Channel9.id – Jakarta. Wasekjen PB PGRI Jejen Musfah menyampaikan, dunia pendidikan akan memasuki 2021 dengan masih dalam kondisi pandemi Covid-19.
Tahun depan, pemerintah akan mengizinkan sekolah melakukan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dengan tetap menerapkan protokol kesehatan. Namun, sebagian sekolah tetap melanjutkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) mengingat kasus Covid-19 yang belum mereda.
“Melihat hal itu, menurut saya, baik melakukan PTM, PJJ, maupun campuran, kuncinya adalah komitmen dan kemampuan guru. Model pembelajaran apa pun akan efektif jika guru memiliki kemampuan dan komitmen mengajar yang baik,” kata Jejen dalam Webinar ‘Refleksi Pendidikan Akhir Tahun di Masa Pandemi’ yang diadakan ISNU DKI Jakarta, Kamis 31 Desember 2020.
Jejen menyampaikan, setidaknya ada 7 indikator kesiapan guru dalam pembelajaran di 2021. Ketujuh hal itu yakni ketersediaan komputer, internet, keterampilan digital, komitmen mengajar, kreativitas, dukungan kepala sekolah, dan kesejahteraan.
“Kesiapan guru mengajar dipengaruhi oleh 7 indikator ini. Semakin lengkap indikator maka semakin siap guru mengajar,” ujar Jejen.
Jejen pun menjelaskan lima tipe kesiapan guru dalam melakukan proses pembelajaran di masa pandemi. Pertama, Jejen menyampaikan, guru sangat siap untuk mengajar. Guru akan siap untuk melakukan PJJ jika ada komputer, internet, dan keterampilan digital guru. PJJ bisa dilaksanakan dengan sangat baik karena di samping terampil, guru juga memiliki komitmen mengajar dan kreatif dalam mendesain pembelajaran.
“Jadi guru tidak sekedar mengajar tetapi kreatif menghadirkan pembelajaran yang menyenangkan dan berpusat pada siswa. Guru bahkan produktif selama pandemi seperti melahirkan karya-karya inovatif dalam pembelajaran dan pendidikan. Pandemi tidak menyurutkan guru berkarya,” ujar Jejen.
Kemudian, Kepala Sekolah juga perlu memberikan pelatihan pembelajaran digital kepada guru. Guru juga harus mendapatkan gaji setara upah minimum regional atau bahkan lebih. Di samping kesiapan guru, siswa juga siap belajar dengan dukungan komputer, internet, dan pendampingan orang tua.
“Dampaknya, siswa dan orang tua puas dengan pelayanan pembelajaran selama pandemi. Mereka tidak keberatan pembelajaran dari rumah dilanjutkan pada awal 2021. Orang tua tetap mau membayar iuran sekolah secara penuh sesuai kebijakan sekolah masing-masing,” ujarnya.
Kedua, guru siap mengajar, meski tidak beruntung karena banyak wilayah yang belum tersedia internet bahkan listrik dan jaringan telepon. Tetapi bukan berarti guru menyerah tetapi tetap mengajar sesuai kondisi, tatap muka atau dari pintu ke pintu.
“Kunci kesiapan mengajar guru ini adalah komitmen dan kreativitas. Pandemi tidak bisa memadamkan semangat mengajar siswa tetapi justeru melahirkan ide-ide inovatif mengajar di tengah pandemi. Mereka tipe guru yang jiwanya adalah mengajar dan membimbing anak-anak meski kesejahteraannya jauh dari guru ASN. Ada atau tidak ada dukungan kepala sekolah mereka tetap rajin mengajar karena komitmen diri sudah sangat kuat,” ujarnya.
Ketiga, guru kurang siap mengajar. Tipe ini adalah guru yang memiliki semua indikator kecuali komitmen dan kreativitas. Guru ini cerdas tetapi prioritasnya bukan siswa tetapi hal lain di luar tugas utamanya.
“Dia mengajar sekedar memenuhi kewajiban sehingga tidak menginspirasi siswa dan tidak melahirkan inovasi dalam pembelajaran,” katanya.
Keempat, guru tidak siap mengajar. Tipe ini adalah guru tidak cerdas atau tidak menguasai keterampilan digital, komitmen rendah, dan tidak kreatif. Guru ini tidak bisa beradaptasi dengan tuntutan PJJ sehingga mengajar dengan cara manual; mengirim dan memeriksa tugas secara manual padahal ada internet dan komputer di sekolah atau di rumah.
“Guru ini tidak akan bertahan di sekolah yang menerapkan atau fokus pada mutu alias bisa dikeluarkan. Jiwanya bukan pendidik sehingga tidak senang mengajar. Mungkin menjadi guru karena terpaksa karena sekolah kekurangan guru, atau daripada tidak ada kerjaan,” kata Jejen.
Jejen menambahkan, guru tipe ini aman berada di sekolah yang tidak mementingkan mutu. Siswa tidak membayar iuran bulanan sehingga gaji guru pun di bawah UMR. Kepala sekolah menghimbau kinerja guru tetapi sekedar pemanis bibir. Kepala sekolah tidak punya daya tawar karena sekolah tidak bisa memberikan kesejahteraan kepada guru.
Kelima, guru sangat tidak siap mengajar. Tipe ini adalah kebalikan dari tipe pertama, di mana ketiadaan komputer, internet, bertemu dengan gagap teknologi, komitmen yang lemah, dan tidak kreatif. Kepala sekolah juga cuek, dan gaji guru sangat rendah.
“Pembelajaran tatap muka tidak berjalan efektif. Guru ini tidak layak jadi guru. Banyak orang terpaksa menjadi guru karena terpaksa. Pendidikan mereka hanya SMA, tidak berbakat jadi guru, dan kemauan belajarnya rendah. Mengajar sepenuhnya bergantung kepada buku ajar. Kepala sekolah tidak menjalankan fungsi pembinaan,” ujarnya.
Dengan adanya tipe-tipe itu, pemerintah harus memeratakan komputer dan internet di sekolah. Pemerataan guru yang kompeten dengan gaji setara UMR sangat mendesak karena kekurangan guru sangat tinggi. Pengangkatan guru yang kompeten akan berdampak pada kualitas siswa.
“Kesiapan guru mengajar model apa pun sangat tergantung kepada kualitasnya. Kesenjangan kualitas guru antar daerah, dan antar negeri dan swasta harus segera diatasi dengan rekrutmen guru yang benar-benar mampu menjaring guru-guru berkualitas,” pungkasnya.
(HY)