Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Barusan berselang, polemik ‘hangat nan mesra’ menyemburat diantara para ‘intelektual organik’ negeri ini yaitu Gunawan Muhammad, Hamid Basyaib, AS Laksana, Nirwan Ahmad Arsuka, Ulil Abshar Abdalla, Taufiqurrahman, dan beberapa lainnya. Gara-garanya tulisan Gunawan Muhammad yang mengungkap kegelisahannya tentang ketidakpastian sains menghadapi wabah Corona yang tengah mendera penduduk bumi ini. Kapan berakhirnya serta bagaimana obat penangkalnya, para ilmuwan tampaknya gamang.
Ternyata dalam dunia sains mengidap pula ‘relativisme’, sementara sains selama ini diagungkan tingkat akurasi dan presisinya. Penulis yang juga penyair ini akhirnya ‘menyerukan’ untuk kembali pada seni dan filsafat.
Sontak, tulisan yang berasa ‘pedas-pedas sedap’ ini membakar para ‘penggelisah’ yang berserak dalam berbagai profesi, tetapi pastinya semua penulis handal untuk menanggapinya. Kalau saya besut-besut ada dua kubu yaitu pro sains dan pesimis terhadap sains (bukan anti sains).
Perdebatan asyik nan mendebarkan itu lalu merembet ke persoalan agama hingga ateisme baru. Sosok-sosok kaliber ateisme moderen terutama ‘empat serangkai’ yaitu Richard Dawkins, Sam Harris, Danniel Dannet dan Christopher Hitchens menjadi ‘menonjol’ yang ditampilkan oleh para polemis tersebut. Ini bukan dalam rangka ‘menyerang’ hal-hal yang bersifat keagamaan dan spiritualitas, tetapi merenungkan kembali bagaimana hubungan sains dan wilayah keagamaan.
Empat ateis milenial ini sering dijuluki “Empat Penunggang Kuda” merupakan kritikus agama yang radikal. Mereka menyatakan bahwa ateisme yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan, telah mencapai titik yang merupakan momen untuk mengurangi sifat akomodatif terhadap agama, takhayul, dan fanatisme agama. Mereka aktif dalam dunia pasca-9/11, ketika politik luar negeri AS terfokus pada “musuh tatanan dunia global” yang terdefinisikan dengan jelas: “teroris Islam”. Suara keempat Atheis yang agresif tersebut dianggap relevan untuk menghadang suara kaum Jihadis yang saat itu.
Teror yang Tak Kunjung Padam
Pandemi covid-19 seiring dengan masih menguatnya sel-sel terorisme yang setiap saat siap meledakkan diri, telah meneror umat manusia. Dunia menjadi lintang pukang dalam serangan covid-19 dan juga terorisme. Coba tengok soal terorisme, siapa sangka serangan 11 September 2001 di WTC, New York, secara drastis telah mengubah wajah terorisme yang lebih dimotivasi oleh dorongan ideologi/agama. Situasi ini muncul terutama ketika pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden menyerukan perang antara umat Islam dengan dunia Barat.
Dalam terorisme global selalu mewariskan generasi teror. Paul Berman (2012) menulis tentang “The Philosopher of Islamic Terror” bahwa yang jauh lebih dahsyat dari Al Qaedah adalah ideologi dibalik organisasi itu yang diluncurkan oleh Sayyid Quthub, yang mencita suatu Pan Islamica. Gagasan radikal inilah yang akan terus mendunia untuk menebarkan pesan-pesan terror.
Walter Laqueur (1999) mencatat ada beberapa model terorisme masa depan. Pertama sekali kita saksikan apa yang disebut terorisme nuklir (nucleur terrorism). Terorisme nuklir adalah ancaman yang berbeda, dan akan tetap satu jauh ke masa depan. Ada pula senjata biologi dan kimia (biological and chemical weapons). Pada 1990-an, keyakinan bahwa senjata biologi dan kimia mungkin merupakan bahaya terbesar yang dihadapi umat manusia, dan merupakan yang paling terabaikan. Ada tanda-tanda peringatan sebelumnya.
Penemuan sejumlah besar senjata semacam itu di Irak setelah Perang Teluk datang sebagai kejutan, terlebih lagi karena ada alasan untuk percaya bahwa hanya sebagian dari mereka yang telah ditemukan, dan bahwa, lebih jauh lagi, Irak, serta negara-negara lainnya, termasuk Iran, sedang melanjutkan persiapan untuk perang biologi dan kimia dan berhasil menolak inspeksi.
Teror yang tak kalah giris adalah Cyberterrorism. Karena cepatnya perubahan teknologi, mungkin tidak ada gunanya berspekulasi tentang peran revolusi elektronik di masa depan terorisme. Tak perlu dikatakan lagi bahwa penggunaan luas teknologi ini akan memiliki dampak yang luas untuk konflik antar negara, untuk kejahatan terorganisir, dan untuk teroris.
Beberapa pengamat telah melihat tren kekuatan elektronik bermigrasi ke jaringan kecil tetapi luas yang akan menggantikan organisasi hierarkis. Momok telah disulap dari jaringan hidrasi yang tidak mudah dipecahkan. Juga tidak seorang pun membayangkan bagaimana dalam kondisi ini kekuatan virtual akan diterjemahkan ke dalam kekuatan nyata. Para peretas yang disewa sering tidak berbagi semangat para pemberontak yang ingin merebut kekuasaan.
Mungkin yang dilupakan oleh masyarakat dunia adalah mesin gempa bumi dan sinar kematian. Salah jika menganggap bahwa pencarian tidak akan dilanjutkan di tempat lain di masa mendatang. Bagaimana jika gempa Lisbon (1755), Krakatau (1883), atau Kobe (1995) dapat diulang dalam skala yang lebih besar? Kerak bumi harus ditembus oleh ‘sinar gempa’ ‘atau dengan membangun sebuah meteor artifisial yang digunakan untuk membombardir bumi. Orang seperti apa yang ingin menemukan senjata semacam itu, dengan tujuan menghancurkan bumi, atau setidaknya kehidupan di bumi?
Neonihilis berbeda dari teroris tradisional selama 150 tahun terakhir, dan dari sebagian besar generasi teroris baru. Para idealis gila yang percaya bahwa harus ada pemusnahan raksasa sebelum regenerasi umat manusia. dapat terjadi. Di dunia bahaya teroris yang nyata, mengapa bahkan menganggap orang gila didorong oleh fantasi apokaliptik? Mungkin karena garis psikologis antara mereka dan teroris dengan agenda tipis, dan karena sekarang teknologi pemusnah masal ada.
Mungkin ada sangat sedikit individu dengan baik motif dan kompetensi untuk memerankan fantasi-fantasi ini. Namun ada sedikit keraguan bahwa individu semacam itu ada dan akan ada di masa depan.
Ya betapa dunia saat ini telah dipenuhi oleh ‘virus’ yang siap merobek-robek stamina manusia serta amunisi yang juga siap melantakkan peradaban. Disebalik kegaharan mencekam itu, mengungkapkan tumbuhmenguatnya puritanisme, konservativisme dan anti intelektualisme yang telah melumuri kemapanan rasio manusia dan menjungkalkan dalam kegelapan.
Kebangkitan mereka yang menolak ilmu pengetahuan dan rasionalitas dengan lebih mementingkan emosi serta militansi buta doktrinal membawa peradaban ini dalam ketidakpastian pula. Ilmu pengetahuan yang telah dengan susah payah dibangun manusia selama rentang panjang membangun peradabannya dan telah memberikan manfaat nyata bagi kehidupan umat manusia kini harus bernasib ‘disial-sialkan’.
Tak pelak, apa yang namanya ‘teror’ seperti Diderot pernah mencatat bahwa peralihan dari fanatisme ke barbarisme hanyalah satu langkah, dan jika tren saat ini terus berlanjut, ada setiap alasan untuk ramalan suram. Apa yang terjadi? tentang masa lalu barbarisme cukup menakutkan; konsekuensi kegilaan agresif di era teknologi tinggi dan era senjata pemusnah massal mungkin berada di luar imajinasi kita.
Megaterorisme bisa menjadi apa yang Florus, sejarawan Romawi, tulis tentang kontemporer: faks et turbo sequentis centuri- obor pembakar dan badai dahsyat abad mendatang.
Mendekapi Pengetahuan
Dunia perlu dikembalikan pada ilmu pengetahuan. Militansi idiologis keagamaan serta penyikapan terhadap sebuah pandemi seperti covid-19 akan bisa ‘dicerahkan’ melalui literasi sains. Perdebatan sains dan agama berikut anasir-anasirnya kiranya mampu ‘dilerai’ oleh literasi sejarah pengetahuan.
Untuk itu, mari kembali pada telaah sejarah pengetahuan yang menurut Thomas Nickles, dalam artikelnya Philosophy of Science and History of Science (1995) bermula dari konggres besar sejarah ilmu tahun 1957. Paska itu muncullah buku Thomas Kuhn: The Structure of Scientific Revolutions.
Fokus utama pada peminatan terhadap ilmu pengetahuan—menyitir Mary Hesse dalam Revolutions and Recontruction In The Philosophy of Science (1980)– adalah contex of discovery dari suatu pengetahuan. Para ilmuwan melihat aspek ini yang sering dilalaikan oleh para realis. Mereka melihat-lihat ilmuwan seperti Popper, Imre Lakatos dan beberapa lainnya terlalu naif, karena memisahkan dengan tajam contex of discovery dan contex of justification.
Para ilmuwan khususnya sejahrawan ilmu lalu merekonstruksi argumen-argumen ilmu di masa lampau secara induktif untuk melacak bagaimana pengetahuan bisa sampai pada kondisinya seperti sekarang. Apakah sains yang kita terima ini betul-betul berkembang dari pergulatan internal ilmuwan dan tidak terkontaminasi hal-hal ekstra seperti politik, agama, kehidupan bisnis dan lainnya.
Mereka mengembangkan kekritisan terhadap konsensus serta curiga pada geneologi. Bagi sejarawan sepakat bahwa sejarah sebagai sesuatu yang kaya, dinamik, tapi penuh diversifikasi, cross-road dan perkembangan yang asimetris, yang tidak berjalan linier atau kronologis.
Sebagaimana dikatakan oleh sejarawan ilmu JL Helbron dalam Electricity In The 17 th and 19 Century, A Study In Early Modern Physics (1995), revolusi pengetahuan pada abad 17 misalnya membawa impak yang tidak merata pada cabang-cabang ilmu alam. Ada cabang-cabang ilmu alam seperti astronomi, mekanika atau ilmu optik yang antara satu dan lainnya relatif berjalan bersama.
Soal bagaimana institusi-institusi pengetahuan, forum-forum resmi yang memiliki otoritas menyiarkan ke publik temuan-temuan ilmu seperti Royal Society dan Academy Science di London adalah institusi-institusi yang berpengaruh untuk meloloskan bagaimana sebuah teori tertentu pada abad ke-18 bisa sampai dan diterima luas di publik. Dan rata-rata teori yang mereka loloskan itu semua menjadi cikal bakal teori yang kita kenal sekarang.
Memang pada mulanya sains bukan sesuatu yang publik. Dimanapun seorang saintis, dengan alat-alatnya bekerja dalam laboratorium, dengan proses yang cenderung privat yang minim interferensi dari luar. Di Eropa tahun 1650-an, untuk menguji seberapa jauh penemuan baru telah dilakukan oleh seorang ilmuwan, penemuan itu harus didemonstrasikan di depan khalayak tertentu. Sang ilmuwan harus hadir pada semacam public meeting yang dikelola himpunan-himpunan masyarakat ilmu seperti Royal Society untuk mempresentasikan eksperimen-eksperimennya.
Saat itu bahkan muncul enterpreneur-enterpreneur yang menyelenggarakan kuliah-kuliah atau presentasi-presentasi eksperimentasi pengetahuan. Para pebisnis ini bekerja sama dengan British Society menyelenggarakan peragaan-peragaan penemuan baru para ilmuwan di hotel-hotel untuk menarik kelas menengah. Dan forum-forum seperti ini statusnya adalah quasi legal.
Adalah fakta dalam suatu kurun sejarah, pada saat bersamaan beberapa saintis melakukan penelitian yang sama dengan perspektif berbeda. Tapi dalam sejarah kemudian muncul sebuh nama saja oleh karena aspek rethorical form of science, aspek kecanggihan mengemas dan menyajikan kepada publik. Misalnya saja Lavoiser, ahli ilmu kimia di tahun 1780. Lavoiser memang dikenal cerdas mengembangkan alat-alat baru laboratorium dari disiplin lain seperti mineralogi dan geologi. Dengan dukungan finansial dari Parisian Ademic Des Sciences, ia mampu membuat alat-alat seperti kalorimeter dan gasmeter. Bahka ia menyewa khusus alat-alat dengan bayaran yang sangat mahal untuk membuat spesial alat-alat yang dimauinya. Dalam hal ini, Lavoiser sangat mempertimbangkan efek persuasi.
Alhasil memang kenyataannya Lavoiser dapat mengalahkan pemikiran Josept Priestley, seorang ilmuan kimia lain yang bertahan dengan pendekatan eksperimentasi tradisional, meski memiliki visi yang sama.
Para peneliti sejarah pengetahuan memiliki atensi untuk merekonstruksi kembali secara restropektif kontroversi-kontroversi polemik ilmu pengetahuan di masa lalu. Ini, menurut mereka bukan suatu anakronisme. Sebab kecenderungan sejarah pengetahuan adalah selalu: the winner takes all, there is no second prize. Ada yang menang, ada yang jadi pecundang, mati terkena mortal blow. Kemudian generasi selanjutnya mendapat warisan geneologi dari sang penantang. Tidak ada kesempatan kedua bagi gagasan-gagasan yang kalah untuk membuktikan eksperimennya lagi.
Seorang sejarawan ilmu berusaha tidak terjebak the winner atau the losser, tapi memaparkan kembali kontroversi-kontroversi yang kerap dilupakan.
Generalis Pengetahuan
Berbagai sanggahan balik terhadap relativisme dilakukan oleh para realis, Karl Popper misalnya menyebut tidak mungkin ada suatu periode masa dalam penelitian keilmuan tersebut yang disebut normal science dalam pengertian Thomas Kuhn, dimana para peneliti bersama-sama tidak melakukan aktivitas penelitian yang radiks, yang berusaha melahirkan asumsi baru.
Telaah kembali sejarah ilmu menurut Nickles memang penting, karena dapat membuktikan bahwa betapa berulangkali terjadi revolusi sains tapi ternyata diragukan ‘kesahihannya’. Sementara dan perjalanan waktunya, teori-teori itu mengalami kontradiksi intern dan kemudian tidak bisa dipahami sendiri oleh perspektifnya sendiri yang lama. Harus dipahami, tulis Nickles bahwa dekonstruksi yang dilakukan sejarawan ilmu bukan destruksi. Tapi justru sebuah tilikan historis yang membuka ‘kotak hitam’ ilmu. Sejarawan ilmu penting karena dia bisa menunjukkan suatu heterogenitas gagasan, kemultiragaman gagasan yang berangsur-angsur lenyap dalam sejarah.
Namun kini yang diperlukan adalah suatu pendekatan gabungan. Filsafat ilmu dan historiografi ilmu serta disiplin ilmu lainnya perlu bekerja sama. Keduanya perlu mencari cantelan epistemologi bersama, suatu bootstrap epistemology untuk perkembangan pengetahuan baru. Seorang intelektual generalis dalam studi pengetahuan yang mengatasi perbenturan keduanya, maka dari itu tetap diperlukan.
Penulis seorang Marbot di Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Rumah Daulat Buku (Rudalku)