Channel9.id-Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan pemerintah tidak menerapkan bea keluar (BK) untuk produk bahan baku baterai turunan bijih nikel.
“Mereka sudah berani mengatakan ya kalau boleh turunan ketiga dan seterusnya dari pada nickel ore itu seperti katoda yang lain jangan kalian kenakan tarif untuk keluar,” kata Luhut saat membuka MINDdialogue, Jakarta, Kamis (20/6/2024).
Menurut Luhut, hal tersebut sudah disampaikannya selepas negosiasi dengan sejumlah negara untuk menjamin pasar ekspor turunan nikel di tengah tren proteksi dagang dunia saat ini.
Hingga saat ini, pemerintah belum mendapat kepastian ihwal perjanjian perdagangan bebas terbatas atau limited free trade agreement (FTA) dengan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) untuk mengamankan akses kredit mineral kritis bahan baku baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) Indonesia di dua pasar EV terbesar global itu.
Adapun, AS memiliki paket kebijakan insentif energi baru terbarukan (EBT) lewat Inflation Reduction Act (IRA), sementara UE memiliki Critical Raw Materials Act (CRM) yang membatasi asal mineral kritis dan pabrikan kendaraan listrik untuk mendapat subsidi pemerintah setempat.
Luhut menambahkan, pemerintah tidak berpikir untuk menerapkan bea keluar untuk produk antara dan turunan lanjutan dari bahan baku baterai tersebut.
“Saya bilang kita dari awal nggak kena kok yang kita mau tuh adalah waktu dari nickel ore karena di situ nilai tambah yang paling tinggi,” kata dia.
Belakangan, kata Luhut, sejumlah negara tengah intens untuk menjajaki kemungkinan kerja sama rantai pasok dan investasi turunan nikel dengan Indonesia.
“Kita senang saja dia minta dan itu saya kira sudah dinegosiasikan,” kata dia.
Adapun, IRA memperketat kriteria mineral logam yang dapat menerima insentif kendaraan listrik yang dialokasikan pemerintah AS selepas 2023. Adapun, undang-undang itu menghimpun dana subsidi sebesar US$370 miliar untuk pengembangan teknologi bersih.
Beberapa kriteria itu, di antaranya mewajibkan mineral logam diolah di AS serta bahan baku yang diperoleh mesti berasal dari sejumlah negara yang telah memiliki perjanjian perdagangan bebas atau FTA dengan pemerintah AS. Dominasi perusahaan China pada industri smelter Indonesia juga turut menjadi perhatian pemerintah AS.
Sementara itu, CRM mewajibkan agar pabrik hilir dari turunan mineral kritis seperti sel baterai mesti berdekatan dengan industri mobil listrik di negara anggota Uni Eropa. Kebijakan itu ingin memastikan nilai tambah pengolahan mineral tetap berada di benua biru.
(Igun)