Opini

Kembali ke GBHN? Jangan Keblinger oleh Masa Lalu

Oleh : Adhie Massardi*

Channel9.id-Jakarta. Ketika segenap rakyat sedang merayakan HUT Proklamasi Kemerdekaan, mereka juga sebenarnya mencemaskan masa depan eksistensi Republik Indonesia sebagai negara-bangsa yang sudah berusia 74 tahun.

Kalangan elite politik di pusat kekuasaan justru sibuk memutar haluan untuk dijadikan pedoman guna kembali ke masa lalu.

Ada kelompok elite yang sibuk ingin mengembalikan konstitusi ke UUD sebagaimana aslinya saat dibuat pada 1945. Sedangkan elite politik yang lain, dimotori oleh pentolan PDIP dalam kongres ini di Bali, berniat menghidupkan kembali GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara).

Saya menyesalkan sekaligus mencemaskan “gerakan kembali ke masa lalu” ini kian menguat justru di kalangan elite politik nasional produk pemilu 2019. Karena, bangsa Indonesia sesungguhnya memiliki semua unsur untuk jadi negara maju.

Persoalan besarnya, bangsa ini belum pernah memiliki pemimpin atau lapisan elite dengan visi jauh ke depan, yang transformatif.

Pemimpin transformatif itu seperti Deng Xiaoping. Dia yang membangun fondasi Tiongkok sebagai negara modern. Deng tidak mendesain Tiongkok untuk kembali seperti zaman Dinasti Qin, Ming atau Dinasti Qing.

Deng mentransformasikan pikirannya tentang negara modern kepada rakyatnya, sehingga menjadi mudah bagi penerusnya seperti Zhu Rongji, Ziang Zemin, Hu Jintao, dan kini, Xi Jinping.

Di Asia Tenggara, ada Mahathir Mohamad yang mendesain Malaysia sebagai modern, dan Lee Kuan-yew (1959 – 1990) yang membuat negara paling kecil di ASEAN itu menjadi pelopor dalam modernisasi administrasi pengelolaan negara.

Sementara kelompok elite bangsa ini sungguh menyedihkan, karena tidak memiliki wawasan ke depan, sehingga cenderung menjadikan masa lalu sebagai orientasi nasional, sebagai tujuan berbangsa dan bernegara. Makanya, tak heran bila tujuannya ingin menjadikan Indonesia seperti negara Sriwijaya (abad ke-7), atau Majapahit (abad ke-14).

Mestinya, dalam rangka peringatan proklamasi kemerdekaan RI ke-74, sekaligus untuk menyiapkan tata kelola negara pasca pemilu 2019, partai-partai politik– karena memiliki kader di Eksekutif, Legislatif dan Judikatif, serta di lembaga-lembaga tinggi negara lainnya–segera menyiapkan perangkat lunak dan perangkat guna bangsa ini memasuki abad digital yang sangat kompleks dan dinamis.

Bagaimana mungkin rakyat bisa melakukan manuver canggih secara digital bila dalam tata kelola energi (listrik) saja pemerintah masih bermasalah.

Tinggalkan impian membuat GBHN seperti di masa lalu. Dulu GBHN dirancang pemerintahan Soeharto oleh para teknokrat andal, lalu disahkan oleh MPR. Dipakai pedoman oleh pemerintah orde baru karena itu memang mereka yang rancang.

Sekarang siapa yang mau bikin rancangan GBHN bila rekrutmen SDM di pemerintahan tidak memakai acuan yang benar? Sementara para anggota DPR dan DPD tidak memenuhi kualifakasi sebagai pembuat rancang-bangun eksekutif dan legislatif era digital.

Apalagi, menurut para penggagas kembali ke masa lalu itu, GBHN yang nanti mau dihidupkan kembali, tidak harus diikuti oleh pemerintah, dan tidak ada sanksi (politik) bila GBHN tidak dijalankan. Buat apa?

Sebetulnya, dalam Konstitusi sudah ada acuan bagi semua lembaga negara. Tepatnya pada alinea ke-4 Pembukaan UUD 45 yang menjelaskan tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indoneisa: a. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; b. memajukan kesejahteraan umum; c. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan d. melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Apabila sejak reformasi kepemimpinan nasional dirasakan kurang optimal, bahkan cenderung tidak paham soal, bukan membawa kembali bangsa ini ke masa lalu. Tapi partai-partai politik itu sendiri yang harus lakukan introspeksi atau refleksi, lebih tepat lagi: otokritik.

Semua parpol harus lakukan introspeksi atau refleksi, lebih tepat lagi otokritik terhadap persyaratan, kriteria dan kualifikasi bagi calon anggota legislatif dan pimpinan eksekutif di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan lebih-lebih pimpinan nasional.

Jadi persoalan bangsa ini bukan terletak pada GBHN atau Amandemen Konstitusi, tapi pada mekanisme rekrutmen para elite penyelenggara negara oleh partai politik sendiri.

____________________________________________________________________________________________________________*Sekjen Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI)*

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  17  =  19