Opini

Kisah Muram Oposisi Indonesia

oleh: Andi Arief

Channel9.id-Jakarta. Demokrasi di Indonesia berjalan sangat unik. Tapi seperti itu pula demokrasi berlaku di negara-negara lain. Semua punya keunikan masing-masing, punya kekhasan sendiri-sendiri.

Sistem soal dan sistem budaya yang berlaku di negara itulah yang membentuk wajah demokrasinya. Karena sistem sosial dan sistem budaya kita cenderung lebih gandrung pada nilai-nilai harmoni, ko-operasi, maka sulit mempromosikan oposisi dalam perpolitikan di negeri ini.

Eksperimen boleh saja dibikin. Rekayasa sosial perlu terus diarahkan untuk perbaikan. Tapi sulit berharap demokrasi di negeri ini akan serupa dengan teori yang diajarkan. Apalagi teori demokrasi juga sangat banyak dan bisa berbeda satu sama lain.

Maka, mana ada Oposisi Sukses di Indonesia? Tidak ada.

Tidak ada oposisi yg berhasil di sejarah politik kita. Kecuali oposisi rakyat -gerakan mahasiswa–. melawan Soeharto.

PDIP, pada lima tahun pertama menjadi oposisi, 2004-2009, harus menemui kegagalan. Mereka tidak bisa mengambil alih kuasa.

Pada lima tahun kedua (2009-2014), PDIP berhasil meraih kekuasaan. Tapi itu karena mereka melawan sesama oposisi: Partai Gerindra. Partai yg berkuasa saat itu, Partai Demokrat, tidak menemukan figur tepat untuk melawan jago PDIP, Joko Widodo.

Figur yang tepat inilah yang lebih menentukan keberhasilan meraih kuasa–alih-alih sikap politik sebagai oposan atau pendukung pemerintahan. Figur yang tepat juga yang membuat adanya kisah oposisi kadang berjalan sukses.

Itulah yang terjadi ketika PDIP menang di (pemilu) 1999 dan Partai Demokrat di 2004. Semakin menarik karena figur yang tepat itu datang dari partai yang relatif baru-seperti PDIP di tahun 1999 (lahir dari konflik PDI) dan Demokrat pada 2004.

Cerita ini tak bisa diikuti Partai Gerindra. Dengan figur Prabowo Subianto, partai ini relatif gagal di 2009. NasDem pun begitu di 2014. Tapi mereka memang tak punya figur kuat dan lebih memilih tak beroposisi.

Pada pemilu 2019, peluang menjadi oposisi tersemat pada partai-partai baru seperti PSI, Perindo, dan Berkarya. Toh semua juga gagal. Figur mereka juga biasa saja.

Sekali lagi, persepsi masyarakat pada umumnya memang kurang menguntungkan bagi oposisi. Masyarakat kita lebih suka para elit bersatu daripada berbantahan. Itu sebabnya, pemerintahan gotong-royong tanpa oposisi menjadi relevan di negeri ini.

Persepsi masyarakat tadi mungkin terbentuk sebagai respon kolektif untuk mengelola risiko yang mereka hadapi: pluralitas yang sangat mencolok.

Masyarakat kita yang plural menyadari, risiko dari berbantahan bisa bikin berantakan. Itu juga yang membuat mereka lebih banyak yang menolak politik SARA.

Ini jadi sebuah pelajaran. Jika ada partai yang menggunakan politik SARA di luar pemerintahan, tak akan ketemu rumus yang bisa membuat mereka sukses berkuasa. Alih-alih memimpin, mereka hanya akan terus menjadi sekte sendiri dalam politik Indonesia.


*Wakil Sekjen Partai Demokrat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

7  +  2  =