Channel9.id-Jakarta. Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menilai Omnibus Law dilahirkan dari paradigma pemerintah yang menekankan pertumbuhan ekonomi adalah kunci segala-galanya. Misalnya, dia mencontohkan, pembangunan infrastruktur yang didanai BUMN kemudian akhirnya dijual ke asing.
“Ini cara berpikir yang salah. Kebanyakan pedagang pemerintah kita. Di dalam modal asing itu kan ada jasa pekerja asing juga. Padahal, modal asing itu akan menguras devisa kita. Karena dalam membangun itu pake biaya sendiri dulu. Hutang negara yang justru akan membengkak,” ujarnya dalam Konferensi Pers Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis bertema “Jalan Senyap Omnibus Law”, Selasa (18/08).
Kaka menilai lanskap ekonomi dan politik pascapandemi Covid-19 akan berubah. Seperti pola tingkat konsumsi yang mendasari indikator pertumbuhan ekonomi dalam kerangka globalisasi, sudah tidak relevan lagi.
“Seperti kondisi globalisasi yang mendasari Omnibus Law akan berubah menjadi deglobalisasi. Pasca pandemi kondisi negara yang mampu bertahan adalah negara yang mampu menurunkan daya konsumsinya tapi tidak mengurangi kualitas konsumsi,” katanya.
Menurut Kaka, Omnibus Law ini didorong sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Sebab, dengan adanya pandemi pasar bebas memperlihatkan kelemahan-kelemahan yang sangat fundamental.
“Yang bisa melawan pandemi negara yang secara gizi sehat, bukan vaksin. Jadi balik lagi ke soal pangan, sistem kesehatan yang baik dan lain sebagainya. Bukan pengadaan vaksin, karena itu hanya akan menjadi dagangan negara-negara maju,” tambahnya.
Diketahui, dalam beberapa waktu terakhir, Omnibus Law memicu banyak perdebatan di tingkat nasional. Istilah Omnibus Law di Indonesia pertama kali akrab di telinga setelah pidato pelantikan Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 lalu.
Omnibus Law ini sejatinya lebih banyak kaitannya dalam bidang kerja pemerintah di bidang ekonomi. Yang paling sering jadi polemik, yakni Ombinibus Law di sektor ketenagakerjaan yakni UU Cipta Lapangan kerja.
Menurut Kaka, dalam RUU ini di dalamnya sangat memperlemah tenaga kerja yang sebelumnya pun sudah lemah.
“Terutama di masa pandemi banyak dirumahkan buruh-buruh itu. Ditambah lagi akan ada otomatisasi oleh banyak perusahaan. Sehingga, nanti buruh sudah pasti tidak akan dipanggil lagi oleh bosnya,” pungkasnya.
IG