Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Boleh jadi banyak orang telah lupa bahwa dari 38 kg emas yang dipajang di puncak tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta, 28 kg di antaranya adalah sumbangan Teuku Markam, seorang saudagar Aceh yang pernah menjadi orang terkaya Indonesia. Orang hanya tahu bahwa emas tersebut memang benar sumbangan saudagar Aceh. Namun tak banyak yang tahu, bahwa Markam lah saudagar yang dimaksud itu.
Itu baru segelintir karya Markam untuk kepentingan negeri ini. Karya lainnya, ia pun ikut membebaskan lahan Senayan untuk dijadikan pusat olahraga terbesar Indonesia. Tentu saja banyak bantuan-bantuan Markam lainnya yang pantas dicatat dalam memajukan perekonomian Indonesia di zaman Soekarno, hingga menempatkan Markam dalam sebuah legenda.
Mengingat peran yang begitu besar dalam percaturan bisnis dan perekonomian Indonesia, Markam pernah disebut-sebut sebagai anggota kabinet bayangan pemerintahan Soekarno. Peran Markam menjadi runtuh seiring dengan berkuasanya pemerintahan Soeharto. Ia ditahan selama delapan tahun dengan tuduhan terlibat PKI. Harta kekayaannya, bersama H. Abdul Rachman Aslam dan Ibrahim Tambunan disita oleh Rezim Orba.
Siapa Markam?
Teuku Markam turunan Uleebalang, lahir tahun 1925 di Kp. Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Sejak kecil Markam sudah menjadi yatim piatu. Ketika ia berusia 9 tahun, ayahnya, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas V Sekolah Rakyat di Panton Labu, Aceh Utara. Kemudian memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat Letnan. Masuk Heiho pada zaman pendudukan Jepang, bahkan ia sempat bertugas di Filipina dengan pangkat setingkat letnan dua. Ketika pecah Revolusi Fisik di Indonesia, Markam berada di Singapura, dan menyelundupkan senjata ke tanah air lewat Pekanbaru. Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jendral Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, dan lain-lain. Selama bertugas Markam aktif di berbagai lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan pertikaian antara pasukan Simbolon dengan Manaf Lubis.
Sebagai prajurit penghubung, Markam lalu diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pemerintah tentara. Markam lalu ditugaskan ke Bandung menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu diemban Markam sampai Gatot Soebroto meninggal dunia.
Adalah Gatot Soebroto yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan adanya pengusaha pribumi yang mampu menghandel masalah perekonomian Indonesia. Tahun 1957 Kapten Markam (NRP 12276) kembali ke Aceh dan mendirikan PT. Karkam (singkatan Kulit Aceh Raya Kapten Markam). Ia sempat bentrok dengan Panglima Iskandar Muda, Teuku Hamzah, karena hasutan orang lain. Akibatnya. Teuku Markam ditahan dan baru keluar tahun 1958. Pertentanganmya dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.
Keluar dari tahanan, ia ke Jakarta. Perusahaannya PT Karkam mendapat kepercayaan Pemerintah mengelola pampasan perang untuk dijadikan Dana Revolusi. Markam menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, dan Surabaya. Bisnis Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor-impor dengan sejumlah negara.
Markam mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja dan mengimpor senjata kebutuhan Dephankam/ABRI.
Teuku Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain seperti Menteri PU Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin, Suhardiman, pengusaha Probosutedjo dan lain-lain.
Sejarah kemudian berbalik, peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat hidup Markam menjadi sulit dan prihatin. Peran dan sumbangan Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata pemerintahan Orba. Ia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dan Soekarnoisme.
Tuduhan itulah yang kemudian mengantarkan Markam ke penjara pada 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses pengadilan. Pertama-tama ia dimasukkan Rutan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke RTM Guntur, selanjutnya berpindah ke Rutan Salemba Jl. Percetakan Negara. Lalu dipindah lagi ke Rutan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke RTM Nirbaya, di kawasan Pondok Gede Jakarta Timur, sebagai tahanan politik.
Tahun 1972 Markam jatuh sakit dan dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun. Markam baru bebas tahun 1974, berkat jasa-jasa baik dari sejumlah teman setianya. Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada kompensasi apapun dari pemerintahan Orba. “Memang betul, saat itu Markam tidak akan menuntut hak-haknya. Tapi waktu itu ia kan tertindas dan teraniaya,” kata Teuku Syauki Markam, salah seorang putra Markam.
Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih aset Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang kemudian dikelola PT PP Berdikari yang didirikan Suhardiman untuk dan atas nama pemerintahan RI.
Suhardiman, Bustanil Arifin, dan Amran Zamzami (dua terakhir ini adalah tokoh Aceh di Jakarta) termasuk teman Markam. Namun tidak banyak menolong mengembalikan aset PT Karkam. Justru mereka ikut mengelola aset-aset tersebut di bawah bendera PT PP Berdikari. Suhardiman adalah direktur utama. Di jajaran direktur tertera Sukotriwarno, Edhy Tjahaja, dan Amran Zamzami. Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen Achmad Tirtosudiro, Ahman Nurhani, dan Bustanil Arifin.
Pada tahun ketika Teuku Markam dibebaskan Soeharto mengeluarkan Keppres No. 31/1974 tentang Harta kekayaan ex PT Karkam, Aslam, dan PT Sinar Pagi yang telah diambil alih pemerintah pada tahun 1966 berstatus sebagai “pinjaman” yang nilainya Rp 411.314.924,29 dan dijadikan sebagai penyertaan modal Pemerintah dalam PT P.P. Berdikari.
Teuku Markam meninggal tahun 1985 akibat komplikasi penyakit gula dan liver di Jakarta. Sampai akhir hayatnya, pemerintah tidak pernah merehabilitasi namanya. Kekayaannya yang diambil alih pemerintah ditaksir bernilai lebih dari Rp. 40 Trilyun.
Pemerintahan yang kini dipimpin Presiden Prabowo Subianto sudah membentuk perangkat khusus untuk menangani urusan Hak Asasi Manusia semoga nama baik Teuku Markam bisa direhabilitasi sebagai hadiah buat orang Aceh yang juga sebentar lagi akan memperoleh Gubernur dan Wakil Gubernur definitif hasil Pilkada 2024.
Dokumen Otentik Pengakuan Terhadap Aset Teuku Markam
Pemerintah RI, mengambil alih aset Teuku Markam berupa PT Karkam, PT Aslam, dan PT Sinar Pagi pada tahun 1966, dan dijadikan modal penyertaan untuk membangun perusahaan dan kegiatan ekonomi kenegaraan melalui PP Berdikari atau kemudian menjadi PT Persero PP Berdikari, fakta mengenai ini berdasarkan dokumen-dokumen sebagai berikut:
- Keputusan Presidium Kabinet No. 01/Ek/Kep/1966, ditetapkan di Jakarta tanggal 12 Agustus 1996 ditandatangani Mayor Jenderal TNI Suharto;
- Keputusan Presidium Kabinet No. 03/Ek/Kep/1966, tanggal 15 Agustus 1966 ditandatangani Mayor Jenderal TNI Suharto;
- Instruksi Presidium Kabinet No. 06/Ek/In/8/1966, tanggal 30 Agustus 1966, ditandatangani Mayor Jenderal TNI Suharto;
- Keputusan Presidium Kabinet No. 18/U/Kep/I/1967, tanggal 19 Januari 1967, ditanda tangani Mayor Jenderal TNI Suharto;
- Keputusan Presidium Kabinet No. 211/Ek/Kep/9/1967, tanggal 27 September 1967, ditandatangani Mayor Jenderal TNI Suharto;
- Peraturan Pemerintah RI No. 22 Tahun 2000, tentang Perubahan Bentuk Perusahaan PT PP Berdikari, dalam konsideransnya dan ketentuannya menjelaskan latar belakang dan dasar hukum pembentukannya yaitu Keputusan Ketua Presidium Kabinet Ampera No. 01/Ek/Kep/8/1996, tanggal 12 Agustus 1996;
- Surat Prof. Dr. Suhardiman, SE, tanggal 20 Agustus 2001, yang ditujukan kepada sdr. Teuku Syauki Markam, tentang Perihal Klarifikasi tentang aset dan harta milik alm. Teuku Markam eks PT Karkam yang dipinjamkan Negara kepada PT PP Berdikari;
- Surat Prof. Dr. Suhardiman, SE, tanggal 21 Agustus 2001, yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara RI, Perihal Klarifikasi tentang aset dan harta milik alm. Teuku Markam dan eks PT Karkam yang dipinjamkan Negara kepada PT PP Berdikari;
- Surat Prof. Dr. Suhardiman, SE, tanggal 30 Agustus 2001, yang ditujukan kepada Menteri Sekretaris Negara RI, Perihal Kedudukan Prof. Dr. Suhardiman, SE, yang semula adalah Pimpinan atau Direktur Utama, atau Ketua Pelaksana PT PP Berdikari yang ditunjuk berdasarkan Anggaran Dasarnya.
Baca juga: Para Pelopor Berdirinya Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial
*LAPEKSI