Opini

Memaknai Konsepsi Presisi Kapolri

Oleh: Dr. Usmar.SE.,MM

Channel9.id – Jakarta. Dalam rapat paripurna DPR RI tanggal 21 Januari 2021 lalu menyetujui pencalonan Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo sebagai Calon Kapolri yang baru menggantikan Kapolri Jenderal Idham Azis yang akan berakhir pada tanggal 30 Januari 2021, yang ditindak lanjuti dengan Surat persetujuan DPR RI tersebut nomor PW/00958/DPR/1 tahun 2021 yang disampaikan kepada Presiden Jokowi melalui Mensesneg. Maka kepastian Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri tinggal menunggu pelantikan saja oleh Presiden Joko Widodo sebelum tanggal 30 Januari 2021 yang akan datang.

Disetujuinya Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo sebagai calon Kapolri, ada beberapa hal yang menarik sebagai suatu catatan tersendiri bagi Calon Kapolri yang baru ini.

Adapun hal menarik pertama, beliau adalah Kapolri pertama yang kebetulan Non-muslim di era reformasi, atau Kapolri yang kedua Non-muslim kalau kita hitung dari masa orde baru, yaitu Jenderal Widodo Budidarmo yang menjabat Kapolri periode 1974-1978. Ini sebenarnya hal yang normal saja, yang sering saya katakan bahwa huruf “i” dari Polri adalah anonim dari Indonesia, bukan yang lain. Dan ini membuktikan institusi Polri telah menerapkan merit sistem dengan baik.

Catatan kedua, bahwa Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo adalah alumni Akpol angkatan 91, yang berarti ada sekitar empat angkatan senior di atasnya yang dilampaui, dan ini dalam kultur organisasi yang bergaris komando, adalah suatu situasi yang perlu dijalani dengan bijak dan seksama oleh Kapolri baru tersebut, untuk tetap menjaga keharmonisan internal kepolisian.

Konsepsi Presisi

Dalam penyampaian makalahnya yang diberi judul “Transpormasi Polri yang Presisi” saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, Rabu, 20 Januari 2021, Komjen Listyo Sigit memaparkan 16 program prioritas dan 8 komitmen jika terpilih menjadi Kapolri, dan menggulirkan istilah “Presisi” dalam memimpin institusi Polri kedepan.

PRESISI adalah singkatan dari Prediktif, Responsibilitas, Transparansi, Berkeadilan, yang dengan konsepsi ini dapat membuat pelayanan lebih terintegrasi, modern, dan mudah.

Konsep Prediktif, calon Kapolri tersebut mengharapkan dapat membangun kejelasan dari setiap permasalahan keamanan dalam menciptakan keteraturan sosial di tengah masyarakat. Memang ada adagium yang mengatakan bahwa “Lebih baik mencegah daripada mengobati”, namun perlu kita ingatkan bahwa, penerapan konsep prediktif yang dimaksudkan haruslah berbasis data yang ilmiah yang memang bertujuan untuk mencegah sesuatu masalah yang lebih buruk, bukan justru jadi pembenar untuk monopoli makna kebenaran sebuah asumsi.

Sedangkan konsep responsibilitas, haruslah dimaknai, bahwa dengan kemajuan teknologi informasi institusi kepolisian harus cepat dan tanggap dalam merespon berbagai permasalahan yang berkaitan dengan Kamtibmas, yang diadukan dan dikeluhkan masyarakat. Tidak perlu menunggu sesuatu informasi menjadi viral di sosisal media, baru kepolisian bertindak. Hal ini dapat dimaknai masyarakat bahwa institusi kepolisian dalam melindungi masyarakat, tidak berbasis strata apapun kecuali semata hanya ingin menghadirkan kenyamanan dan keamanan di masyarakat.

Adapun konsep Transparansi, adalah sesuatu yang dapat menunjukkan pada masyarakat bahwa institusi Polri sangat terbuka yang dapat diindikasikan bahwa berbagai informasi yang menyangkut kebutuhan masyarakat dalam pelayanan Kamtibmas yang menjadi domain kepolisian dapat diakses oleh siapapun dan kapanpun dengan mudah, dan ini bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan di era digital saat ini.

Poin terakhir dari konsepsi PRESISI, adalah Berkeadilan. Ini adalah sesuatu yang sangat filosofis dan menjadi hal yang fundamental dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Jika institusi kepolisian gagal melakukan kewajibannya dengan azas berkeadilan, maka Keadilan di masyarakat akan mencari jalannya sendiri. Tentu ini sangat berbahaya dan menegasikan tiga kosepsi sebelumnya yang telah dilakukan meski dengan baik.

8 Komitmen Kepolisian

Istilah konsepsi “Presisi”, keinginan calon Kapolri Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo, yang dibahas di atas sebenarnya menyatu dalam 8 agenda lainya yang akan dilakukan institusi kepolisian nantinya, yaitu :
1. Menjadikan Polri sebagai institusi yang prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan (PRESISI).
2. Menjamin keamanan untuk mendukung program pembangunan nasional.
3. Menjaga soliditas internal.
4. Meningkatkan sinergisitas dan soliditas TNI Polri, serta bekerjasama dengan APH dan kementerian/lembaga untuk mendukung dan mengawal program pemerintah.
5. Mendukung terciptanya ekosistem inovasi dan kreatifitas yang mendorong kemajuan Indonesia.
6. Menampilkan kepemimpinan yang melayani dan menjadi teladan.
7. Mengedepankan pencegahan permasalahan, pelaksanaan keadilan restoratif dan problem solving.
8. Setia kepada NKRI dan senantiasa merawat kebhinnekaan.

Kedepannya, masyarakat akan melihat dan menilai bagaimana calon Kapolri tersebut mampu mengimplementasikan delapan komitmen tersebut, sampai ke struktur paling bawah di institusi kepolisian dengan memaknai tunggal dalam garis komando yang telah ditetapkan oleh pemimpin Polri.

Konsep Pamswakarsa

Dari delapan Komitmen yang akan dilakukan oleh institusi Polri dalam era Kepemimpinan calon Kapolri Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo, yang menjadi polemik ramai di masyarakat adalah konsepsi Pamswakarsa.

Kalau hanya dari kata Pamswakarsa saja yang berarti Pasukan Pengamanan Masyarakat Swakarsa tentu tidak menjadi persoalan. Tetapi hal ini tidak dapat dinafikan begitu saja, mengingat dalam memori kolektif masyarakat secara sosiologis, termasuk dalam ingatan penulis sendiri yang sempat melihat dan mengalami langsung teror yang dilakukan oleh Pamswakarsa di era Orde Baru tepatnya jelang era Reformasi 1998, saat penulis masih aktif sebagai aktivis gerakan yang tergabung dalam organ Forum Komunikasi Mahasiswa Se-Jakarta (FKSMJ), sungguh suatu yang menakutkan dan mengerikan, bahkan dapat mendorong konflik horizontal di basis masyarakat. Dimana para kelompok Pamswakarsa tersebut yang merupakan sebuah organ paramiliter yang dibentuk militer untuk membendung aksi demonstrasi mahasiswa, bersenjatakan bambu runcing dan senjata tajam lainnya, Dengan kondisi mereka yang beraroma minuman keras, berupaya untuk menyerang para Mahasiswa dan aktivis gerakan yang sedang melakukan aksi dan upaya mendorong demokratisasi untuk perbaikan negeri tercinta ini.

Memang ada beberapa tanggapan dari pemerintah, seperti yang disampaikan oleh Deputi V Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Jaleswari Pramowardhani, bahwa Pamswakarsa yang digagas saat ini, berbeda dengan yang pernah terjadi di era orde baru. Tetapi adalah sebuah kebijakan yang merupakan turunan dan tindak lanjut dari Undang-Undang 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa salah satu amanat UU 2/2002 tersebut, Polri berkewajiban melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis.

Ada dua fungsi penting penerapan Pam Swakarsa. Pertama, memberikan porsi peran bagi masyarakat bersama Polri untuk memaksimalkan upaya menjaga keamanan di lingkungan sesuai undang-undang. Kedua, mencegah praktik main hakim sendiri karena ada kejelasan legitimasi porsi dan kualifikasi masyarakat mana yang bisa turut membantu Polri lewat mekanisme izin yang ada.

Namun demikian yang perlu dipikirkan dan dilakukan oleh institusi polri, bahwa jangan sampai ada persepsi di masyarakat terutama yang nantinya bergabung/direkrut sebagai anggota Pamswakarsa, justru merasa mendapat legitimasi berlebih seolah mereka menjadi aparatus kepolisian lapis dua yang juga punya kewenangan dan ototritas menjalankan fungsi polisional.

Selain itu justifikasi masih kurangnya jumlah anggota Polri berbanding dengan jumlah penduduk, tentu Pamswakarsa ini bukanlah solusi tunggal mengatasi dan menyelesaikan persoalan Kamtibmas yang terjadi.

Terakhir kita ingin mengatakan bahwa dengan luas dan lebarnya ruang diskresi yang dapat dilakukan oleh aparatus kepolisian, dalam menegakkan Kamtibmas, maka secara idealitas dan profesionalitas, institusi Kepolisian itu sejatinya memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Karena itu berbagai pendapat yang berkembang di masyarakat tentang keraguan akan konsep penerapan Pamswakarsa ini, yang mungkin saja berjarak kualifikasi anggota Pamswakarsa yang akan di bentuk dengan kualifikasi ideal yang sesungguhnya institusi Polri butuhkan, haruslah menjadi diskursus dan momentum Kapolri baru untuk mewujudkan, bahwa Polri adalah benar Pelindung Dan Penyayom Masyarakat.

 

Penulis adalah Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  50  =  51