Channel9.id-Jakarta. Mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev dalam pernyataannya mengatakan kalau pengiriman bantuan senjata ke Ukraina secara terus menerus dapat memicu terjadinya perang nuklir di daerah konflik, Senin (27/2).
Menurut para pengamat, pernyataan mengerikan dari Medvedev itu adalah upaya untuk melemahkan tekad negara-negara Barat dalam mengirimkan bantuan senjata ke Ukraina dan membuat mereka untuk tak terus ikut campur dalam konflik tersebut.
“Tentu saja pengiriman senjata itu tetap dapat terus berlanjut… dan menghambat kemungkinan akan adanya diskusi perdamaian,” komentar Medvedev, dikutip dari koran Izvestia.
“Musuh-musuh kami terus melakukan itu, tak mau mengerti kalau tujuan akhir mereka itu dapat berujung kehancuran total untuk semuanya. Tak akan ada pemenang. Hancur semua. Kiamat. Orang-orang akan lupa soal kehidupan lamanya selama berabad-abad yang akan mendatang, sampai radiasi nuklir-nuklir itu hilang sepenuhnya,” tutup Medvedev.
Baca juga: Setahun Diinvasi Rusia, Zelenskyy Akui Ingin Bertemu Dengan Tiongkok
Komentar Medvedev itu keluar setelah debat jarak jauh Putin dengan Biden pada minggu lalu. Komentarnya itu juga dianggap sebagai konfrontasi eksistensial Rusia dengan negara-negara Barat.
Perbincangan soal nuklir kembali mencuat setelah Putin mendeklarasikan bahwa Rusia menangguhkan partisipasinya dalam pakta keamanan senjata nuklir New START.
Dibawah pakta yang masanya akan berakhir pada 2026 nanti itu, Amerika Serikat dan Rusia dapat memeriksa masing-masing persenjataan nuklirnya. Namun pada Agustus lalu, saat konflik Ukraina sedang memanas, Rusia menolak izin AS untuk menginspeksi persenjataan nuklirnya.
Pakta keamanan nuklir START yang saat itu ditandatangani oleh Barack Obama dan Dmitry Medved pada tahun 2010 mengikat AS dan Rusia untuk membatasi jumlah nuklir yang dapat digunakan oleh kedua negara tersebut.
Perjanjian START itu sendiri dapat diperpanjang lima tahun dengan persetujuan kedua belah pihak. Rusia dan AS sendiri telah memperpanjang perjanjian itu selama lima tahun pada 3 Februari 2021 lalu.
Namun, dengan diumumkannya Rusia yang memutuskan untuk menangguhkan partisipasinya dalam pakta tersebut membuat kedua belah pihak tidak dapat saling menginspeksi persenjataan nuklirnya. Walaupun begitu, Kementerian Luar Negeri Rusia menegaskan, bahwa keputusan ini tidak berarti Rusia sepenuhnya menarik diri dari perjanjian START tersebut.