Kenapa Kita Ingin Mencubit Hingga Memukul Sesuatu yang Menggemaskan?
Techno

Kenapa Kita Ingin Mencubit Hingga Memukul Sesuatu yang Menggemaskan?

Channel9.id-Jakarta. Kamu mungkin pernah merasa gemas terhadap sesuatu yang menurutmu lucu, imut, dan menggemaskan. Sehingga Kamu jadi ingin mencubit, mengigigit, memukul, atau meremasnya.

Bagi peneliti emosi Oriana Aragón, ekspresi emosi itu adalah hal yang menarik untuk diteliti. Dilansir dari Vice, hasil penelitiannya kemudian diterbitkan pada 2015 dan ia menamakan ekspresi itu sebagai “cute aggression”, yakni keinginan luar biasa yang untuk menghancurkan, menggigit, atau memeras hal-hal lucu, tetapi tanpa ada itikad untuk menyakiti.

Lalu penelitian terbaru dengan topik serupa terbit di Frontiers in Behavioral Neuroscience pada 2018. Para peneliti ini melihat apa yang terjadi di otak selama mengalami “cute aggression”.

Hasilnya, mereka menemukan bahwa jaringan emosi dan penghargaan di otak aktif mengalami “cute aggression”. Temuan ini mendukung teori Aragón tentang mengapa “cute aggression” bisa terjadi. Disebutkan bahwa “cute aggression” adalah cara untuk menangani emosi yang berlebihan terhadap hal yang menggemaskan, sehingga hal ini tak melumpuhkan kita.

Menelaah ke belakang, terlalu gemas terhadap sesuatu bisa membuat diri kita kewalahan dan ini tidaklah baik bagi kita. Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa hal yang membuat kita gemas akan membuat kita peduli pada hal tersebut.

Pada 1943, seorang etolog Austria bernama Konrad Lorenz memperkenalkan istilah “baby schema”, untuk menggambarkan karakteristik bayi yang kita anggap lucu, yang membuat kita ingin merawatnya. “Baby schema” ini berkarakteristik berwajah bulat, berdahi besar, bermata besar, dan berpipi gembil. Ketika kita melihat fitur-fitur ini, ada sesuatu dalam diri kita yang membuat kita peduli, dan mendalam.

“Tidak mudah menjadi orang tua, dan saya pikir, ada banyak bukti bahwa saat pikiran mendapati sesuatu yang sangat lucu, Anda jadi ingin mengurusnya—terlepas dari hal apa pun,” ujar psikolog Katherine Stavropoulos, asisten profesor di UC Riverside dan penulis penelitian terbaru terkait “cute aggression”. “Saya pikir itu adalah respons yang sangat naluriah, hampir mendalam: Saya hanya ingin melindungi itu dan memastikan itu baik-baik saja.”

Penggunaan istilah “baby schema” diperluas bukan hanya menggambarkan bayi manusia. Misalnya saja bayi hewan, yang memang tampak lebih menggemaskan ketimbang versi dewasanya, seperti anjing. Hal inilah yang memungkinkan kita memelihara anjing dengan kepala dan mata besar—bahkan jika hewan itu sudah dewasa tidaklah masalah selagi memiliki karakteristik ini.

Sebuah studi dari 2010 bahkan mendapati bahwa ketika para peneliti mengubah penampilan mobil agar tampak seperti memiliki karakteristik bayi—dengan memperbesar lampus sen dan mengecilkan kisi-kisi untuk meniru hidung kecil—para responden merespons lebih positif terhadap mobil berwajah bayi daripada mobil “dewasa”.

Menurut Aragón, “cute aggression” adalah contoh ekspresi emosi yang dimorf. Artinya, seseorang merasakan satu emosi yang kuat, tetapi mengekspresikan sebaliknya—seperti menangis ketika mereka bahagia atau tertawa ketika mereka sedih.

Apa yang dikatakan Aragón memang terdengar tak masuk akal. Mengapa ketika merasakan sesuatu yang intens, tiba-tiba mengekspresikan emosi yang berbeda? Ini tentu membingungkan. Dalam penelitian awal soal “cute aggression”, Aragón dan rekan-rekannya berhipotesis bahwa mungkin “cute aggression”, dan ekspresi emosi dimorfik lainnya, ada untuk membantu mengatur momen-momen emosional positif yang luar biasa.

Aragón juga menemukan bahwa ketika dia menunjukkan gambar bayi dan hewan lucu kepada orang lain, tampak bahwa ada hubungan antara perasaan terbebani oleh perasaan positif dan kehadiran “cute aggression”.

Meski begitu, Stavropoulos ingin mendalami apa yang sebenarnya terjadi di otak ketika seseorang merasakan “cute aggression”. Dia mempelajari sistem penghargaan di otak, dan menduga sistem ini juga terlibat.

“Penelitian [Aragón] sebelumnya mengatur ini semua, mereka adalah yang pertama menunjukkan bahwa fenomena ini nyata,” kata Stavropoulos. “Tapi karena itu semua terkait perilaku, kami sebenarnya tidak tahu pasti sistem apa yang terlibat.”

Stavropoulos dan rekan-rekannya meminta 54 orang dewasa melihat gambar-gambar binatang dan bayi yang lucu dan agak lucu, dan ini dilakukan sembari peneliti merekam aktivitas otak melalui topi EEG—yang merekam gerakan neuron dari permukaan kulit kepala. Dari aktivitas listrik ini, bisa terlihat bagian otak mana aktivasi itu berasal.

Seluruh orang dewasa itu diminta melihat empat kategori gambar secara acak: bayi hewan yang lucu, hewan dewasa yang kurang imut, serta bayi yang imut, dan kurang imut. Ada delapan foto bayi yang terdiri dari dua perempuan dan enam laki-laki. Foto pun dikondisikan. Ada yang keimutannya ditingkatkan dengan mata dan pipinya diperbesar, sementara ada pula yang dibuat kurang imut dengan memperkecil mata dan pipinya.

Kemudian mereka akan ditanya terkait seberapa lucu gambar itu menurut mereka. Apakah mereka merasakan “cute aggression” seperti “‘Saya ingin memakanmu,’ dengan gigi terkatup,” atau, “Saya ingin mengatakan, ‘Grr.'” Mereka juga ditanya seberapa kewalahan perasaan mereka, apakah mereka berpikir seperti “Saya tidak tahan”, atau “Saya kewalahan oleh betapa positifnya perasaan saya.”

Dari rekaman EEG, para peneliti melihat aktivitas otak rupanya berkaitan dengan sistem penghargaan. Ini mengkonfirmasi hipotesis Stavropoulos bahwa sistem penghargaan di otak terlibat dalam “cute aggression”.

Sistem penghargaan di otak berkaitan dengan motivasi, dan seberapa besar Kamu menginginkan sesuatu. Ini terlibat dalam perasaan dan kesenangan positif—itulah yang membuat Kamu menginginkan hal itu lagi.

Itu agak berbeda dari sistem emosi, yang bisa mencerminkan semua jenis pengalaman emosional. Bukan hanya kesenangan, tetapi juga kemarahan, jijik, dan kesedihan.

Terkait sistem emosi, peneliti menemukan hubungan antara seberapa kuat aktivitas emosional bagi otak, seberapa kewalahan perasaan seseorang, dan terjadinya “cute aggression”. Didapati bahwa ketika seseorang merasakan respons emosional, ini tak semata-mata langsung mengarahkan mereka ke “cute aggression”. Sebab ini harus terlebih dahulu melalui perasaan yang luar biasa, dan barulah “cute aggression” bisa terjadi.

Peneliti melihat sesuatu yang serupa dalam sistem penghargaan—jumlah aktivitas penghargaan di otak dikaitkan dengan seberapa lucu seseorang menilai sebuah gambar (dalam skala 1 hingga 10), dan seberapa kewalahan mereka saat melihatnya. Orang-orang yang menganggap sesuatu sangat lucu, dan merasa kewalahan karenanya, memiliki hubungan yang kuat antara respons penghargaan otak dan “cute agression”.

Secara keseluruhan, Stavropoulos berpikir bahwa aktivitas otak mendukung hipotesis asli Aragón. Jadi, ketika seseorang merasa kewalahan oleh sesuatu yang lucu, “cute aggression” ikut bermain. “Ini mungkin cara otak kita untuk mengatakan, ‘Tenang. Coba atur. Tarik napas dalam-dalam,’” ungkap dia.

Meski begitu, baik Stavropoulos maupun Aragón sepakat bahwa masih diperlukan penelitian lanjutan untuk memastikan penyebab “cute aggression”. Sejauh ini baru disimpulkan bahwa mungkin “cute aggression” hanyalah cara kita mengekspresikan emosi ketika emosi ini begitu intens, dan emosi yang intens ini tak punya tujuan yang jelas. Atau, bisa jadi orang-orang yang mengalami “cute aggression” ialah orang yang fleksibel dalam mengekspresikan emosinya.

Hanya sebagian kecil orang yang memiliki “cute aggression”. Namun yang menarik, Aragón mengatakan, bahwa itu adalah hal ini bisa dilihat secara lintas budaya. Dalam karyanya, dia melakukan survei bahasa di seluruh dunia, dan bertanya apakah ada kata dalam budaya lain yang berarti “sangat lucu sehingga saya ingin memerasnya,” dengan cara yang menyenangkan.

“Dalam banyak bahasa di seluruh dunia, mereka benar-benar memiliki kata untuk itu,” kata Aragón. Ia juga menambahkan bahwa “cute aggression” tak lekang oleh gender. Ini adalah emosi yang kuat dan seringkali tak terhindarkan—bahkan bagi Aragón sendiri.

Aragón bertutur bahwa ia pernah melihat foto paus di dalam air dan tak memedulikannya. Kemudian dia melihat bayi paus, dekat paus besar yang tak ia pedulikan tadi. “Begitu saya melihat bahwa dalam perspektif ini—yaitu versi bayi dari paus, tiba-tiba saya merasa itu menggemaskan,” katanya. “Ketika saya melihat versi bayinya, itu tampak lucu dan tiba-tiba hasrat ingin merawatnya muncul. Dan saya seperti, ‘Tentu saja kami ingin melindungi bayi itu, tentu saja kami ingin memastikan pemenuhan kebutuhannya.’”

(LH)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  30  =  35