Nasional

Kisruh Bansos DKI Jakarta, Pempus dan Pemprov Jangan Jadikan Panggung Politik

Channel9.id-Jakarta.  Pandemi Covid-19 bukan saja membuat banyak orang merasa tegang secara psikologis, tapi juga dapat membuat ketegangan politik. Sebagai contoh, hubungan Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Pusat kerap tegang dalam hal menyikapi wabah Corona.

Terakhir adalah soal data bantuan sosial (bansos) yang akan diluncurkan oleh pemerintah pusat seiring dengan diberlakukannya ketentuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Direktur Lima, Ray Rangkuti dalam keterangan persnya mengatakan, pemerintah pusat ataupun daerah tidak menjadikan wabah Covid-19 sebagai panggung untuk tujuan politik.

“Masalah Covid-19 ini harus ditangani bersama. Berlebihan ungkapan ke depan masyarakat tentang ini dan itu, yang faktanya tidak dapat direalisasikan, juga tidak baik. Hal itu hanya menjadikan seolah pemerintah daerah seperti telah bekerja cepat, tegas dan cekatan, tapi fakta di lapangannya justru berbeda. Kita semua membutuhkan satu sikap dan keputusan yang cepat, tapi bukan sembrono, apalagi hanya sekedar tampil memukau dihadapan masyarakat,” papar Ray.

Ia menilai, berbagai klaim pemerintah pusat tak sepenuhnya salah, misalnya soal data yang tumpang tindih. Faktanya sekarang, lanjut Ray, data yang paling diakui warga DKI Jakarta penerima bansos hanya 2.153.196 kepala keluarga.

“Jauh berkurang dari data yang disebutkan sebelumnya yakni sekitar 2.6 juta keluarga. Begitu juga dengan kemampuan membiayai Pemprov DKI Jakarta untuk bansos ketiga dan seterusnya,” jelasnya.

Ray menyebut, persoalan kurang bayar pemerintah pusat dalam DBH sebenarnya tidak menjadi kendala utama Pemprov DKI untuk mengalokasikan dana bansos. “Tapi refocusing-nya yang belum sepenuhnya berjalan,” imbuhnya.

Manager Riset Seknas FITRA, Badiul Hadi mengatakan, kisruh distribusi bansos DKI Jakarta dikarenakan dua faktor. Pertama, terdapat data penerima bantuan yang sama.  Menurutnya, idealnya ada pemutakhiran data sebelum dilakukan distribusi, data kemiskinan DKI Jakarta di sinkronkan dengan data penerima bantuan dari Kemensos.

“Setelah itu, baru ditentukan berapa yang di cover pemerintah daerah dan berapa yang di cover pemerintah pusat,”ujar Badiul dalam pernyataan tertulis, Kamis (14/05).

Kedua, Badiul menilai kebijakan alokasi anggaran pemerintah Provinsi DKI Jakarta nampak kurang serius dan teratur. Proses refocusing anggaran harus dibarengi dengan keterbukaan informasi yang baik terutama bagi masyarakat.

“Informasi inklusif sangat penting agar seluruh elemen tahu anggaran penanganan Covid-19,” tandasnya.

Sementara itu, Direktur IBC, Roy Salam dalam keterangan tertulisnya menyebut, meski tersiar kabar Pemprov DKI mengalokasikan anggaran sebesar 10,64 triliun rupiah; 2,50 triliun rupiah (24%) untuk penanganan dampak kesehatan; Rp 1,53 triliun rupiah (14%) untuk penanganan dampak ekonomi bagi dunia usaha dan 6,57 triliun rupiah (62%) untuk jaring pengaman sosial, namun kebijakan anggaran penanganan Covid-19 di DKI Jakarta masih belum jelas.

“Kemungkinan Pemprov DKI Jakarta belum menyelesaikan penyesuaian APBD untuk penanganan wabah Covid-19,” katanya.

Sehingga, kata Roy, belum diketahui seberapa besar potensi anggaran hasil realokasi dan refocusing yang disiapkan untuk pendanaan kesehatan dan jaring pengaman sosial terkait Covid-19.

“Hingga saat ini belum ada ketetapan, baik berupa Perda atau Pergub, tentang Perubahan APBD Tahun 2020 yang memuat hasil penyesuaian,” ujar Roy.

Menurutnya, Pemprov DKI masih menimbang-nimbang komponen belanja apa yang akan dipotong atau dikurangi, karena adanya potensi penurunan PAD tahun ini.

“Saat ini belanja hibah dan bantuan sosial yang nilainya 7,38 triliun rupiah belum dibelanjakan sama sekali oleh Pemprov DKI Jakarta,” jelas Roy.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia, Jeirry Sumampow mensinyalir, terjadi ketidakharmonisan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah membuat program bantuan sosia. Sehingga mengakibatkan penyaluran bansos sering terkendala.

“Sedihnya, rakyat yang lalu menjadi korban karena bansos menjadi terhambat. Sementara masyarakat dilarang keluar rumah, lahan untuk mencari nafkah dibatasi, dan sejumlah pembatasan lainnya membuat rakyat makin menderita,” ujarnya.

“Adalah kewajiban Negara atau Pemerintah sebagai konsekuensi dari adanya kebijakan pembatasan yang diberlakukan,” pungkasnya.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

36  +    =  45