehatan berlangsung, nilai recovery aset juga sangat minim.
Kelima, untuk menyelesaikan masalah BLBI Pemerintah dan Bank Indonesia sepakat untuk mengalihkan persoalan kepada BPPN, melalui skema perjanjian perdata off court setlement dalam Perjanjian Penyelesaian Kewajban Pemegang Saham (PKPS). Seharusnya BI yang membuat masalah, maka BI pula yang menyelesaikannya. Karena membawa dampak yang besar bagi perekonomian, sudah seharusnya ada pihak yang bertanggungjawab, harus ada tindakan hukum yang tegas kepada pejabat-pejabat BI dan para pemilik bank penerima BLBI yang nyata-nyata menyelewengkan BLBI.
Keenam, Penyelesaian BLBI oleh BPPN melalui skema PKPS telah menunjukkan karakter pemilik bank yang sebenarnya. Satu, tipe pemilik bank yang kooperatif dengan membuat dan meneken perjanjian PKPS serta menyelesaikan kewajibannya. Kedua, pemilik bank mengikuti program PKPS tetapi kemudian tidak menyelesaikan kewajiban-kewajibannya atau hanya membayar sebagian saja. Terakhir, adalah pemilik bank yang ndableg, sudah tidak ikut program PKPS dan tidak mau membayar kewajiban hutangnya. Kejadian inilah yang oleh Syafruddin Temenggung disebut sebagai “Bencana BLBI”.
Selain enam point penting di atas, sebagai buku yang serius, Syafruddin Temenggung mengingatkan kembali tugas utama Bank Sentral, dalam periode-periode yang genting bagi perekonomian suatu negara. Dalam Bab 7, Syafruddin Temenggung menegaskan bahwa kegiatan pemberian likuiditas oleh Bank Sentral di dalam fungsi sebagai “lender of the last resort” haruslah tetap mengacu kepada prinsip Bagehot.
Walter Bagehot, adalah jurnalis ekonomi legendaris yang menulis pada Lombart Street pada tahun 1873. Bagehot menyebutkan perlunya Bank Sentral memberikan pinjaman jangka pendek kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas sepanjang kolateralnya cukup. Tulisan Walter Bagehot inilah yang menginspirasi Bank of England untuk menjalankan fungsi sebagai “Lender of the last resort”.
Pada akhirnya, saya melihat kasus yang mendera Syafruddin Arsyad Temenggung, sebagai sebuah ironi di dalam penyelamatan ekonomi Indonesia. Orang yang telah bekerja keras siang dan malam menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kebangkrutan, di mana saya termasuk di dalamnya pada periode-periode sulit itu, ternyata belakangan hari harus menghadapi masalah yang seharusnya tidak dikenakan kepadanya.
Siapa yang seharusnya bertanggungjawab? Aset yang menyandung Syafruddin Arsyad Temenggung, dijual PT PPA atas persetujuan Menteri Keuangan Sri Mulyani dengan harga murah pada tahun 2007. Jadi si penjual itulah yang harus bertanggungjawab. Tidak sepantasnya Syafruddin Arsyad Temengung menghadapi ini semua.