Ekbis

Kebijakan FCA dan Free Float BEI Dinilai Tak Sentuh Masalah Struktural Pasar

Channel9.id – Jakarta. Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali mendapat sorotan atas sejumlah kebijakan yang dianggap tidak menyentuh akar permasalahan pasar modal nasional. Kebijakan seperti Full Call Auction (FCA) dan penyesuaian aturan free float dinilai belum cukup membenahi kelemahan struktural, terutama di mata investor asing.

Salah satu yang menuai kritik tajam adalah penerapan FCA terhadap saham-saham yang masuk dalam daftar Unusual Market Activity (UMA). Meskipun hanya berlaku selama tujuh hari, kebijakan ini berdampak jangka panjang karena saham yang terkena FCA tidak lagi diperhitungkan dalam indeks global seperti MSCI.

Prof. Budi Frensidy dari Universitas Indonesia sebelumnya menyarankan agar BEI mengevaluasi ulang mekanisme FCA alih-alih menunggu perubahan standar dari MSCI. Hal ini dinilai penting untuk menjaga daya tarik pasar Indonesia di mata investor institusional global.

Pengamat pasar modal dari Strategi Institute, Fauzan Luthsa, menyatakan bahwa persoalan yang timbul dari kebijakan FCA bukan sekadar soal teknis.

“Kalau efek FCA tujuh hari bisa menghambat akses indeks cukup lama, itu soal struktur kebijakan. BEI harus menyesuaikan diri dengan standar global,” ujarnya, Kamis (22/5/2025).

Fauzan juga menilai bahwa kajian ulang aturan free float dan batas minimum keuangan untuk IPO belum menyentuh inti persoalan. Menurutnya, akar masalah justru terletak pada transparansi indeks dan tata kelola suspensi saham yang belum diperbaiki.

“Revisi regulasi akan jadi tambal sulam jika indeks masih dipertanyakan dan suspensi saham tidak diperbaiki,” katanya.

Penentuan komposisi indeks seperti LQ45 dan IDX High Dividend 20 turut menuai kritik. Beberapa saham dinilai tidak memenuhi kriteria, namun tetap masuk dalam indeks, menimbulkan tanda tanya atas objektivitas BEI.

Seperti saham PT Mitra Pack Tbk (PTMP) pernah masuk LQ45 meski tidak memenuhi standar likuiditas dan TPIA serta BRPT masuk indeks dividen meski tidak membagikan dividen dalam beberapa tahun terakhir.

“Kebijakan seperti ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai objektivitas BEI,” kata Fauzan.

BEI juga mendapat sorotan terkait prioritasnya dalam mendampingi perusahaan besar menuju IPO melalui unit kerja khusus. Pendekatan ini dinilai dapat memperlebar kesenjangan dengan perusahaan kecil dan menengah yang belum tersentuh.

“Banyak perusahaan kecil dan menengah butuh pendampingan. BEI justru memprioritaskan yang paling besar dan paling siap,” ujarnya.

Fauzan menyoroti bahwa langkah mengutak-atik regulasi seperti free float dan batas minimum keuangan justru bisa mempersempit akses perusahaan ke pasar modal. Padahal masih banyak perusahaan dalam pipeline yang belum tersentuh proses pencatatan saham.

Dengan target 66 IPO pada 2025 dan baru 14 perusahaan tercatat hingga pertengahan Mei, BEI dianggap belum menunjukkan upaya nyata memperluas inklusi pasar.

“Kalau fokusnya hanya lima emiten besar, lalu bagaimana nasib 50 lainnya?” kata Fauzan.

Ia pun mempertanyakan realistis tidaknya target IPO BEI tahun ini, mengingat waktu yang tersisa dan capaian saat ini.

“Dengan sisa waktu tinggal tujuh bulan dan 14 IPO yang sudah tercatat, apakah realistis mengejar 52 IPO tambahan? Saya berharap semoga BEI dapat menghindari kegagalan capai target penambahan emiten seperti tahun lalu,” pungkasnya.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2  +  3  =