Channel9.id – Jakarta. Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menilai, imbauan Kemendikbud tentang larangan mahasiswa melakukan demontrasi UU Ciptaker dan meminta kampus menyosialisasikan UU Ciptaker, mengandung beberapa kondradiksi.
“Imbauan agar kampus ikut mensosialisasikan UU Cipta Kerja justru mengandung kontradiksi yang mendalam, sebab Draf Final UU Ciptaker tersebut tak bisa diakses oleh kalangan akademisi, aktivis masyarakat sipil, bahkan oleh publik umumnya hingga sekarang. Apalagi ditambah keterangan DPR jika Draf itu belum final, lantas yang disahkan ketika sidang Paripurna itu apa? Jadi apa yang harus disosialisasikan oleh Universitas?,” kata Satriwan dalam keterangannya, Sabtu (10/10).
Terlebih, dengan adanya intervensi itu, program Merdeka Belajar dan Kampus Merdeka andalan Kemendikmud, menjadi bukti bahwa hal itu hanya jargon belaka. Lantaran, Kemendikbud mencabut kemerdekaan akademik universitas sebagai lembaga yang berfungsi mengembangkan nalar kritis.
“Ini adalah bukti bahwa kebijakan Kemendikbud kontradiktif. Di satu sisi Kemendikbud membuat kebijakan Kampus Merdeka, namun di sisi lain memasung kemerdekaan kampus dalam menjalankan fungsi kritisnya sebagai wujud Kampus Merdeka,” ujarnya.
Baca juga : Kemendikbud Minta Mahasiswa Tak Ikut Unjuk Rasa Tolak UU Ciptaker
Menurut Satriwan, kampus sudah semestinya menyiapkan generasi-generasi muda yang berperan sebagai intelektual organik. Artinya seorang intelektual yang senafas dengan rakyat, betul-betul merasakan apa yang dirasakan para buruh, masyarakat adat, dan lainnya terhadap UU Ciptaker ini.
“Apalagi para mahasiswa belajar tak hanya di ruang kuliah yang terbatas tembok, melainkan ruang kuliah sesungguhnya para mahasiswa ini adalah lingkungan masyarakat itu sendiri, mengikuti aksi demonstrasi adalah bagian dari laboratorium sosial mahasiswa sebagai agen perubahan. Menjauhkan mahasiswa dari rakyat, sama saja menjauhkan ikan dari lautan luas,” katanya.
Dalam surat edaran Kemendikbud itu disebutkan “menginstruksikan para dosen senantiasa mendorong mahasiswa melakukan kegiatan intelektual dalam mengkritisi UU Ciptaker”. Menurut Satriwan, justru selama ini kritik itulah yang tengah dilakukan mahasiswa, adapun aksi turun ke jalan merupakan wujud aspirasi dan ekspresi mereka terhadap langkah-langkah DPR dan Pemerintah yang abai terhadap aspirasi mereka bersama rakyat lainnya.
“Kemendikbud tak usah alergi dengan kekritisan para mahasiswa dan dosen terhadap UU Ciptaker ini. Lagi pula kampus punya otonomi yang mesti dihargai Kemendikbud,” katanya.
“Munculnya reaksi para mahasiswa, buruh, dan kalangan sipil lainnya terhadap UU ini membuktikan, jika pemerintah dan DPR tidak transparan dalan proses pembuatannya, tak membuka ruang dialog dan partisipasi kepada masyarakat sebagaimana ciri utama negara demokrasi. Para mahasiswa sesungguhnya sedang menunaikan tugasnya sebagai kelompok intelektual yang tak berjarak dengan rakyat. Kemendikbud hendaknya paham jika kampus itu bukan lembaga tukang stempel,” pungkasnya.
(HY)