Hot Topic Nasional

Kemendikbudristek Bantah UKT Mahal: Mahasiswa Hanya Bayar Rp87 Ribu per Bulan

Channel9.id – Jakarta. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) memberikan klarifikasi soal kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) atau uang semester yang belakangan ini menjadi topik pembahasan di kalangan calon mahasiswa dan orang tua. Kemendikbud mengklaim tingkatan UKT didasari oleh kemampuan ekonomi masing-masing mahasiswa.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Abdul Haris dengan merujuk pada Peraturan Mendikbudrisek (Permendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SBOPT) pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek. Dalam peraturan tersebut, kata Haris, mahasiswa program diploma dan sarjana paling sedikit harus dibagi dalam dua kelompok tarif, yakni kelompok I sebesar Rp 500 ribu dan kelompok II sebesar Rp 1.000.000.

Dengan aturan tersebut, Haris mengklaim bahwa mahasiswa bisa membayar UKT sebesar Rp87 ribu tiap bulan selama satu semester.

“Artinya kalau mahasiswa mendapatkan kelompok I ini nilainya Rp 500 ribu per semester dan kelompok II Rp 1 juta. Kalau kita bagi enam, kurang lebih kita hanya membayar sekitar Rp 87 ribu,” kata Haris dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR RI, Selasa (21/5/2024).

Ia pun membantah bahwa Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 itu sebagai biang keladi mahalnya UKT di perguruan tinggi. Haris menyatakan peraturan tersebut justru membuat tarif UKT semakin adil bagi kaum kurang mampu.

Sebab, lanjut Haris, pemimpin perguruan tinggi negeri di bawah Kemendikbud wajib memasukkan dua kelompok tarif untuk mahasiswa kurang mampu tersebut ke dalam aturan internalnya. Namun, untuk kelompok tarif lainnya, pemimpin PTN boleh menetapkan sendiri dengan nilai nominal paling tinggi sama dengan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) yang ditetapkan di setiap program studi.

Haris menuturkan batas tarif yang ditetapkan untuk kelompok tarif I dan II itu merupakan bentuk keberpihakan pemerintah agar mahasiswa tak mampu bisa berkuliah. Di sisi lain, kata dia, pemerintah juga memberikan ruang kepada mahasiswa mampu untuk bisa membayar lebih.

“Jadi konsep berkeadilan ini dalam rangka menemukan titik keseimbangan antara willingness to pay dengan ability to pay,” jelasnya.

Lebih lanjut, Haris mengatakan peningkatan UKT hanya diterapkan untuk mahasiswa baru.

“Dan kalau kita perhatikan UKT yang tinggi ini hanya untuk di 2024 itu sekitar 3,7 persen dan ini pun sebenarnya kan untuk PTN ini lebih banyak porsi atau kuota yang diberikan pada saat seleksi nasional. Nah, ini yang mereka ini basisnya hampir 70 persen, 30 persennya mereka yang berbasis mandiri ini juga relatif kecil,” tuturnya.

Adapun isu kenaikan UKT 2024 menjadi topik pembahasan di kalangan calon mahasiswa dan orang tua. Masalah kenaikan UKT juga direspons dengan demonstrasi mahasiswa, rapat mahasiswa dengan DPR, hingga pernyataan dari Kemendikbudristek dan berbagai perguruan tinggi negeri yang menaikkan UKT.

Merespons banyaknya protes soal UKT, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek Prof. Tjitjik Tjahjandarie menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA.

“Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan,” kata Tjitjik di Kantor Kemendikbud, Rabu (16/5/2024).

“Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib,” imbuhnya.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  69  =  78