Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Mencermati dalam berbagai tayangan tentang kejadian interupsi rapat pembahasan Revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI oleh aktivis di sebuah hotel mewah di bilangan Senayan akhir pekan lalu, menurut penulis sebaiknya kita jangan terlalu melebih-lebihkan seakan ada peristiwa genting dan membahayakan keamanan nasional. Hal tersebut adalah sebuah dinamika bagian dari kebebasan berekspresi dan sebaliknya penanganannya oleh aparat yang bertugas semestinya lebih komunikatif dan humanis.
Tiga materi yang ramai dipersoalkan dalam draft revisi tersebut terletak pada Pasal 3 ayat (1) dan (2) yang mengatur tentang kedudukan TNI, dan koordinasi TNI di bawah Kementerian Pertahanan, Pasal 47 terkait dengan penempatan TNI di kementerian dan lembaga, serta Pasal 53 menyangkut batas usia pensiun.
Hal inilah yang oleh sebagian kalangan dikaitkan dengan upaya rebound Dwifungsi ABRI. Materi pasal 3 dan pasal 53 sesungguhnya tidak perlu membuat kita gusar, bahkan ini menjadi sebuah penegasan yang sangat diperlukan. Hal yang menjadi seksi dipersoalkan terletak pada pasal 47 terkait dengan penempatan TNI di kementerian dan lembaga.
Padahal sudah jelas tertera bahwa penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga sudah dibatasi pada 16 K/L yakni Kemenko Polkam, Kemenhan, Sekmil Presiden, BIN, BSSN. Lemhannas, Dewan Pertahanan Nasional, Basarnas, BNN, Mahkamah Agung. Kementerian Kelautan dan Perikanan, BNPB, BNPT, Bakamla, Kejaksaan Agung dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), yang penempatannya sesuai kebijakan presiden.
Selama ini keberadaan prajurit TNI aktif bahkan dari unsur kepolisian di 16 K/L tersebut sudah terjadi dan tidak menjadi heboh. Revisi UU TNI ini hanya mempertegas dan tidak menyalahi semangat reformasi. Revisi UU tersebut hanya mengatur penugasan prajurit TNI aktif di wilayah jabatan operasional profesional kementerian/lembaga yang sudah dibatasi tersebut. TIDAK ADA otoritas politik, hanya teknis semata. Jadi tak perlu berlebihan juga khawatirnya.
Pertanyaannya, dalam konteks Revisi UU TNI ini:
- Apakah TNI menentukan sendiri lembaga mana saja yang dipilih untuk diduduki?
- Apakah TNI menentukan sendiri pembuatan UU di negara ini?
- Apakah TNI memiliki otoritas politik seperti peran sospol melalui Kassospol dan fraksi ABRI masa orba?
- Apakah TNI memiliki lembaga ekstra yudisial (Kopkamtib, Bakorstanas/da) yang bisa menangkap dan menahan orang (lawan politik rezim) seperti sewaktu masa lalu?
Jawabannya kan tidak, maka bukan hantu dwifungsi apalagi disebut kembalinya rezim orba. Dalam hal ini TNI tidak memutuskan sendiri agendanya untuk kepentingan institusinya sendiri, tapi melalui pemegang otoritas politik yaitu DPR dan pemerintah.
Mengutip pernyataan aktivis 98 Haris Rusli Moti, mereka yang mengobarkan ketakutan dan trauma terkait ancaman militerisme atau dwi fungsi rebound tidak memiliki alas teori yang kuat, persis si bolang ngelantur di siang bolong. Menurut penulis, Prabowo sesungguhnya paham apa yang sedang terjadi dan kontroversi ini dapat menjadi batu uji mengetahui sesungguhnya ada apa dibalik penolakan tersebut.
Baca juga: Ketua MPR Minta RUU TNI Harus Rigid agar Sipil Tak Merasa Terganggu
*LAPEKSI