Channel9.id – Jakarta. Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil telah resmi menjadi tersangka KPK. Ia diduga mengumpulkan setoran-setoran dari kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk bisa maju pemilihan gubernur pada 2024.
Menanggapi hal tersebut, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menilai adanya korupsi kepala daerah demi modal ambisi politik disebabkan karena KPK gagal dalam program pencegahan.
Koordinator MAKI Boyamin Saiman mengungkapkan hampir semua calon kepala daerah biasanya berutang duit untuk maju dan memenangi pilkada.
Ia mengatakan kepala daerah itu dalam periode pertama kepemimpinannya harus mengumpulkan uang untuk balik modal dan mencari biaya kampanye untuk periode kedua.
“Karena belum cukup balik modal kalau satu periode dan mungkin baru malu-malu kucing untuk korupsi. Maka berharap nanti bisa nyari uang sebanyak-banyaknya di periode kedua, maka dia berjuang untuk mendapatkan biaya untuk kampanye menjelang periode kedua. Dari mana uangnya didapat? Kalau mengandalkan gaji dan honor nggak cukup, maka mau nggak mau ya jalan pintas korupsi kan,” ujar Boyamin kepada awak media, Sabtu (8/4/2023).
Boyamin mengatakan banyak cara para kepala daerah melakukan korupsi, misalnya dengan suap yang berkaitan dengan promosi jabatan, perizinan, proyek, hingga memangkas hak-hak pegawai.
“Berkaitan dengan SDM promosi jabatan, mestinya yang hebat, cerdas, dan berintegritas yang naik promosi. Tapi karena kebutuhan kepala daerah, maka yang dipromosikan adalah yang nyogok atau setoran. Terus berkaitan dengan kewenangan yang lain misalnya izin itu ya diberikan kepada yang nyogok,” tuturnya.
Ia menilai biaya politik di Indonesia sangatlah tinggi, bahkan belum diawasi. Boyamin pun menyinggung program pencegahan KPK yang dinilai gagal mencegah potensi-potensi praktik korupsi para pejabat di Tanah Air.
“Potensi-potensi korupsi ini akan makin membesar karena KPK juga gagal membuat pencegahan yang digaung-gaungkan, yang digembor-gemborkan periode ini akan membuat pencegahan yang hebat, sistem anggaran yang bagus, sistem promosi jabatan dan sebagainya bagus, sistem penggunaan kewenangan bagus, tidak disalahgunakan,” ujarnya.
“Tapi kenyataannya tidak ada, akhirnya supaya kelihatan bekerja ya melakukan OTT. Jadi akhirnya ya gagal, dari sisi pencegahan gagal, dari sisi penindakan gagal,” tambahnya.
Boyamin menganggap penindakan KPK saat ini gagal karena KPK hanya menindak koruptor yang levelnya sekelas kepala daerah. Ia pun membandingkan dengan lembaga antirasuah di Malaysia yang berani menyasar para mantan perdana menteri.
“Sementara kalau Malaysia, SPRM Seruan Pencegahan Rasuah Malaysia itu sudah mengarah mantan-mantan perdana menteri, hebat-hebat. Kita malah semakin menurun, kalau dulu DPR-menteri, sekarang turun menjadi level bupati,” pungkasnya.
Sebelumnya, Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh KPK. Ia diduga mengumpulkan setoran-setoran dari kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) untuk kepentingan maju Pemilihan Gubernur pada 2024.
“Setelah terkumpul, uang-uang setoran tersebut kemudian digunakan untuk kepentingan MA di antaranya sebagai dana operasional kegiatan safari politik rencana pencalonan MA untuk maju dalam Pemilihan Gubernur Riau di tahun 2024,” kata Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata dalam konferensi pers, Jumat (7/4/2023).
Alexander menerangkan Adil meminta setoran dari kepala SKPD berupa potongan uang persediaan (UP) dan ganti uang persediaan (GU). Setoran itu dikirim seolah-olah utang kepada Adil. Besaran pemotongan UP dan GU yang ditentukan oleh Adil sekitar 5 hingga 10 persen untuk setiap SKPD.
“Selanjutnya setoran UP dan GU dalam bentuk uang tunai dan di setorkan pada FN yang menjabat Kepala BPKAD Pemkab Kepulauan Meranti sekaligus adalah orang kepercayaan MA,” katanya.
Baca juga: Korupsi Berjamaah, KPK Amankan 28 Orang di Kasus Bupati Meranti, Berikut Daftar dan Jabatannya
Baca juga: KPK Sita Uang Rp 26,1 Miliar di Kasus Korupsi Bupati Meranti, Kini Jadi Tersangka
HT