Channel9.id, Jakarta. Tahun 2025 menandai fase baru reformasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah tidak hanya menargetkan peningkatan kinerja perusahaan pelat merah, tetapi juga merombak secara mendasar sistem tata kelola dan remunerasi yang selama ini dinilai boros dan kurang transparan.
Langkah paling menonjol sepanjang 2025 adalah penghapusan tantiem bagi dewan komisaris BUMN. Kebijakan ini menjadi simbol pergeseran paradigma: dari model remunerasi berbasis jabatan dan laba, menuju efisiensi struktural dan akuntabilitas publik.
Presiden Prabowo secara terbuka mengkritik praktik pemberian tantiem yang dianggap tidak rasional. Dalam pidato Nota Keuangan RAPBN 2026 di DPR, ia menyoroti besarnya bonus yang diterima komisaris meski intensitas kerja relatif minim.
“Saudara-saudara, masa ada komisaris rapat sebulan sekali, tantiemnya Rp 40 miliar setahun,” ujar Prabowo, Jumat (15/8/2025).
Selama lebih dari satu dekade, pemberian tantiem kepada direksi dan komisaris BUMN berlandaskan Peraturan Menteri BUMN sejak 2014. Regulasi tersebut bahkan memungkinkan bonus tetap dibayarkan meskipun perusahaan masih merugi, asalkan kinerjanya dianggap membaik dibanding tahun sebelumnya.
Klausul ini dinilai membuka ruang pemborosan, distorsi insentif, hingga potensi manipulasi laporan keuangan. Skema tantiem juga ditetapkan berdasarkan persentase gaji direktur utama, dengan porsi signifikan bagi dewan komisaris, terlepas dari kontribusi langsung terhadap operasional.
Presiden Prabowo menilai sistem tersebut tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan efisiensi. Pemerintah memperkirakan penghapusan tantiem komisaris dapat menghemat anggaran hingga Rp 18 triliun per tahun—dana yang dinilai lebih produktif jika dialihkan ke modal kerja, dividen negara, atau proyek strategis nasional.
Danantara Ambil Peran Eksekutor
Arahan Presiden segera ditindaklanjuti Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Melalui Surat S-063/DI-BP/VII/2025, Danantara resmi melarang seluruh dewan komisaris BUMN dan anak usaha menerima tantiem, insentif kinerja, insentif khusus, maupun insentif jangka panjang.
CEO BPI Danantara Rosan Roeslani menyatakan, kebijakan ini tidak hanya menekan biaya, tetapi juga menyederhanakan struktur remunerasi agar selaras dengan praktik tata kelola global. Bersamaan dengan pemangkasan jumlah komisaris—yang sebelumnya bisa mencapai belasan orang per perusahaan—efisiensi yang dihasilkan diperkirakan mencapai US$ 500 juta atau sekitar Rp 8 triliun–Rp 8,3 triliun per tahun.
Dalam struktur baru, anggota direksi masih berhak menerima tantiem dan insentif, namun berbasis laporan keuangan yang riil, berkelanjutan, dan bebas dari rekayasa akuntansi.
Kebijakan ini tidak lepas dari kontroversi. Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi, Denny Januar Ali, secara terbuka mengkritik keputusan Danantara melalui tulisannya “Yang Benar dan Yang Keliru dalam Keputusan Kontroversial Danantara.”
Menurut Denny, larangan tantiem komisaris mengabaikan konteks sistem tata kelola BUMN Indonesia yang menganut two tier board, berbeda dengan negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat yang menerapkan one tier board.
Dalam sistem one tier board, non-executive directors cenderung pasif dan hanya menerima honorarium tetap. Sebaliknya, dalam sistem two tier board seperti di Indonesia, komisaris memiliki peran aktif dalam pengawasan, komite audit, manajemen risiko, hingga arah strategis perusahaan—serta menanggung risiko hukum dan reputasi yang tidak kecil.
“Standar internasional itu benar dalam konteksnya, tetapi tidak otomatis relevan jika diterapkan mentah-mentah ke struktur BUMN Indonesia,” tulis Denny.
Terlepas dari polemik, Danantara menegaskan bahwa kebijakan ini mengacu pada OECD Guidelines on Corporate Governance of State-Owned Enterprises, yang menekankan pentingnya pendapatan tetap bagi komisaris untuk menjaga independensi pengawasan.
Rosan Roeslani menyebut penghapusan tantiem sebagai fondasi awal untuk meninjau ulang keseluruhan sistem remunerasi BUMN. Target akhirnya adalah membangun tata kelola investasi dan perusahaan negara yang transparan, efisien, dan akuntabel di mata publik.
Reformasi ini menempatkan BUMN bukan sekadar entitas bisnis, tetapi instrumen negara yang harus dikelola dengan disiplin fiskal dan kepekaan sosial—meski konsekuensinya memicu perdebatan panjang di kalangan elite korporasi.





