Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Terorisme menjadi salah satu tema utama pemberitaan media massa di berbagai belahan dunia. Peristiwa teror seperti peledakan bom, penyerangan aparat, penyerangan tempat ibadah, sabotase, penangkapan para pelaku teror menjadi bahan berita yang menarik bagi media. Terorisme dan media memiliki kaitan erat dalam hubungan simbiosis mutualis meski tidak bersifat langsung. Media membutuhkan bahan berita yang menarik khalayak, di sisi lain para pelaku teror membutuhkan publisitas untuk menunjukkan eksistensi atau menyebarkan alasan ideologis dibalik aksi teror yang mereka lakukan.
Nah, bukti betapa besar kekuatan media massa dalam menyajikan suatu peristiwa. Dengan menonjolkan aspek-aspek tertentu dan memberikan suatu bobot tertentu pula pada suatu isu terorisme misalnyaseperti perbedaan durasi, frekuensi masa tayang-media massa sanggup mempengaruhi khalayak mengenai what to think about dan menjadikannya sebagai bahan pembicaraan di masyarakat nasional, regional, maupun internasional.
Sosiologi: Sebab dan Solusi
Zaman kita seperti terlihat di banyak negara, seturut ulasan Anthony Giddens dalam buku teks babonnya, Sociology (2006) tengah dicengkeram oleh banyak kekerasan. Baik disebabkan oleh kemiskinan, fanatisme, maupun separatisme dan fundamentalisme. Namun, yang lebih menggelisahkannya adalah bahwa its importance has never been adequately analysed within the major traditions of social-politic theory. Kekerasan yang oleh sosiolog masa lalu hanya dicari solusinya tanpa dipecahkan penyebabnya. Sosiologi masa lalu memang lahir dengan filsafat positivisme yang suka berbicara bagaimana, bukan mengapa: solusi bukan sebab. Padahal, sosiologi dalam pengertian luas harus bicara sebab dan solusi sekaligus.
Baca juga: Deradikalisasi Cum Literasi
Anthony Gidden melihat bahwa kajian ilmu sosial selalu berada pada dua kutub besar. Pandangan klasik melihat bahwa struktur (pandangan makro) adalah yang lebih berperan dibandingkan dengan individu (pandangan mikro), yang ia sebut agen. Dan sudah cukup lama kedua kutub pemikiran tersebut meraja dalam ilmu sosial. Giddens mengambil jalan tengah dan menunjukkan bahwa yang terpenting bukanlah agen ataupun struktur, melainkan interaksi keduanya. Melalui konsepsinya ini, Giddens menerabas hutan belantara teori sosial. Pohon-pohon di dalam rimba yang coba dilampaui oleh Giddens adalah fungsionalisme, interaksionisme, strukturalisme, post-strukturalisme, dan post-modernisme. Pemikiran Giddens sangat dekat dengan fenomena industri media dan komunikasi organisasi. Pemikirannya bisa digunakan pada hampir semua fenomena komunikasi media ataupun non-media.
Di dalam kajian media misalnya, kita bisa melihat wartawan sebagai agen, kemudian pola kerja, prosedur, dan yang berkaitan dengan konteks produksi pesan lainnya adalah struktur. Berita yang diproduksi tersebut selalu berkaitan dengan kecakapan wartawan, ketentuan prosedur di dalam profesi pencari berita, dan strategi organisasi media di mana wartawan tersebut bekerja. Proses produksi berita tersebut juga ada di dalam struktur lain yang lebih besar, semisal norma yang berlaku di dalam masyarakat, dan juga sistem bila struktur tersebut sudah relatif stabil.
Dalam tradisi sosiologi, konsep masyarakat lazimnya dihubungkan secara langsung dengan konsep hambatan (constraint). Para pendukung sosiologi struktural-fungsional sesungguhnya cenderung menganggap hambatan, dalam cara tertentu, sebagai sifat unik fenomena sosial. Inilah pandangan yang disanggah Giddens lewat teori strukturasi di mana ia meyakini bahwa ciri-ciri struktural sistem sosial selain memiliki kemampuan menghambat (constrain), juga memiliki kemampuan memberdayakan (enabling). Antara agen dan struktur saling melengkapi dan mempengaruhi realitas tanpa menegasikan satu dengan yang lain. Struktur adalah medium dan hasil dari tindakan agen yang dilakukan berulang-ulang. Sedangkan agen, bahwa tiap orang memiliki kemampuan pemahaman yang cukup dan kompeten, dan merefleksikan tiap tindakannya.
Dualitas struktur memiliki tiga dimensi yaitu signifikasi, dominasi, dan legitimasi. Agen dan struktur memiliki pola kerja yang sinergis, interdependen, dan karena proses tindakan terjadi secara terpola merintangi ruang-waktu, maka anggapan klasik yang menyatakan bahwa struktur hanya memiliki kecenderungan menghambat menjadi tidak relevan di kehidupan modern.
Giddens termasuk dari sedikit ilmuwan yang mampu mengurai fenomena masyarakat modern dari sudut pandang mikro-makro. Selain sifat dualitas struktur, antara agensi dan struktur dalam mereproduksi tindakan-tindakan sosial tidak lepas dari konsep ruang-waktu, dan komunikasi antar manusia memegang peranan penting karena melalui cara itulah individu memaknai tanda-tanda dan simbol-simbol. Sehingga Giddens memasukkan unsur komunikasi dalam dimensi komunikasi (interpretating symbolic facts phase), dan melalui proses komunikasi lintas ruang-waktu inilah realitas sosial tercipta. Atau menurut istilah Giddens, bagaimana kondisi sosial bereproduksi. Maka, hubungan antara agensi (individu) dengan struktur sosial -yang mana media menjadi bagian darinya-adalah hubungan yang simetris-dialektis dalam kerangka ruang dan waktu.
Bagi Giddens, kita membuat, memelihara dan merevisi sekumpulan narasi biografi, peran sosial dan gaya hidup serta cerita tentang siapa kita, dan bagaimana datang untuk berada di tempat sekarang. Kita semakin bebas untuk memilih apa yang ingin kita lakukan dan yang kita inginkan. Tapi peningkatan pilihan dapat membebaskan sekaligus mengganggu. Membebaskan dalam arti meningkatkan kecenderungan seseorang dalam pemenuhan diri sehingga sangat individualis. Menyusahkan dalam arti terjadi peningkatan emosional untuk menganalisis pilihan-pilihan yang tersedia. Padahal sebelumnya, masyarakat tradisional kita disediakan dengan narasi dan peran sosial, sementara pada masyarakat pasca-tradisional kita biasanya dipaksa untuk menciptakan diri kita sendiri. Identitas diri dan identitas sosial yang dulu tidak menjadi bahan-bahan utama dalam sosiologi kemudian menjadi sangat penting di hipotesa-hipotesa Giddens.
Pada masa apakah identitas sosial dan identitas diri berubah? Tentu jawabannya pada masa modern. Karena itu, modernitas menjadi diskursus utama berikutnya. Modernitas bagi Giddens diproduksi oleh perpanjangan dari kekuatan-kekuatan sosial yang sama yang terbentuk pada masa sebelumnya. Giddens tetap membedakan antara masyarakat pra-modern, modern dan post modern dan tidak membantah bahwa perubahan-perubahan penting telah terjadi tetapi mengambil sikap netral terhadap perubahan-perubahan tersebut. Giddens menekankan bahwa kita belum benar-benar melampaui modernitas. Ini hanya dikembangkan (detradisionalisasi) dan belum post modernitas.
Modernitas refleksif dan modernitas radikal adalah konsep-konsep penting lain yang diperkenalkan Giddens dalam studi modernitas, sebagai alternatif konsep postmodernitas. Singkatnya, dalam pembentukan modernitas ada empat gugus institusi: kapitalisme, industrialisme, pasar dan kekuatan militer. Keempat institusi ini saling mempengaruhi dan saling memperkuat. Empat institusi ini pada gilirannya memunculkan empat masalah dan ancaman yang ditimbulkan: kekerasan negara, globalisasi, detradisionalisasi, dan relatifitas sosial.
Dalam situasi empat ancaman di atas, Giddens tiba pada kesimpulan bahwa kita akan mengalami Runaway World (dunia yang tunggang langgang). Dunia, baik pada tataran lokal maupun global, berlarian entah kemana. Istilah ini mungkin cukup pas untuk melukiskan dunia sekarang. Metafor ini dengan tepat menggambarkan situasi dunia yang yang menakutkan. Ancaman perang, perusakan lingkungan, pandemi global, kekuasaan sewenang-wenang, atau jual-beli anak-anak. Ini semua berlangsung dalam suasana di mana tak ada lagi perlindungan yang lokal dari serbuan, tidak ada pegangan baku, dan semua orang merasa yakin akan pilihannya sendiri. Individualisme sedemikian tajamnya sehingga menghancurkan solidaritas sosial. Umat manusia kini berada dalam ancaman besar. Singkatnya, modernitas bagi Giddens menghasilkan manufactured risk, dan masyarakat yang mengalaminya disebut risk society.
Lebih khusus dalam kaitan dengan media, Giddens mengungkapkan bahwa ada keterkaitan antara media dan idiologi. Kajian tentang media sangat berkait dengan dampak idiologi terhadap masyarakat. Idiologi merujuk pada pengertian sebuah gagasan atau ide yang mempengaruhi pada kepercayaan dan tindakan masyarakat masyarakat. Giddens mengutip pandangan Marxis yang menempatkan idiologi sebagai kesadaran palsu. Kelompok yang berkuasa mendominasi gagasan masyarakat untuk memperkuat posisinya.
Gidden menjabarkan bagaimana pengaruh media massa terhadap masyarakat yang berlipat ganda. Media massa bisa membawa lineasi, peniruan yang membabibuta, melahirkan apatisme diantara masyarakat, mendorong bertaburnya prasangka dan meremehkan terhadap isu-isu penting. Media juga bisa melahirkan kekerasan dan ini sudah banyak yang mendokumentasikan. Terlebih dengan munculnya tehnologi internet yang merupakan salah satu pemacu proses globalisasi. Internet telah memicu banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Kekuatan dan capaian media telah begitu menyebar, dan disisi lain juga melahirkan resistensi dalam menjaga seperti keagamaan, budaya atau tradisi yang telah ada. Resistensi ini dalam kerangka membatasi dampak negatif dari media. Giddens menyitir penelitian Ali Muhammadi yang mengungkapkan bagaimana respon negara-negara Islam terhadap kekuatan globalisasi media. Intinya, resisitensi seperti ditunjukkan oleh negara-negara Muslim dikategorisakan menjadi 3, yaitu modernis, tradisionalis dan campuran modernis dan tradisional.
Realitas Baru
Media sesungguhnya berada ditengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Isi media tidak hadir begitu saja melainkan melalui mekanisme tarik menarik kepentingan internal dan eksternal yang kuat. Apa yang tersaji di media bukanlah realita yang sesungguhnya melainkan formulasi kerja redaksional yang menghadirkan kembali realitas dalam wajah yang lain. Media melalui formulasi tersebut menghadirkan realitas baru yang telah mengalami penambahan, pengurangan, perbaikan, penghapusan atau bahkan distorsi dari realitas sesungguhnya. Isi media sarat dengan berbagai kepentingan yang melingkupinya.
Konteks berita harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Setiap wartawan mempunyai pandangan dan konsepsi yang berbeda atas suatu peristiwa. Hal ini dapat dilihat bagaimana wartawan mengkonstruksikan peristiwa dalam pemberitaannya. Berita dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan fakta yang real. Berita adalah produk interaksi wartawan dengan fakta, realitas sosial tidak begitu saja menjadi berita tetapi melalui proses. Diantaranya proses interaksi dimana wartawan dilanda oleh realitas yang ia amati dan diserap dalam kessadarannya, lalu diproses selanjutnya adalah eksternalisasi. Dalam proses ini, wartawan menceburkan diri dalam memakna realitas. Hasil dari berita adalah produk dan proses interaksi dan dialektikal ini.
Pekerjaan media hakikatnya adalah mengkonstruksikan realitas, isi media adalah hasil para pekerja media mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya, di sebabkan oleh sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah realitas yang telah di konstruksikan, pembuatan berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas hingga membentuk sebuah cerita. Konstruksi realitas terbentuk bukan hanya dari cara wartawan memandang realitas tapi kehidupan politik tempat media itu berada. Sistem politik yang diterapkan sebuah negara ikut menentukan mekanisme kerja media massa negara itu memepengaruhi cara media massa tersebut mengkonstruksi realitas, karena sifat dan faktanya bahwa rugas redaksional media massa adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka tidak berlebihan bahwa seluruh isi media adalah realitas yang telah dikonstruksikan.
Secara filosofis, pemahaman tentang dunia dipahami oleh individu berdasarkan kepercayaan hidup mereka, pengalaman, dan pengetahuan. Sedangkan secara tradisi masyarakat, pemahaman tentang dunia disampaikan melalui proses sosialisasi, menciptakan sebuah realitas kolektif dalam budaya atau masyarakat.
Nah, Gidden melihat peran media massa sangatlah signifikan dalam membawa masyarakat pada suatu keadaan yang diinginkan. Dan ini mencakup terorisme yang kian membahana dan bahkan perkasa oleh karena peran media massa yang massif.
Penulis adalah Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)