Channel9.id – Jakarta. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menolak UU Ciptaker lantaran menjadi alat hukum baru bagi liberalisasi sumber-sumber agraria Indonesia. Menurut KPA, ada 10 masalah fundamental UU Ciptaker yang melanggar kontitusi.
KPA menilai, disahkannya UU Cipta Kerja hanya memberikan kepastian hukum dan kemudahan proses kepada investor dan badan usaha raksasa. Hal itu membuat mereka lebih mudah merampas tanah rakyat, menghancurkan pertanian rakyat, merusak lingkungan dan memenjarakan masyarakat yang mempertahankan hak atas tanahnya.
“Mulusnya proses di DPR tidaklah mengherankan karena mayoritas Anggota DPR adalah pengusaha, pemilik modal atau pejabat teras dari badan-badan usaha negara/swasta,” kata Sekjen KPA Dewi Kartika dalam rilis resmi, Selasa (6/10).
Dewi menyampaikan, UU ini bukan masalah klaster ketenagakerjaan atau sesederhana janji “job creation” seperti yang diangung-angungkan dan dipromosikan DPR dan Pemerintah. Sejatinya kaum tani, masyarakat agraris di pedesaan bukan dijadikan obyek eksploitasi pembangunan bercorak kapitalistik, melainkan hanya sebagai sumber cadangan pekerja bagi para pemilik modal.
Terlebih, bagi KPA, UU ini menunjukkan pergeseran ideologi bangsa dan pergeseran politik hukum agraria nasional. Sebab banyak materi UU yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945 dan UUPA 1960.
“Ada persoalan ekonomi politik Indonesia yang dirancang begitu liberal, dari hulu ke hilir pemilik modal lah yang kelak menyetir orientasi pembangunan ke depan. Akibatnya banyak rakyat akan kehilangan sumber mata pencahariannya. Dipreteli hak-hak dasarnya akibat liberalisasi sumber-sumber agraria,” ujarnya.
Adapun 10 masalah fundamental itu yakni,
1) *Menabrak Konstitusi.* Pengabaian terhadap konstitusi, secara khusus Pasal 33 UUD 1945, Ayat (3) mengenai kewajiban Negara atas tanah dan kekayaan alam Bangsa dan Ayat (4) mengenai prinsip dan corak demokrasi ekonomi yang dianut Bangsa. Lebih jauh lagi, banyak keputusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang telah ditabrak UU Cipta Kerja, diantaranya Keputusan MK terhadap UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
2) “Tidak ada landasan filosofis, ideologis, yuridis dan sosiologis sehingga watak UU sangat liberal di bidang pertanahan.” Tidak ada UU yang dijadikan acuan untuk masalah pertanahan. Argumen “norma baru” menjadi cara agar RUU Pertanahan yang bermasalah pada September 2019 lalu dapat dicopy-paste/diseludupkan ke dalam UU Cipta Kerja. Inilah bentuk kolutif birokrat dalam proses legislasi. Tanpa landasan hukum yang diacu, maka UU Cipta Kerja bermaksud menggantikan prinsip-prinsip UUPA yang telah dilahirkan para pendiri bangsa dan Panitia Negara. Para perumus UU Cipta Kerja mengabaikan UUPA sebagai terjemahan langsung hukum agraria nasional dari Pasal 33 UUD 1945.
3) “Azas dan cara-cara domein verklaring (Negaraisasi Tanah) dihidupkan kembali Domein verklaring yang telah dihapus UUPA1960 dihidupkan lagi dengan cara menyelewengkan Hak Menguasai Dari Negara (HMN) atas tanah. Seolah Negara (cq. Pemerintah) pemilik tanah, sehingga diberi kewenangan teramat luas melalui Hak Pengelolaan (HPL)/Hak Atas Tanah Pemerintah. HPL ini disusun sedemikian rupa menjadi powerful dan luas cakupannya. Satu, HPL dapat diberikan pengelolaannya kepada Pihak Ketiga; Dua, dari HPL dapat diterbitkan macam-macam hak, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai (HP) kepada badan usaha dan pemilik pemodal. Tiga, tidak adanya pemberian batas waktu HGU dll., sehingga moral hazard kembali menyeruak di tengah dominasi HGU oleh badan usaha (BUMN/PTPN dan swasta). Empat, perpanjangan dan pembaruan hak dapat dilakukan sekaligus. Inilah bentuk kejahatan terhadap Konstitusi.
4) “Bank Tanah Melayani Pemilik Modal, Sarat Monopoli dan Spekulasi Tanah.” Untuk menampung, mengelola dan melakukan transaksi tanah-tanah hasil klaim sepihak negara (domein verklaring/negaraisasi tanah) dibentuk Bank Tanah (BT). Lembaga BT diberi kewenangan mengelola HPL. Meski disebut sebagai lembaga non-profit namun sumber pendanaannya membuka kesempatan pada pihak ke tiga (swasta) dan hutang lembaga asing. Tata cara kerjanya pun berorientasi melayani pemilik modal. Sehingga para pemilik modal memiliki akses lebih luas dan proses lebih mudah memperoleh tanah melalui skema BT. Proses negaraisasi tanah sebagai sumber HPL bagi BT, otomatis membahayakan konstitusionalitas petani dan rakyat miskin atas tanah-tanahnya, yang belum diakui secara de-jure oleh sistem Negara. Pengalokasian tanah oleh BT tanpa batasan luas dan waktu mendorong eksploitasi sumber-sumber agraria, rentan praktik kolutif dan koruptif antara birokrat dan investor. BT juga berpotensi menjadi lembaga spekulan tanah versi pemerintah.
5) “Penyesatan Publik Tentang Reforma Agraria Dalam Bank Tanah.” Agenda Reforma Agraria (RA) diklaim sebagai bagian dari pemenuhan aspirasi yang dijawab UU Cipta Kerja. Ini bentuk penyesatan kepada publik. Semakin memperjelas ketidakpahaman yang fatal para birokrat dan legislator tentang RA. Reforma Agraria sebagai jalan pemenuhan hak berbasiskan keadilan sosial untuk kaum tani, buruh tani, dan rakyat miskin tak bertanah _(landless)_ TIDAK BISA diletakan dalam _business process_ pengadaan tanah bagi kepentingan investor. Tujuan ‘social justice’ perbaikan ketimpangan dan transformasi ekonomi bersama dalam proses Reforma Agraria tidak bisa dicampuradukan dengan orientasi dan tujuan-tujuan ekonomi liberal dalam BT. Reforma Agraria “dibawa-bawa” sebagai pemanis meminimalisir penolakan Gerakan RA terhadap rencana BT sejak penolakan 2019.
6) “Ketimpangan penguasaan tanah dan konversi tanah pertanian kecil dilegitimasi.” Dalam UU Cipta Kerja, pemerintah dan perusahaan memiliki kewenangan untuk secara sepihak menentukan lokasi pembangunan infrastruktur tanpa persetujuan masyarakat. Otomatis, UU akan memperparah penggusuran, ketimpangan dan konflik agraria sebab mempercepat dan mempermudah proses perampasan tanah _(land grabbing)_ demi pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, perkebunan, pertambangan, energi, agribisnis, pariwisata, dan kehutanan. UU juga menghapus mekanisme perlindungan terhadap lahan pertanian pangan dengan merubah UU Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Petani dipaksa angkat kaki dari tanah pertaniannya jika pemerintah menetapkannya sebagai obyek pembangunan.
7) “Alat hukum baru pemerintah, aparat keamanan dan perusahaan untuk mengkriminalisasi rakyat.” Petani, masyarakat adat dan pejuang agraria kembali di ujung tanduk pemenjaraan akibat klaim kawasan hutan (Negaraisasi Hutan) kembali dikukuhkan. UU ini mengingkari putusan MK No. 95/2014 terkait UU Kehutanan, sehingga pemerintah dan perusahaan bisa memenjarakan rakyat yang menguasai dan memanfaatkan hasil hutannya. UU Cipta Kerja juga memasukan larangan bagi petani dan masyarakat adat untuk berladang dengan cara membakar. Hal ini menunjukkan sikap anti petani kecil dengan budaya agrarisnya. Juga mengancam kedaulatan masyarakat adat dan kearifan lokalnya di atas wilayah adatnya.
8) “Diskriminasi hak petani akibat klaim hutan negara.” UU ini memberikan keistimewaan untuk percepatan proyek strategis nasional (PSN), yang sebelumnya sering terhambat karena ketentuan minimal tutupan hutan 30%. Berbanding terbalik untuk kepentingan RA, dimana pemerintah selalu menggunakan dasar 30% tersebut. Petani dan masyarakat adat lagi-lagi hanya diberikan solusi penyelesaian konflik melalui izin akses perhutanan sosial. Klaim DPR tentang UU menjadi jalan penyelesaian konflik sama sekali tak terbukti. Sebab hak petani dan kampung-kampung dalam klaim PERHUTANI dan HTI tetap diabaikan.
9) “Penghilangan hak konstitusional dan kedaulatan petani atas benih lokal.” UU Cipta Kerja melarang petani untuk memuliakan benihnya sendiri. Padahal MK telah memutuskan bahwa petani kecil berhak untuk memuliakan benihnya melalui Putusan MK No.138/PUU-XIII/2015.
10) “Diskriminasi petani dan nelayan sebagai produsen pangan negara yang utama, dan kebijakan kontraproduktif terhadap janji kedaulatan pangan.” UU Cipta Kerja merubah UU Pangan dengan cara menghapus frasa petani, nelayan dan pembudidaya ikan. Digantikan dengan frasa pelaku usaha pangan. Artinya, UU Cipta Kerja adalah kemunduran jauh upaya penghormatan dan perlindungan petani dan nelayan. Orientasi bisnis pertanian skala besar ini rentan mendiskriminasi sentra-sentra produksi pertanian dan pangan dari petani dan nelayan sebagai produsen pangan negara yang utama.
“Atas masalah-masalah fundamental UU Cipta Kerja di atas, maka kami dari KONSORSIUM PEMBARUAN AGRARIA (KPA) menyatakan MENOLAK UU CIPTA KERJA,” kata KPA.
HY