Channel9.id – Jakarta. Menyambut Hari Lahir Pancasila yang jatuh pada 1 Juni 2023, dan dalam rangka Hari Buku Nasional 17 Mei, Lembaga Daukat Bangsa bersama MUI Banten menyelenggarakan kegiatan ngopi bareng literasi dan kebangsaan.
Kegiatan tersebut bertempat di kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten, Jalan Syech Nawawi Al-Bantani Curug Serang Banten. Kegiatan tersebut diikuti sejumlah Eks-Narapidana Teroris (eksnapiter) dan Eks jaringan NII yang ada di wilayah Provinsi Banten, pada Selasa (30/5/2023).
Para narasumber yang hadir dalam kegiatan tersebut adalah, Dr. Dede Permana mewakili MUI Banten, HM Soffa Ihsan, MH., MA dari Lembaga Daulat Bangsa, dan Dr. Ali Muhtarom dari Gerak Literasi Indonesia.
Dalam presentasinya HM Soffa Ihsan lebih mendorong para ikhwan atau eksnapiter untuk mau mengamalkan ayat Iqra membaca dan membaca. Dengan membaca maka pola pikir menjadi terarah, sistematis dan metodis. Sebab manusia itu pertama kali harus dilihat dari pola pikir atau tandzim al-fikr.
Soffa Ihsan yang juga pengurus MUI Pusat bidang ukhuwah Islamiyah ini menunjukkan sebuah kitab literasi yang berjudul al –Siyasah aw al-Isyaroh fi Tadbir al-Imaroh karya Abu Bakar Muhammad Ibnu Hasan Al-Maradi seorang cendikia yang hidup abad 11 masehi di saat pemerintahan Islam di Andalusia mengalami kemunduran dengan adanya pertikaian antar muslim yang berdarah darah. Abu Bakar Ibnu Hasan melihat terjadinya konflik antar muslim tersebut akibat literasi yang tidak mendalam serta tidak lagi mau berfikir secara ilmiah dan metodologis.
“Apa yang ada dalam kitab tersebut persis dengan situasi sekarang dimana sering terjadi konflik antar muslim hanya karena persoalam yang furuiyah atau cabang seperti saling membidahknn bahkan mengkafirkan,” kata Soffa Ihsan melalui keterangan tertulis yang diterima Channel9.id di Jakarta, Kamis (1/6/2023).
“Konflik-konflik seperti ini jangan dianggap remeh sebab bisa membesar dan bisa mengakibatkan negara jadi gaduh bahkan perang yang tak berkesudahan,” katanya menambahkan.
Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) ini mencontohkan apa yg terjadi di Timur Tengah seperti Suriah dan Libya. Seperti Libya dulunya makmur dan kebutuhan rakyat dijamin, lalu terjadi konflik yang mengakibatkan Khadafi dibantai rakyatnya dan kini Libya jadi negara yang porak poranda akibat pertikaian politik dan juga agama.
“Saya pernah punya teman asal Libya namanya Amin Al Manfi. Sekarang dia tinggal di Inggris karena sudah tidak mungkin lg di Libya. Dia dulu berkomunikasi dengan saya lewat email. Dia sedih melihat negaranya hancur akibat politik dan sektarian,’ ujar Soffa yang juga dosen, penulis dan penerjemah sejumlah buku ini.
“Nah ini jangan sampai terjadi di negara kita. Saat ini di negara kita sudah muncul kelompok-kelompok yang membuat gaduh. Negara harus aman dan damai, sehingga beragama menjadi lancar tanpa gangguan. Kalau negara aman maka menjalankan agama juga pasti nyaman,” tambah Soffa Ihsan.
“Negara kita sudah begitu menjamin kebebasan beragama terutama bagi umat Islam. Tidak ada itu istilah mengekang atau krimialisasi atau Islamphobia. Jangan terpengaruh pada politisasi dan berita-berita hoak” Jelas Soffa Ihsan pria asal Blora yang juga pendiri Rumah Daulat Buku (RUDALKU) paguyuban literasi khusus eksnapiter sejak 2017 ini.
Soffa yang juga wakil LBM PWNU DKI ini menceritakan pengalaman dia waktu berada di Labuan Bajo NTT. Muslim di sana minoritas tapi masjid dan adzan mudah dijumpai dan terdengar. Di hotel pun ada petunjuk arah kiblat sehingga memudahkan muslim menjalankan ibadah sholat.
“Artinya masyarakat NTT yang mayoritas Katolik sangat toleran antar agama. Ini berbeda saat Soffa berada di Turki yang 95 persen umat Islam. Suara adzan nyaris tak terrdengar. Di hotel pun petunjuk arah kiblat banyak yang tidak ada. Ini ironis,” kata Soffa Ihsan.
Karena itu, terang benderang fakta bahwa umat Islam di Indonesia harus bersyukur bisa bebas mengekspresikan keberagamaannya. Di Indonesia tempat tempat seperti mal, hotel, pom bensin, perkantoran, kantor polisi dan lainnya selalu menyediakan mushalla bahkan masjid yang megah.
“Seperti kantor polisi di Manggarai Labuan bajo terdapat masjid yang cukup megah yang biasa digunakan beribadah sehari hari termasuk sholat jumat,” tandasnya.
Dalam diskusi tersebut, Soffa Ihsan yang menjadi peneliti radikalisme sejak 2011 ini mengajak para ikhwan atau eks-napiter untuk kembali membudayakan literasi. Ini berarti kembali mengamalkan ajaran Islam yang sebenarnya.
“Mau berfikir ilmiah dan kreatif inovatif itu yang saat ini diperlukan. Harus dimulai dari keluarga sebagai unit terkecil dari negara. Saat ini yang dibutuhkan adalah insan insan yang kreatif dan inovatif,” ujar Soffa Ihsan.
Dikataknnya, masalah bentuk negara sudah final dan tidak perlu diulik-ulik apalagi dengan cara membangkang. Yang harus difokuskan adalah membangun negara ini dengan harmonis, kreatif dan inovatif.
“Umat Islam yang mayoritas ini harus lebih inovatif dan selalu betfikir secara ilmiah serta membangun budaya ilmiah. Negeri kita saat ini peringkat literasinya masih rendah. Nah disinilah peran umat Islam dan secara khusus para ikhwan eksnapiter sudah seharusnya militan dalam ikut mengembangkan budaya literasi dan ilmiah,” katanya.
Nara sumber dari MUI, Dr H Dede Permana, MA menjelaskan bahwa keragaman suku, bahasa, budaya dan keyakinan yang ada di Indonesia merupakan kehendak Allah yang tidak bisa kita pungkiri. Al-Quran, mengisyaratkan hal itu dalam sejumlah ayatnya.
Karena itulah, tutur dosen UIN SMH Banten ini, tugas bersama adalah bagaimana membangun dan merawat keragaman ini supaya menjadi energi positif yang akan membawa kita pada harmoni kehidupan. Perbedaan keyakinan bukan halangan bagi umat manusia untuk berkerjasama membangun harmoni sosial. Al-Qur’an tidak melarang umat Islam bekerjasama dengan pemeluk agama lain selama masih dalam kehidupan sosial.
“Perbedaan bukan alasan untuk kita bertengkar, justru sebaliknya, ia adalah kekuatan kita. Kita harus mampu merawat persaudaraan di tengah perbedaan. Nabi SAW pun dulu di Madinah hidup berdampingan dengan kaum Yahudi secara damai. Dan karena sikap Nabi seperti itu, kaum Yahudi banyak yang masuk Islam secara sukarela,” jelas Dede Permana
Dede juga menekankan bahwa dalam memahami pandangan Al Qur’an harus secara utuh untuk mendorong sikap saling menghormati antar keyakinan. Agama Islam mengajarkan Rahmatan Lil Al-Amin berprinsip hubungan antar umat beragama di tengah kebhinekaan.
Sementara itu, Dr. Ali Muhtarom, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SMH Banten menjelaskan bahwa paham keagamaan merupakan faktor utama dalam gerakan radikalisme dan terorisme. Menurutnya, para pelaku tindak radikalisme dan terorisme mendasarkan gerakannya pada paham keagamaan yang dipahami dan diyakini karena merasa punya legitimasi dalil sebagai dasar perjuangan membela agama.
Namun, menurut Ali Muhtarom yang juga sebagai Direktur Gerak Literasi Indonesia, paham dan keyakinan tersebut sangat membahayakan karena tidak sejalan dengan substansi ajaran agama yang menjunjung tinggi ajaran kasih sayang.
Wakil Dekan III pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan ini juga menambahkan dalam Islam pengetahuan aspek yang meliputi teologi, hukum Islam (fikih), dan akhlak (tasawwuf) perlu dipahami secara komprehensif.
“Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini terkait maraknya sikap intoleransi, radikalisme, hingga tindakan terorisme yang melanda sebagian umat beragama disebabkan oleh keringnya pemahaman aspek spiritualitas keagamaan yang dalam islam masuk dalam ilmu akhlak,” terang Ali Muhtarom.
Ali Muhtarom juga mengajak masyarakat untuk membangun ukhuwah islamiyah. Segala bentuk pemahaman keagamaan yang ada di Indonesia perlu dihormati, selama tidak bertentangan dengan konstitusi negara. Diantara faktor utama dalam membangun ukhuwah Islamiyah adalah menghargai keragaman.
”Kita tidak perlu mempermasalahkan keragaman dalam pemahaman keagaman, karena perlu dibedakan antara agama dan paham keagamaan, atau Islam dengan paham keislaman. Paham keagamaan yang sering menjadi doktrin seperti mendirikan sistem khilafah itu adalah tafsir dari paham keagamaan yang bukan merupakan ketetapan ajaran Agama Islam,” Tandas Ali Muhtarom.
Kegiatan ini juga yang dihadiri oleh sejumlah eks napiter dan beberapa tamu undangan tersebut berlangsung dengan suasana penuh kekeluargaan dengan sesi tanya jawab.
Di akhir kegiatan para ikhwan eks-napiter Banten membaca ikrar untuk meneguhkan kecintaannya pada negara dan siap untuk jihad literasi ikut mencerdaskan anak bangsa. Pembacaan ikrar kebangsaan tersebut bertema “Ikrar Kebangsaan Untuk Indonesia Cerdas dan Damai”.