Ekbis

Kebijakan Berbagi Beban Menuai Pro dan Kontra

Channel9.id-Jakarta. Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menilai skema berbagi beban atau burden sharing antara pemerintah dan Bank Indonesia memiliki pro dan kontra di pasar. Menurut dia, saat ini Indonesia memang menghadapi situasi darurat dan pelik. “Tidak hanya terkait kepada keterbatasan kapasitas investor domestik menyerap emisi SBN, tetapi juga daya tahan fiskal yang penting untuk memacu pertumbuhan di kemudian hari,” ujarnya, Selasa, 21 Juli 2020.

Sebelum wabah, kata Budi, sekitar 12 persen belanja negara dialokasikan untuk pembayaran bunga dan cicilan pokok. “Kini angka itu berisiko melonjak menjadi 17 persen belanja negara,”kata dia.

Selama Juli, para pelaku pasar disuguhkan dengan dua langkah penting kebijakan pemerintah dan BI. Pertama, skema burden sharing untuk pembiayaan dana penanganan dan pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kedua, BI melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Kamis, 16 Juli 2020, memutuskan untuk kembali menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke level 4 persen.

Budi menilai burden sharing mengurangi risiko suplai SBN, terutama di pasar obligasi domestik. Memang betul, investor asing kini sedang menyikapi dampak pembelian surat utang oleh bank sentral terhadap rupiah, terutama setelah BI kembali memangkas bunga.

Sebagai info, BI bakal menyerap SBN yang dikeluarkan pemerintah yang ditujukan untuk belanja publik. Belanja untuk manfaat publik ini sebesar Rp397,56 triliun, meliputi belanja kesehatan Rp87,55 triliun, perlindungan sosial Rp203,9 triliun, dan sektoral kementerian, lembaga dan pemda Rp106,11 triliun.

Sedangkan belanja barang nonpublik, BI akan bertindak sebagai stand by buyer melalui penerbitan SBN dengan mekanisme pasar sesuai kesepakatan pada Undang-undangNomor 20 Tahun 2020. Bank sentral akan memperoleh bunga sebesar reverse repo rate dikurangi 1 persen. Belanja nonpublik ini meliputi bantuan usahak mikro kecil dan menengah (UMKM) sebesar Rp123,46 triliun dan pembiayaan korporasi non-UMKM Rp53,57 triliun.

Selain faktor eksternal pelemahan dolar, potensi penguatan rupiah hingga ke level Rp13.930 per dolar AS masih terbuka. Hal itu seiring dengan penurunan defisit neraca berjalan yang selaras dengan perlambatan ekonomi.

Isyarat perlambatan ekonomi Indonesia diperlihatkan oleh surplus neraca dagang Indonesia pada Mei dan Juni masing-masing, US$ 2,1 miliar dan US$ 1,27 miliar. BI memproyeksikan defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD) pada kisaran 1,5 persen dari PDB pada akhir 2020.

Budi menyakini, pada akhirnya investor asing akan kembali melirik SBN mengingat imbal hasil yang ditawarkan lebih tinggi dibanding negara lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

77  +    =  80