Channel9.id – Jakarta. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi Undang-Undang (RUU) TNI yang diajukan pemerintah kepada DPR RI masih mengandung pasal-pasal bermasalah. RUU tersebut dinilai membuka peluang bagi kembalinya dwifungsi TNI dan menguatnya militerisme di Indonesia.
Koalisi yang terdiri dari SETARA Institute, Imparsial, Elsam, WALHI, Kontras hingga YLBHI ini menilai revisi UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 tidak mendesak karena regulasi tersebut masih relevan untuk membangun profesionalisme TNI.
Sebaliknya, pemerintah dan DPR seharusnya lebih memprioritaskan revisi terhadap UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer agar prajurit yang terlibat tindak pidana umum tunduk pada peradilan umum.
“Pemerintah sudah menyampaikan DIM RUU TNI kepada parlemen pada 11 Maret 2025. Dari DIM yang diserahkan, draft RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang tetap akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan menguatnya militerisme,” kata Koalisi Masyarakat Sipil dalam pernyataan tertulis, Jumat (14/3/2025).
Salah satu poin yang dikritik adalah perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI aktif, termasuk di Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Koalisi menilai kebijakan ini tidak tepat karena dapat memperkuat kembali dwifungsi TNI di sektor sipil.
“Perluasan di jabatan sipil yang menambah Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak tepat dan ini jelas merupakan bentuk dwifungsi TNI,” ujar Koalisi.
Koalisi juga menyoroti keberadaan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) yang dinilai tidak perlu dipermanenkan. Menurut mereka, Jampidmil seharusnya hanya menangani perkara koneksitas secara kasuistik, bukan sebagai jabatan tetap.
“Sejak awal dibentuknya Jampidmil, kami sudah mengkritisi keberadaan Jampidmil di Kejaksaan Agung yang sejatinya tidak diperlukan,” tegas Koalisi.
Menurut Koalisi, peradilan koneksitas yang ditangani Jampidmil selama ini justru menjadi sarana impunitas. Mereka menilai sistem tersebut seharusnya dihapus agar prajurit militer yang terlibat tindak pidana umum langsung tunduk pada peradilan umum.
“Peradilan koneksitas ini seharusnya dihapus, karena jika militer atau sipil terlibat tindak pidana umum langsung tunduk dalam peradilan umum sehingga tidak perlu koneksitas,” tambah Koalisi.
Penempatan prajurit TNI aktif di KKP juga dinilai tidak tepat karena kementerian tersebut merupakan lembaga sipil. Koalisi menegaskan bahwa setiap prajurit TNI yang menduduki jabatan di KKP seharusnya mengundurkan diri terlebih dahulu.
“KKP adalah lembaga sipil sehingga tidak tepat ditempati oleh prajurit TNI aktif. Prajurit TNI aktif yang menduduki jabatan di KKP sudah seharusnya mengundurkan diri,” kata Koalisi.
Selain itu, Koalisi menilai seharusnya ada pembatasan, bukan perluasan, terhadap jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif. Mereka berpendapat bahwa jumlah jabatan sipil bagi prajurit TNI dalam UU TNI justru perlu dikurangi.
“Jadi jika ingin merevisi UU TNI, justru seharusnya 10 jabatan sipil yang diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU TNI dikurangi, bukan malah ditambah,” ujar mereka.
Koalisi juga mengkritik penambahan tugas operasi militer selain perang dalam RUU TNI, termasuk keterlibatan TNI dalam penanganan narkotika. Mereka menilai penanganan narkotika semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum dan tidak melibatkan TNI sebagai alat pertahanan negara.
“Upaya penanganan narkotika semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum. Sebagai alat pertahanan negara, TNI sepatutnya tidak terlibat di dalamnya,” tegas Koalisi.
Lebih lanjut, Koalisi menilai perubahan mekanisme persetujuan DPR dalam operasi militer selain perang berpotensi mengurangi peran parlemen. Mereka berpendapat bahwa penghapusan persetujuan DPR dalam kebijakan ini dapat menimbulkan konflik kewenangan dengan aparat penegak hukum.
“Draft pasal dalam RUU TNI ini secara nyata justru meniadakan peran parlemen sebagai wakil rakyat,” ujar mereka.
Atas dasar itu, Koalisi menolak DIM RUU TNI yang disampaikan pemerintah ke DPR. Mereka juga mengkritik pernyataan kepala komunikasi presiden yang menyebutkan tidak ada dwi fungsi dalam RUU TNI.
“Pernyataan kepala komunikasi presiden yang menilai tidak ada dwi fungsi dalam RUU TNI adalah keliru, tidak tepat, dan tidak memahami permasalahan yang ada dalam RUU TNI,” tutup Koalisi.
Baca juga: Prabowo Minta Prajurit TNI di Kementerian/Lembaga Harus Pensiun Dini
HT