Oleh: Eddy Rusman*
Channel9.id-Jakarta. Puncak musim hujan di Jakarta telah berlalu. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, puncak musim hujan sudah terjadi pada akhir Januari hingga awal Februari 2025. Seharusnya, udara Jakarta kini lebih bersih. Toh, hujan bisa meluruhkan debu dan polusi, membersihkan udara melalui proses deposisi basah.
Namun, kenyataannya tidak begitu. Hujan memang membantu mempercepat pengendapan polusi. Namun, ada Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) pada 1-6 Februari 2025 yang menurunkan curah hujan hingga 64%. Kalau sekadar gerimis atau hujan ringan, polutan tak akan ikut luruh. Makanya, pada Senin (10/2), polusi udara Jakarta masih tеrgolong ‘Sedang’ dengan status warna Kuning.
Data Real-time Air Quality Index (AQI) menunjukkan konsentrasi PM2.5 di udara Jakarta 2,8 kali lebih tinggi dari standar kualitas udara tahunan WHO. Itu sebabnya, warga disarankan tetap menggunakan masker saat beraktivitas di luar rumah dan menghindari kegiatan outdoor yang berlebihan.
Polusi udara di Jakarta memang bukan perkara main-main. Setiap hari kita biasa terjebak dalam kemacetan, dalam mobil ber-cc tinggi, dikelilingi ribuan kendaraan lain yang mengeluarkan asap tebal. Setibanya di rumah, kita nyalakan pendingin ruangan (AC), televisi, dan berbagai peralatan elektronik lainnya. Nikmat benar kita rasakan tapi emisi karbon yang dihasilkan berkontribusi terhadap kerusakan lapisan ozon.
Perkotaan adalah tersangka utama perubahan iklim karena mengonsumsi 78% pasokan energi dan memberikan kontribusi lebih dari 60% emisi gas rumah kaca global. Apalagi 69,1% orang Indonesia sangat suka mengendarai kendaraan pribadi. Pengguna transportasi umum di sini, pada 2023, hanya 19,1%.
Sebagai kota terbesar, Jakarta menyumbang 96,37% polusi, mengalahkan kontribusi industri yang hanya sebesar 3,01%. Berdasarkan laporan Inventarisasi Emisi Polusi Udara DKI Jakarta (2020), sepeda motor memberi polusi sebanyak 200.684 ton/tahun. Bus solar menyumbang sebesar 23.260 ton/tahun
Setiap hari, jumlah motor yang seliweran di jalan bertambah 3.000–4.000 unit. Per Mei 2024, Dirlantas Polda Metro Jaya mencatat, jumlah motor di Jabodetabek sudah mencapai 24,3 juta unit. Belum ditambah dengan motor-motor yang datang dari wilayah Polda sebelah.
Untunglah, kesadaran orang Jakarta dalam memakai tranportasi umum sudah membaik. Pada Juni 2024 (yoy), pengguna Transjakarta meningkat 31,62%, LRT naik 22,26%, dan MRT naik 28,33%. Mungkin orang Jakarta sudah sadar dengan global climate exchange. Atau memang fasilitas transportasi umum sudah lebih baik. Apapun itu, penggunaan transportasi umum sangat baik dalam mengurangi emisi karbon dan mengurai kemacetan.
Pilihan atas transportasi bisa menjadi bagian gaya hidup. Selama ini, gaya hidup kita cenderung mengancam kelangsungan bumi. Penggunaan peralatan elektronik berlebihan, konsumsi energi listrik yang tinggi, penggunaan air besih tidak terkontrol, serta limbah rumah tangga akan menambah beban lingkungan.
Di sisi lain, Kementrian ESDM mencatat, penggunaan sumber energi terbarukan (EBT) masih rendah. Sampai 2023, pemakaiannya baru 13,9%. 2024 naik sedikit jadi 14,1%. Presiden Probowo Subianto menargetkan 23% di tahun 2025. Mampukah?
Doddy S. Sukadri, Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Hijau Indonesia, mengatakan pencapaian target itu tergantung peran individu. Pola hidup masyarakat berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca di bumi. Jika masyarakatnya konsumtif, tentu saja energi yang diperlukan akan semakin tinggi. Sebaiknya, bila warga tidak kebanyakan gaya, tentu energi yang diperlukan akan berkurang.
Dalam skala industri, telah dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi produksi emisi gas rumah kaca. Mereka sudah menggantikan sumber energi fosil dengan sumber energi terbarukan atau clean development mechanism. Industri juga mengalang gerakan efisiensi perusahaan dan institusi dalam penggunaan sumber daya listrik, bahan bakar, dan air. Ada penggunaan kendaraan listrik serta melakukan penetralan CO2 di atmosfer dengan mewajibkan pengusaha tambang untuk melakukan reforestasi di area-area bekas tambangnya. Lantas ada juga mekanisme carbon trading atau carbon credit.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Lantas apa yang bisa kita lakukan sebagai individu? Banyak dan tidak selalu harus melakukan sesuatu yang besar, yang jelas sulit atau berat. Kita dapat melakukan perubahan dari langkah kecil yang konsisten.
Dengan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, misalnya, lalu beralih memanfaatkan transportasi umum, bersepeda, atau berjalan kaki, kita dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan polusi udara. Menurut World Health Organization (WHO), polusi udara bertanggung jawab atas sekitar 7 juta kematian prematur setiap tahunnya (WHO, 2018). Bersepeda dan berjalan kaki juga baik untuk kesehatan. Bisa mengurangi risiko penyakit jantung, obesitas, dan diabetes.
Hematlah pula energi ketika di rumah. Sungguh, ini langkah penting dalam mengurangi jejak karbon. Membiasakan mematikan peralatan elektronik saat tidak digunakan, menggunakan lampu hemat energi, dan memasang panel surya adalah beberapa cara efektif. Menurut laporan International Energy Agency (IEA, 2020), penggunaan lampu hemat energi bisa mengurangi konsumsi energi listrik hingga 75%.
Jangan pula FOMO dan gampang membeli gadget baru. Perpanjanglah usia pakai perangkat elektronik untuk mendukung keberlanjutan. Jadi, kita bias mengurangi limbah elektronik sekaligus menghemat sumber daya alam yang digunakan dalam produksinya. Menurut United Nations University (UNU, 2019), limbah elektronik global mencapai 53,6 juta metrik ton pada tahun 2019, dan hanya 17,4% yang didaur ulang secara efektif.
Mengelola limbah dengan bijak memang sangat penting dalam menjaga lingkungan. Mulailah mendaur ulang dan mengomposkan sampah organik serta kurangi penggunaan plastik sekali pakai. Menurut laporan Ellen MacArthur Foundation (2017), hanya 14% plastik di dunia yang didaur ulang, dan sisanya berakhir di tempat pembuangan akhir atau lingkungan.
Tidak itu saja. Memilih produk lokal dan berkelanjutan juga bisa mengurangi emisi transportasi dan mendukung praktik ramah lingkungan. Menurut laporan International Trade Centre (ITC, 2019), produk lokal memiliki jejak karbon yang lebih rendah karena tidak memerlukan transportasi jarak jauh. Selain itu, kita juga dapat mendukung produsen yang menerapkan praktik berkelanjutan.
Dengan menerapkan langkah-langkah ini, kita dapat berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Pada hakekatnya sustainability adalah bagaimana ikut bertanggung jawab dan dapat menjaga generasi masa depan dapat hidup nyaman dan tak mengalami kekurangan sumber daya.
Baca juga: KEK Lido, Proyek Senilai Rp33,4 T Milik Hary Tanoe Disegel Kementerian Lingkungan Hidup
*BNI University | Mahasiswa Doktoral Manajemen Berkelanjutan Perbanas Institute