Nasional

Komite Pemilih Indonesia Gelar Diskusi Virtual ‘Sepak Bola, Politik, dan Demokrasi di Tengah Pandemi’

Channel9.id – Jakarta. Komite Pemilih Indonesia menggelar Talkshow virtual bertajuk ‘Euro 2020/Copa America 2021, Politik dan Demokrasi di Tengah Pandemi’ pada Sabtu 10 Juli 2021 malam.

Kegiatan ini mengundang lima narasumber yang ahli di bidangnya. Kelimanya yakni Pengamat Politik dari Universitas Sam Ratulangi Ferry Daud Liando, Dosen sekaligus pengamat sepak bola Anwar Saragih, Politikus Partai Golkar Sebastian Salang, Direktur LIMA Indonesia Ray Rangkuti, dan Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz.

Jeirry Sumampow selaku Koordinator Tepi Indonesia sekaligus inisiator kegiatan menyatakan, kegiatan virtual ini diadakan sebagai diskusi ringan untuk membahas hubungan antara sepak bola, politik, dan demokrasi. Dia mempertanyakan, adakah hubungan di balik peristiwa sepak bola yang berlangsung dengan dimensi politik maupun urusan demokrasi.

Jeirry sendiri mengakui di berbagai kesempatan kerap mengibaratkan menonton pertandingan sepak bola atau mengidolakan klub sepak bola, sama dengan proses pemilihan umum di Indonesia. Masyarakat yang fanatik mengidolakan klub sepak bola, akan mendukung klub kesayangannya menjadi juara. Namun, ketika kejuaraan berakhir dan klub idolanya menjadi juara, dukungan untuk klub itu pun berakhir.

“Dalam demokrasi pemilu kerap seperti itu. Kita mendukung secara fanatik terhadap pasangan calon tertentu sampai membela mati-matian. Tapi setelah menang dan selesai, kita juga selesai. Tidak ada pengawalan untuk program-program mereka. Kita kemudian menunggu pemilu dan pilkada selanjutnya. Level pemilu kita masih sebatas mendukung kesebalasan klub sepak bola,” kata Jeirry.

Pengamat Politik dari Universitas Sam Ratulangi Ferry Daud Liando menyampaikan, sepak bola dan politik tidak bisa dipisahkan. Sepak bola menjadi urusan politik yang mampu mempersatukan perbedaan dalam sebuah negara bangsa.

“Sepak bola menjadi pemersatu. Misalnya di Prancis, isu sara, imigiran dan, anti muslim sempat menguat kembali. Namun meredup ketika Perancis masuk final sepak bola. Kemudian, Australia, suku-suku banyak berkonflik di sana, tapi ketika final piala dunia pada 2005-2006, orang-orang Australia tidak membawa bendera masing-masing. Jadi bola sangat luar biasa mempersatukan elemen masyarakat di sebuah negara menjadi solid,” kata Ferry.

Senada, Dosen sekaligus pengamat sepak bola, Anwar Saragih menyatakan, politik dan sepak bola tidak bisa dipisahkan. Anwar menilai, sepak bola kerap dimanfaatkan sebagai alat oleh para elite demi kepentingan politik praktis. Menurut Anwar, hal ini bisa terjadi karena komunitas sepak bola merupakan komunitas yang paling mudah untuk dimobilisasi.

“Kendati demikian hal itu tidak mengurangi esensi pertandingan sepak bola. Pertandingan sepak bola tetap berjalan adil,” kata Anwar.

Anwar mencontohkan peristiwa yang pernah terjadi menjelang Indonesia melawan Malaysia di Piala AFF 2010. Beberapa hari sebelum pertandingan final, Ketua Umum Golkar saat itu, Aburizal Bakrie, mengundang timnas Indonesia berkunjung ke kediamannya. Tindakan Aburizal Bakrie itu dikritik sejumlah elemen masyarakat sebab dinilai memiliki agenda politik tertentu.

Di sisi lain, sepak bola juga digunakan sebagai alat politik untuk menunjukan keberhasilan program tertentu. Presiden Hungaria misalnya menjadikan Piala Euro 2020 sebagai sebuah panggung untuk menunjukan kepada dunia bahwa Hungaria berhasil mengendalikan Covid-19 melalui program vaksinasinya. Saat pertandingan Portugal melawan Hungaria di Stadion Puskas Arena, Budapest, sebanyak 61 ribu penonton hadir. Stadion Hungaria penuh dengan penonton dari kedua tim.

Politikus Partai Golkar Sebastian Salang menilai, penuhnya stadion di Hungaria, memberikan sebuah harapan bahwa Indonesia juga bisa melewati pandemi ini. Dia pun berharap situasi bisa kembali normal. Menurutnya, sepak bola memberikan hiburan sekaligus memberikan semangat bagi negara-negara yang sedang berjuang melawan Covid-19.

Sementara itu, Direktur LIMA Indonesia Ray Rangkuti menilai, ada empat kesamaan antara sepak bola Indonesia dan politik di Indonesia. Pertama, pemain sepak bola dan elite politik di Indonesia sama-sama mengedapankan sifat individual atau kepentingan pribadi. Kedua, hal itu yang membuat kerja sama sulit tercapai. Ketiga, karena tidak terjadi kerja sama fokus dan tujuan untuk kepentingan bersama tidak dilakukan.

“Terakhir, pemain sepak bola kita sering terlalu semangat di awal sehingga stamina sudah habis dulu padahal pertandingan belum berakhir. Nah di politik, stamina atau semangat dalam berpolitik dan semangat menggapai cita-cita tidak memliki ketahanan yang cukup,” kata Ray.

Sedangkan, Direktur Sindikasi Pemilu dan Demokrasi August Mellaz mengingatkan, sikap fanatisme para pendukung sepak bola harus dihindari dalam berpolitik. Menurutnya, sikap itu berbahaya bagi proses politik dan demokrasi di sebuah negara.

HY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  74  =  83