Oleh: Awalil Rizky*
Channel9.id-Jakarta. Pandemi Covid-19 diumumkan resmi melanda negeri pada 2 Maret. Pemerintah pun menghitung ulang APBN 2020 yang telah ditetapkan dan sedang berjalan. Memprakirakan dampak pandemi atas pendapatan dan menetapkan arah dan besaran belanja yang baru. Secara bersamaan menaksir tambahan utang yang dibutuhkan.
Sebenarnya belum ada undang-undang baru yang mengubah APBN 2020. Namun, melalui Peraturan Presiden No.54/2020, yang didahului oleh payung hukum berupa Peraturan Pemerintah Pengganti Presiden (Perppu) No.1/2020, postur baru APBN 2020 telah dikemukakan pada publik. Pemerintah menyebutnya sebagai outlook.
Pemerintah mengakui pendapatannya akan turun drastis akibat pandemi, dan hanya menargetkan Rp1.760,9 triliun. Lebih rendah Rp472,3 triliun dari yang target APBN 2020 yang sebesar Rp2.233,2 triliun. Bahkan, lebih rendah dari perolehan tahun 2019 yang mencapai Rp1.957,2 triliun.
Sebagai bagian kebijakan antisipasi pandemi dan mitigasi dampaknya, pemerintah merencanakan belanja yang lebih besar dari APBN 2020 yang Rp2.540,4 triliun. Secara total, tambahan belanja hanya sebesar Rp73,4 triliun, menjadi Rp2.613,8 triliun. Tambahan itu telah memperhitungkan upaya penghematan dan realokasi berbagai pos belanja sebesar Rp182.1 triliun.
Arahan Menteri Keuangan mengatakan anggaran negara diprioritaskan untuk tiga hal. Yaitu: 1. Menjamin kesehatan dan keselamatan masyarakat, termasuk tenaga medis; 2. Memastikan perlindungan dan Jaring Pengaman Sosial untuk masyarakat rentan; 3. Perlindungan terhadap dunia usaha.
Dalam berbagai publikasi disebut anggaran yang dikeluarkan sebagai antisipasi dan mitigasi pandemi sebesar Rp405,1 triliun. Anggaran yang tercatat sebagai belanja sebenarnya hanya sebesar Rp255,1 triliun. Belanja di bidang Kesehatan Rp75 triliun, perluasan Jaring Pengaman Sosial sebesar Rp110 triliun, dan dukungan industri sebesar Rp70,1 triliun. Dalam hal dukungan industri antara lain berupa insentif perpajakan, yang dapat disebut sebagai belanja atau subsidi pajak.
Anggaran Rp150 triliun sendiri disiapkan sebagai pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. Baru disebut sebagai pengeluaran pembiayaan, yang dapat berupa penyertaan modal, pemberian pinjaman atau penjaminan kepada BUMN.
Aspirasi banyak pihak terdampak terus berkembang selama sebulan terakhir setelah postur baru APBN 2020 diumumkan. Secara fiskal, berbagai aspirasi itu bermuara pada kebutuhan belanja yang lebih besar. Sulit untuk menolak kesan bahwa belanja jaring pengaman sosial sebesar Rp110 triliun tadi terlampau sedikit. Terlepas dari kasus-kasus salah sasaran, memang alokasi dananya juga memang tampak tidak mencukupi.
Rencana mitigasi terkait pemulihan ekonomi pun belum terungkap dengan jelas, dan aspirasi para pelaku usaha makin terdengar nyaring. Rasanya anggaran pemulihan ekonomi sebesar Rp150 triliun, apalagi jika hanya melalui BUMN yang ditugasi, terlampau sedikit.
Seandainya, outlook pemerintah dari postur APBN 2020 yang baru terealisasi, maka ada rencana pembiayaan utang sebesar Rp1006,4 T. Artinya, tambahan utang baru akibat pengelolaan APBN sebesar itu pada akhir 2020.
Posisi utang pemerintah sendiri masih akan bertambah dari faktor kurs rupiah yang dipastikan melemah dibanding akhir 2019, yang sebesar Rp13.901. Jika kurs akhir 2020 sebesar Rp16.000, akan ada tambahan sekitar Rp209 triliun. jika Rp15.000 sesuai target Bank Indonesia, maka tambahan hanya sekitar Rp196 triliun. Kementerian Keuangan sendiri justru memprakirakan kurs bisa lebih dari Rp17.500, mengingat asumsi rata-ratanya yang senilai itu.
Penulis berpendapat bahwa target pendapatan negara postur baru APBN 2020 (Rp1.760,9 triliun) tidak akan tercapai, hanya akan di kisaran Rp1.650 triliun. Alasannya, asumsi pertumbuhan ekonomi dan harga minyak masih terlampau tinggi.
Belanja negara untuk mitigasi pandemi tampaknya akan bertambah Rp200 triliun. Artinya, belanja dapat mencapai Rp2.800 triliun. Jika pemerintah masih berupaya agar belanja hanya Rp2.600 triliun, maka diperlukan refocusing belanja lagi. Harus ada penghematan di kisaran Rp200 triliun.
Sebelum postur baru dikemukakan, Surat Berharga Negara (SBN) yang sudah terbit mencapai Rp305 triliun. Selama bulan April lalu, termasuk pandemic bond, SBN telah meraih dana sekitar Rp180 triliun. Secara total telah memperoleh Rp485,66 triliun hingga 29 April 2020.
Dalam postur APBN 2020 baru, kebutuhan penerbitan SBN adalah sekitar Rp1.333 triliun. Karena ada SBN yang terjadwal jatuh tempo dan harus dilunasi. Masih dibutuhkan sekitar Rp850 triliun. Penulis memprakirakan kebutuhan penerbitan SBN tahun 2020 akan mencapai Rp1.480 triliun. Atau masih kurang Rp1.000 triliun lagi hingga akhir tahun.
Kebutuhan untuk menambah belanja dan kemudian melebarkan defisit, yang terpaksa ditutupi dengan utang lebih banyak memang sulit dihindari dalam rangka mitigasi pandemi. Kita dapat menyebutnya sebagai justified. Namun, risiko fiskal jangka menengah dan panjangnya tetap mesti diperhitungkan secara cermat.
Arahan Menteri Keuangan secara jelas mengatakan anggaran dan instrumen fiskal tetap dikelola untuk menekan dampak jangka panjang, termasuk memastikan terpenuhinya kecukupan pangan dan menggerakkan kembali perekonomian yang melambat.
Patut diperhatikan bahwa untuk menjual SBN pada April ini saja, yield SBN bertenor 10 tahun sudah mencapai 8,12 persen. Termasuk yang tertinggi dalam sejarah SBN Indonesia selama beberapa tahun terakhir. Dan jauh melampaui banyak negara lain saat ini. Penerbitan berikutnya pun berisiko masih dengan yield yang amat tinggi.
Dengan demikian, tekanan pada ketahanan fiskal sudah langsung dirasakan Ketika SBN diterbitkan pada tahun 2020. Pembayaran bunga juga sebagian besar sudah harus dilakukan pada tahun ini, karena umumnya dilakukan tiap 3 dan 6 bulan.
Posisi utang jelas akan meningkat pesat, sedangkan pemulihan pendapatan APBN 2021 masih dalam tanda tanya besar. SBN yang harus diterbitkan pada tahun 2021 masih akan berjumlah sangat besar dan dalam posisi tawar yang rendah terhadap pasar utang.
Dengan kata lain, anggapan pemulihan ekonomi akan dapat berjalan mulus pada tahun 2021 bisa terhambat oleh kondisi fiskal tersebut. Tekanan belanja pembayaran bunga utang dapat berlipat dari tahun 2019.
Satu faktor lagi yang kadang kurang menjadi wacana diskusi. Penerbitan SBN yang besar-besaran akan memiliki dampak ikutan berupa crowding out. Pihak swasta menjadi kesulitan memperoleh dana dari pasar utang. Setidaknya akan terimbas yield atau bunga yang mesti tinggi.
Penulis hanya mengingatkan bahwa kebijakan fiskal yang telah dan akan diambil pemerintah sebagai mitigasi atas dampak pandemi dapat menimbulkan risiko yang amat besar. Ketahanan fiskal kita ternyata tidak cukup kuat selama ini. Pandemi telah membuatnya makin rentan selama bertahun-tahun ke depan.
Harusnya ini menjadi momentum bagi kebijakan fiskal, termasuk keputusan berutang, yang lebih terbuka pada publik. Segala perhitungannya disampaikan secara jelas dan cukup detil, agar semua bisa ikut menimbang. Boleh berutang, tapi perhitungannya bagaimana?
*Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri