Oleh: Edy Budiyarso*
Channel9.id-Jakarta. Kabar duka di Sabtu pagi itu terasa menyayat. Wartawan senior Tempo yang juga Direktur utama Tempo Inti Media, Mas Toriq Hadad meninggal dunia di RS Pondok Indah Jakarta. Pilu rasanya, karena kami memang belum sempat menjenguknya. Beberapa hari ini, Mas TH —biasa kami menyapa— memang harus dirawat di rumah sakit serangan jantung.
Kami mengenal Mas TH, jauh sebelum reformasi dan saat kami masih mahasiswa. Tepatnya setelah Majalah Tempo dibredel oleh rezim Orde Baru ditahun 1994. Sebagai aktivis mahasiswa di Jakarta, kami ikut demonstrasi menggugat pembredelan itu dari kantor Departemen Penerangan di Merdeka Barat atau ikut sidang-sidang PTUN di Jakarta.
Dari jalanan, berpindah ke kampus-kampus. Beruntung, kami dekat dengan eks wartawan Tempo pada periode mereka tidak terlalu sibuk. Ini karena setelah pembredelan sekitar 58 jurnalis yang sebagian besar alumni Tempo menjadi deklator Sirnagalih yang melahirkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Akibatnya, mereka di-persona no grata dari industri pers. Pemerintah melarang para deklarator bekerja di media nasional.
Dengan sedikit bergerilya, Toriq Hadad dan Almarhum Bang Yusril Djalinus mendirikan Tempo Interaktif. Majalah Berita Mingguan online pertama di Indonesia di tahun 1996. Lalu siapa para reporternya? Dengan jaringan kampus yang sudah terbina, Mas Toriq merekrut wartawan-wartawan kampus di Jakarta. Ada dari kampus UI, UNJ,UIN, UGM, IISIP, ITI, UPN Veteran Jakarta, dan beberapa kampus besar di daerah yang datang silih berganti.
Ketika itu, saya masih menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Kampus Universitas Negeri Jakarta. Sedangkan para senior, seperti Goenawan Mohamad atau Mas Goen, Bang Yusril, Mas Wahyu Muryadi, dan yang lebih muda seperti Bina Bektiati adalah mentor-mentor kami dan menjadi teman asyik untuk berdiskusi.
Walaupun dikelola setengah gerilya, tetapi di tangan Mas TH, kami dididik dengan Spartan. Ada pembagian pos monitoring, dan kami ditarget untuk bisa mengejar nara sumber utama. Aib rasanya jika tak bisa tembus sumber.
Walaupun diajar dengan keras. kami reporter Tempo Interaktif tak pernah kehilangan kegembiraan. Kami kerap diajak ke rumahnya di Kawasan Pamulang Tengerang Selatan, di akhir pekan. Kami boleh mengambil buah rambutan di samping rumahnya sambil bercanda penuh gelak tawa, membicarakan kekonyolan kawan sendiri. Lebih mirip kumpul keluarga, ketimbang hubungan anak buah dan bos, diiringi santap tek wan buatan Mbak Devi isteri Mas TH.
Bagaimana mengajari wartawan kampus menjadi jurnalis professional? Mas TH paling tidak suka ada reporter berlama-lama duduk di kantor kecuali saat hari deadline. “Jadi wartawan jangan berat pantat, sana kasak-kusuk,” katanya setengah mengusir kami dari kantor.
Sore hari dia ketika kami kembali dari “belanjaan” informasi, biasanya dia akan bertanya. Sudah ketemu siapa? Ada cerita apa? Inilah yang terus menerus diajarkan untuk menguatkan ketajaman mengendus berita, termasuk informasi tersembunyi yang perlu diinvestigasi. Tidak itu saja kami diajarkan teknis menjalin relasi dengan nara sumber.
Saat deadline adalah waktu yang menyiksa. Menulis laporan pasti harus begadangan di kantor. Sialnya, tulisan saya paling sering diedit terakhir, sehingga praktis harus menunggu sampai dini hari. Karena selama proses magang itu, Mas TH yang langsung mengedit meminta kita duduk di sebelahnya, melihat bagaimana sebuah berita menjadi sebuah cerita yang enak dibaca.
Sambil mengusap kening dengan handuk putih kecil yang selalu dia bawa, dia bisa menggerutu kalau tulisannya ngalor ngidul. Karena perfeksionis, bila ketemu salah ketik satu huruf saja, dia akan bilang “Wah jorok bener ini tulisan,” katanya. Sebagai reporter muda kami hanya manyun saja. Itu pun karena otak ini belum konek benar setelah terlelap di kursi kantor menjelang ayam jantan berkokok.
Setelah dua tahun lebih mengelola Tempo Interaktif, datanglah masa reformasi. Majalah Tempo boleh terbit kembali di tahun 1998. Majalah Tempo pun segera bersinar kembali dengan reporter inti yang tak perlu menyesuaikan ritme, pola kerja dan gaya khas Majalah Tempo yang lama. Ini karena ada beberapa reporter garis depan buah tangan dingin Mas TH. Selamat jalan Mas TH, teriring doa kami menghantarmu ke pusara.
*Mantan Wartawan Tempo