Hukum

Mahasiswa UIN Yogya Ungkap Alasan Gugat Presidential Threshold usai Pilpres

Channel9.id – Jakarta. Empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengungkapkan alasan di balik gugatan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold di Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru dimohonkan setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Salah satu pemohon, Enika Maya Oktavia, mengaku banyak menerima komentar di media sosial yang mempertanyakan kenapa baru mengajukan gugatan setelah pilpres. Ia menilai akan ada tekanan politik jika diajukan jelang Pilpres 2024.

“Sederhana saja jawabannya bahwa semakin dekat dengan Pilpres, maka tekanan-tekanan politik itu akan semakin luar biasa,” kata Enika dalam jumpa pers di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Jumat (3/1/2025).

Enika menuturkan, pengajuan permohonan setelah Pilpres bertujuan agar kajian-kajian yang dilakukan oleh MK tidak terpengaruh oleh tekanan politik.

“Kami ingin kajian-kajian yang dilakukan Mahkamah Konstitusi tidak mendapat pengaruh-pengaruh secara politik, melainkan benar-benar kajian akademik, benar-benar kajian substansi hukum,” tuturnya.

Ia menjelaskan, para mahasiswa yang tergabung dalam kelompok diskusi Komunitas Pemerhati Konstitusi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta itu baru mengajukan materi gugatan ke MK pada Februari 2024 silam.

Sejak Februari 2024, Enika mengaku pihaknya terhalang untuk beracara di MK karena adanya Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres.

Namun, pada Januari 2025, setelah hampir satu tahun, MK akhirnya mengabulkan permohonan masyarakat.

“Sebagaimana harapan kita semua, ada angin segar bagi demokrasi Indonesia. 32 putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya menyatakan tidak diterima dan ditolaknya permohonan-permohonan tersebut, kemudian di permohonan ke-33 ini, akhirnya Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan keinginan dari masyarakat Indonesia itu sendiri,” jelasnya.

Lebih lanjut, mahasiswa angkatan 2021 itu menegaskan bahwa permohonan mereka tidak mendapat intervensi dari organisasi, institusi, maupun partai politik manapun. Ia menyatakan permohonan uji materil yang diajukan adalah murni merupakan perjuangan akademik dan advokasi konstitusional.

“Kami di sini menekankan bahwa perjuangan kami adalah perjuangan akademik, perjuangan advokasi konstitusional. Oleh karenanya, kami cerminkan hal tersebut dengan mengajukan permohonan setelah Pilpres,” tegasnya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi(MK) memutuskan bahwa syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, setiap partai boleh memajukan kandidat di dalam Pilpres.

MK mengabulkan gugatan yang dilayangkan Enika Maya Oktavia dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, Kamis (1/2/2024).

Dilansir dari laman MKRI, presidential threshold tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.

MK sekaligus memerintahkan agar putusan mereka dimuat dalam berita negara sebagaimana mestinya.

Baca juga: MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, Mahfud MD: Saya Salut

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  20  =  25