Channel9.id – Jakarta. LBH Kesehatan bersama dengan Indonesia Audit Watch (IAW), Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta, dan Petisi 28 mendesak BPK RI melakukan audit uang publik yang keluar akibat kewajiban tes PCR oleh pemerintah.
Bagi mereka, kewajiban test PCR bagi pengguna moda transportasi udara dan atau pasien yang akan mendapat tindakan medik, telah berimplikasi terhadap bertambahnya beban belanja masyarakat sekitar Rp 23 triliun.
“Kami memohon kepada BPK RI untuk berkenan menjalankan tugas pokok dan fungsi sebagai auditor keuangan negara guna mengaudit hal yang kami sampaikan ini,” kata Juru bicara LBH Kesehatan, Iskandar Sitorus, Selasa 9 November 2021.
Sesuai Surat Keputusan Presiden nomor 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, menekankan penerapan protokol kesehatan sesuai rekomendasi WHO yakni memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan.
Baca juga: Jubir Bantah Luhut Untung Bisnis PCR
Kemudian, Surat Keputusan Presiden nomor 7 tahun 2020 itu diurai ke dalam turunan peraturan yang diterbitkan oleh para pembantu Presiden, baik Menteri terkait dalam surat itu dan atau Satuan Tugas Covid-19.
“Patut kita catat, dari perspektif epidemiologi/penyebaran sesuatu penyakit, maka tes PCR untuk pelaku perjalanan bukan sesuatu tes tertarget, melainkan hanya pengujian secara acak. Idealnya, tes harus dilakukan tertarget, yaitu terhadap orang yang bergejala guna kepentingan pengendalian sebaran penyakit. Jadi, sesungguhnya mobilisasi masyarakat tidak terkait dengan tes PCR,” ujarnya.
Menurutnya, tes PCR untuk pencegahan Covid-19 hanya tepat bila dilakukan secara ketat terhadap pelaku perjalanan lintas negara. Itu bertujuan untuk mencegah strain atau jenis virus baru yang masuk ke Indonesia yang berasal dari luar negeri.
Kemudian, dampak dari terbitnya aturan itu jadi menempatkan masyarakat pengguna moda transportasi udara didalam negeri dan pasien, harus mengeluarkan uang/anggaran untuk tes PCR. Diduga hampir 29.000.000 (dua puluh sembilan juta) kali tes PCR telah terjadi.
Tentu didalam kewajiban tes PCR itu termasuk juga tes yang dilakukan oleh instansi pemerintah (yakni institusi sektor kesehatan dan Satgas Covid-19 diberbagai lini) terhadap masyarakat, seperti di tempat-tempat isolasi.
Dan juga terhadap aparatur sipil negara (ASN) yang diwajibkan untuk tes PCR dengan menggunakan biaya uang negara/pos anggaran penanganan Covid.
“Sehingga alokasi dana penanganan Covid-19 terkhusus pembayaran biaya tes PCR wajib diaudit sebagai pintu masuk audit terhadap keseluruhan kewajiban tes PCR sesuai aturan-aturan tersebut,” ucap mereka.
Mereka menegaskan, test PCR terus dikritik publik karena harga tinggi. Semula secara umum untuk sekali tes dikisaran Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah) terus berulang berubah ubah sampai dengan harga dikisaran Rp. 275.000 (dua ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).
“Perubahan-perubahan harga ini bisa menjadi salah satu pintu bagi auditor keuangan negara sebab menjadi bahan untuk mencocokkan terhadap pemeriksaan penggunaan dana Covid-19 yang diperuntukkan untuk biaya tes PCR. Itu semua menunjukkan bahwa ada hal-hal yang patut untuk diketahui publik,” ujarnya
Bahkan harga itu menjadi seperti diluar kelaziman padahal komponen pemeriksaan dalam penetapan batas tertinggi tarif PCR adalah bahan habis pakai berupa reagen hingga alat pelindung diri (APD) petugas laboratorium, komponen administrasi, serta biaya lainnya seperti biaya operasional mesin PCR dan listrik.
Selain dari selisih harga yang tinggi, entitas tersebut tentu sebagaimana lazimnya didunia bisnis akhirnya bisa mendapat valuasi. Baik karena performa kinerja bisnisnya, kontrak-kontraknya maupun kerelasiannya.
Selanjutnya, kata mereka, penyelenggara negara dan atau pengguna uang negara dibawah level Presiden menata kelola tes PCR dengan kewenangan yang sesungguhnya pantas untuk dikaji/ dianalisa. Karena hal tersebut tidak pantas dilakukan. Karena hal seperti itu tidak lazim di negara lain. Akibat dari produk kewenangan yang menggiring mobilisasi uang publik mengakibatkan hilangnya potensi penggunaan uang masyarakat untuk keperluan lain sekitar Rp 23 triliun menjadi digunakan membiayai tes PCR.
“Uang sebesar itu sangat signifikan jikalau dipergunakan rakyat untuk membantu perekonomiannya. Bukan malah terkonsentrasi pengumpulannya di tangan sekelompok entitas korporasi,” pungkasnya.
HY