Opini

Kolonialisme Dan Kutukan Ekstrimisme

Oleh: Soffa Ihsan

Channel9.id – Jakarta. Mendengar istilah “kolonialisme”, adrenalin terpacu meluap-luap. Maklum, Indonesia mempunyai pengalaman terjajah oleh kolonialis, khususnya Belanda. Hingga kini pun, sinisme terhadap hal ihwal yang berbau kolonialis acap mengemuka. Malahan, tafsir terhadap kolonialisme juga sudah berkembang, bukan semata bersifat fisik, tetapi juga menyentuh aspek pemikiran dan kebudayaan (ghazwul fikr). Ada pula yang seperti dilontarkan oleh Ziauddin Sarder dengan istilah “imperialisme epistemologis”.

Bicara kolonialisme di Indonesia rasanya tak lepas dari bicara tentang tumbuh kembang Islam Indonesia. Masalahnya kini, acapkali kolonialis, khususnya Belanda dan Islam di Indonesia, dipersepsi secara antagonistik bahwa Islam adalah anti-kolonial dan kolonialisme adalah anti-Islam. Dampak sertaan pun, misalnya konsep jihad, selalu dipahami sebagai gerakan anti-kolonial.

Paras Islam di Indonesia tidak hanya bertautan atau berpoleskan dengan Timur Tengah. Jaringan ulama Asia Tenggara dengan Timur Tengah, seperti dengan ulama Haramain (Makkah-Madinah), lebih khusus lagi dengan Universitas Al-Azhar di Mesir, memang sangat kuat kala itu, bahkan masih terasa hingga kini. Namun, sulit disangkal ada anasir-anasir lain, seperti dari Barat sebagai akibat kolonialisme saat itu, yang turut “mempermak” wajah Islam di Indonesia.

Blessing In Disguise

Tak sedikit “berkah positif” bagi Islam di Indonesia akibat persentuhannya dengan kolonialisme Belanda. Artinya, pengaruh kolonialis tidak selalu negatif. Dewasa ini, muncul black campaign oleh sebagian kalangan muslim bahwa kemunduran Islam dikarenakan pengaruh kolonialisme di masa silam dan bahkan “tapak-tapak” imperialisme kian kukuh sampai sekarang. Di sinilah, perlunya rekonstruksi sejarah Islam Indonesia di masa kolonialisme dengan cara melihatnya dari berbagai aspek. Tidak hanya dari aspek ideologis, tetapi juga aspek praktis dan institusional.

Aspek institusional, misalnya, terlihat pada institusi pendidikan atau munculnya organisasi-organisasi massa (ormas) keagamaan, seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdatul Ulama. Institusi-institusi tersebut tidak akan muncul tanpa ada tantangan. Dan tantangan yang paling besar adalah kolonialisme. Itulah sebabnya, konsep negara bangsa (nation-state) tidak akan muncul tanpa kolonialisme. Dengan konsep negara-bangsa, kebangsaan dibangun bukan atas dasar kesukuan atau agama belaka. Pun lahirnya wacana nasionalisme adalah hasil reaksi terhadap kolonialisme.

Bagaimana dampak positif lebih lanjut dari “persentuhan peradaban” tersebut? Kita bisa melacak dari aspek pendidikan, aspek hukum, dan aspek adat atau budaya lokal. Intinya, pengaruh kolonialisme terutama Belanda telah menjelmakan Islam Indonesia menjadi modernis.

Sebelum kedatangan Belanda, pendidikan di sejumlah kawasan yang kini disebut Indonesia hanya mengenal sistem halaqah. Ketika model sistem pendidikan Belanda masuk, lalu dikenallah sistem kelas, ujian, ijazah, dan sebagainya. Tingkatan pendidikan tidak lagi berdasarkan kitab yang dibaca, tapi berdasar kurikulum.

Pada institusi pesantren, pengaruh kolonialisme juga terasa. Di pesantren, sistem belajar yang berlaku adalah model menghafal atau text-book, terutama teks dari kitab-kitab kuning. Dalam perkembangannya, sebagian pesantren mencoba menambah dan mengubah cara-cara belajar mereka. Mereka melihat ada nilai positif dari model diskusi atau tanya jawab. Di sini, terlihat bahwa metode pedagogi di pesantren sedikit banyak terpengaruh oleh sistem pendidikan kolonial. Dari sisi kurikulum juga berubah, misalnya waktu itu ada beberapa pesantren yang memperkenalkan bahasa Belanda, selain tentu bahasa Arab.

Sebelumnya, transmisi di pesantren bersifat personal antara murid dengan guru. Dengan sistem pendidikan Belanda, transmisinya menjadi dari dan oleh sistem. Sekolah yang memberikan, bukan sang guru.

Dari aspek hukum, hukum Belanda masa itu sudah terkodifikasi dengan baik. Tokoh-tokoh Islam di Indonesia mencoba merespon dengan mengkodifikasi juga hukum-hukum Islam, seperti terlihat dari ikhtiar mengkodifikasi hukum-hukum dari mazhab Syafi’i. Sekarang, kita temukan kompilasi hukum Islam yang lebih sistematis dan komprehensif. Demikian halnya, soal kodifikasi hukum adat. Di beberapa daerah di kawasan yang kini di sebut Indonesia saat itu, seperti Banten dan Sumatera Barat, hukum Islam bersaturaga dengan hukum adat, dan mereka lebih menganggapnya sebagai pemberlakuan hukum Islam.

Dalam konteks ini pula, kita perlu mencermati soal kebijakan kolonialis. Hasrat menjajah demi merenggut kekayaan alam daerah jajahan memang menjadi salah satu tujuan garda depan. Namun, di balik itu ada hasrat untuk civilizing mission, misi untuk ‘memperadabkan’ masyarakat terjajah. Taruhlah, kebijakan kolonial semisal Inggris dan Belanda. Motif awal Belanda adalah murni ekonomi. VOC, perusahaan Dagang Hindia Timur milik Belanda, misalnya, sejak abad ke-17 memang ingin mencari rempah-rempah. Sementara, Inggris memiliki motif peradaban, selain motif ekonomi tentunya. Belanda sendiri walaupun terlambat dibanding Inggris, kemudian juga tergerak untuk melakukan proses civilizing mission.

Watak kolonialis Belanda memang cenderung untuk melakukan intervensi. Sosok Snouck Hurgronje, misalnya, berpendapat soal pemisahan antara Islam agama dengan Islam politik. Artinya, kalau ada gerakan Islam yang berpolitik harus diluluhlantakkan. Beda jika menyangkut soal-soal murni keagamaan yang apolitik, mereka lepas tangan. Sebut saja urusan naik haji, zakat, harta waris, atau perkawinan.

Ekstrimisme

Kolonialisme berpengaruh secara tidak langsung terhadap perkembangan ekstrimisme Islam di Indonesia. Pesantren dan masjid-masjid dibiarkan oleh Belanda sehingga tidak mengalami reformasi internal. Ini menimbulkan banyak gerakan transmisi Islam dari Timur Tengah menguasai kawasan Indonesia. Akibatnya, banyak sekali orang Islam yang hanya berfikir formal-legalistik, terpaku pada isu-isu soal halal-haram belaka. Tak heran, kala itu kerap sengit terjadi saling lontar vonis bid’ah antar kelompok Islam. Jadi, bukan hanya sekarang saja fenomena munculnya gerakan puritanisasi yang mudah menuduh bid’ah terhadap kelompok Islam lainnya.

Dalam senarai kolonialisme itu, fakta munculnya sufisme menarik diamati. Justru Islam sufistik inilah yang cukup berpengaruh mengangkat pamor Islam di berbagai kalangan. Tasawuflah yang membuat, misalnya, orang-orang Jawa mudah menyerap ajaran Islam. Fakta ini melicinkan proses transmisi Islam menjadi lebih cepat dan lebih menyebar. Tak hanya di pesisir, tapi juga di pedalaman di seluruh Indonesia.

Belanda sangat waspada terhadap Islam sufistik ini. Manakala sudah menjadi tarekat, Islam sufistik ini bisa menjadi kekuatan antikolonial yang efektif. Sejarah membuktikan, banyak gerakan-gerakan sufi lokal yang berjuang melawan Belanda ketika itu. Oleh Belanda, kelompok-kelompok tarekat ini dianggap sebagai Islam politik.

Kita juga bisa menoleh dalam soal kristenisasi. Terhujam anggapan bahwa kristenisasi selalu terkait dengan kolonialisme. Bagi retorika sejumlah aktivis muslim, agama Kristen dipandang agama penjajah, karenanya wajib dimusuhi. Namun, sebenarnya kristenisasi berjalan sangat beragam. Para zending sesungguhnya berjalan sendiri-sendiri. Mereka, sebagai organisasi-organisasi mandiri, tidak selalu terkait dengan kebijakan Belanda. Bahkan, pernah Belanda melarang penyebaran agama Kristen di tempat-tempat yang sudah berpenduduk muslim ketika itu.

Tampaklah, kekuatan kolonial bukanlah kekuatan monolitik. Mereka sebetulnya beragam. Ada yang resmi dan independen, seperti para sarjana-sarjana Belanda yang tak terkait dengan pihak kolonial, pun misi-misi agama tak terkait dengan kolonial, di samping tentu ada sebagian yang terkait.

Di sinilah perlunya kita melihat kolonialisme secara sarwa dimensi. Pasalnya, kita tidak bisa menganggap bahwa kolonialisme sebagai satu kekuatan yang memiliki satu ideologi yang kemudian ideologinya merusak Indonesia dan merusak Islam.

Selintas syarah di atas, paling tidak bisa sebagai “pijakan historis” untuk melihat fenomena kekinian, seperti munculnya faham-faham keagamaan yang puritan dan ekstrem. Mereka ini selalu secara membabibuta melakukan perlawanan dengan apa yang dicap sebagai westernisasi sebagai wujud kolonialisasi wajah baru. Dampaknyapun menjadi kasat mata, yakni bukan hanya sulitnya melakukan “dialog peradaban” dengan mereka, tetapi justru makin menguatnya ekstrimisme dengan segala varian, jaringan dan selnya. Celakanya pula, meruyaknya kekerasan sipil termasuk aksi-aksi terorisme. Memang tidaklah sesederhana memakai pisau analisis ini. Tetapi, seperti kata sejarawan Arnold Toybee, kita bisa mengetahui sejarah kita sekarang melalui pembacaan terhadap sejarah masa lalu.

Penulis adalah Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku) dan Wakil Ketua LBM PWNU DKI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  18  =  28