Oleh : Syaefudin Juhri
Channel9.id – Jakarta. Jika menilik data demografi, komposisi penduduk yang berusia antara 17 sampai 37 tahun berada pada angka yang cukup besar jika dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Komposisi penduduk yang demikian, menunjukan akan terjadinya bonus demografi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Bonus demografi itu sendiri merupakan komposisi dimana perbandingan antara kelompok usia produktif dan tidak produktif 70 dengan 30.
Kelompok umur 17-37 tahun, secara nasional populasinya mencapai 69,38 juta jiwa (hasil sensus tahun 2020). Suatu angka yang cukup besar proporsinya sekitar 25,87% dari populasi penduduk. Inilah proporsi penduduk yang lahir antara tahun 1997 sampai 2006, yang sering disebut sebagai generasi milenial, sementara generasi yang lahir tahun 2006 ke atas disebut sebagai generasi Z, populasinya mencapai 74,93 juta jiwa atau sekitar 27,94% dari total penduduk Indonesia. Dengan demikian akumulasi dari generasi milenial dan Z adalah 53,81 % .ke depan. Pun demikian, dalam waktu dekat akan menjadi penentu dalam Pemilu 2024.
Masih menjadi Pasar Politik.
Sayangnya. dengan proporsi yang signifikan tersebut. Selama ini kaum milenial masih menjadi pasar politik bagi para kontestan politik. Sejauh yang terjadi selama ini, kaum milenial masih menjadi target pangsa pasar untuk didulang suaranya. Dalam melakukan pendekatan pun, elit politik/kontestan politik, lebih menekankan kepada style atau gaya anak muda yang lebih menekankan entertainmen dari pada kedalaman substansi.
Tak jarang, untuk mendekatkan diri dengan kaum milenial, aktor politik mengikuti langgam kaum milenial. Tentu saja lucu, aktor politik yang semestinya mencerahkan malah terbawa dalam arus kelompok milenial yang identik dengan sorak sorai. Semestinya, elit politik, aktor politik dan juga institusi politik, melakukan pendekatan yang menawarkan alternatif baru, ide ide baru, yang mampu mentransformasi dari budaya sorak sorai ke arah politik baru yang mencerahkan. Satu hal yang menjadi karakteristik kaum milineal dan genarasi Z, adalah tidak terlalu suka dengan hirarki.
Oleh karena itu, tawaran gagasan perubahan kongkrit menjadi issue menarik. Tawaran gagasan birokrasi yang mudah tidak berbelit-belit, kemudahan akses untuk mempengaruhi kebijakan melalui media publik {public sphere) dengan penyediaan informasi, serangkaian inovasi digital yang memudahkan untuk mengartikulasikan hak politiknya.
Pada dasarnya memang, masalah ini terkait dengan pola pikir atau mindset. Penting untuk digaris bawahi, bahwa kaum milenial itu memiliki karakter lebih suka yang praktis operasional. Senang langsung melakukan praktik, lalu evaluasi, dan menyatakan pendapatnya secapa spontan melalui media sosial yang dimiliki.
Kecenderungan lain, kaum milenial juga cenderung independen bahkan dalam kadar tertentu terhadap pilihan orang tua juga cenderung tidak diikuti. Itu sebabnya, kaum milineal sejauh ini cenderung melepaskan diri dari ketergantungan pada partai-partai lama atau organisasi kemasyarakatan gaya lama. Pengikat satu sama lain adalah persamaan gagasan, yang berbasis informasi. Kebanyakan tali komunikasi politiknya melalui media sosial.
Seperti diketahui, pengguna internet di kalangan milenial saat ini mendekati angka 88,5 persen. Dengan demikian, TIK telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam keseharian mereka. Media sosial ini sangat efektif sebagai sarana untuk melakukan penyebaran informasi, pengembangan pengetahuan, termasuk untuk menyatakan sikap politik. Memang, jika diperhatikan, partisipasi politik kaum milenial selama ini domoniman pada ranah politik etis /moral. Memainkan peran sebagai watch dog. Menjadi penjaga moral dalam menyikapi berbagai persoalan yang menodai nilai nilai keadilan di masyarakat.
Hasil dari survey media nasional, melihat kecenderungan kaum milenial masih mempersepsikan dunia politik sebagai suatu yang buruk. Terdapat tiga alasan yang menjadi temuan. Pertama, politik dianggap sebagai sesatu yang bikin boring. Dunia yang penuh intrik dan issunya melingkar lingkar dan berulang ulang.
Kedua, actor-aktor politiknya banyak yang mementingkan diri dan kelompoknya. Banyak aktor politik yang mendapatkan posisi atau jabatan kemudian alfa mengurus kepentingan publik dan lebih dominan mementingkan kepentingan diri sendiri.
Ketiga, banyaknya hoaks yang beredar. Berita hoaks lebih banyak beredar pada isu-isu politik, selain tidak bermanfaat, berita hoak juga meruntuhkan kepercayaan kaum milenial terhadap politik.
Adakah ruang partisipasi?
Pada akhirnya kita harus menyadari bahwa generasi milenial adalah gerenerasi yang menjadikan kemajuan teknologi untuk melakukan komunikasi di samping melalui tatap muka, seperti melalui pengirim email dan media sosial. Dengan TIK, memungkinkan mereka memiliki pergaulan yang luas dengan beragam orang dari seluruh dunia.
Dengan kemajuan TIK mereka memiliki ekspektasi tinggi, menuntut mendapat jawaban secara instan, lebih menyukai distribusi sumber pengetahuan dan informasi, berpikiran terbuka, memiliki keterampilan yang beragam, mampu mengerjakan pekerjaan yang banyak secara simultan, tidak sabar, partisipatif, tidak menganut paham hirarki atau level kekuasaan, yang berarti semua orang memiliki level yang setara, sehingga mereka bersikap sama baik kepada atasan maupun rekan kerja, sosialis, optimis, bertalenta, kolaboratif, dan berorientasi pada kesuksesan.
Dengan profil kaum milienal seperti itu, pertanyaannya apakah terdapat ruang untuk berpartisipasi politik dalam Pemilu 2024, semantara struktur budaya dan aktor politik masih didominasi oleh wajah lama?
Penulis adalah Advokad dan Pemerhati Masalah Sosial Politik