Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Strategi kontraterorisme Indonesia seringkali dipuji karena dipandang berhasil menangkapi dan mengadili anggota kelompok teroris secara efektif seraya menjaga agar transisi demokrasi Indonesia tetap berjalan (Zakhary Abuza; 2010). Akan tetapi, terdapat pula masalah dan tantangan untuk mewujudkan kebijakan dalam penanggulangan terorisme di Indonesia. Dalam hal ini beberapa hal yang berkaitan terutama dengan hak asasi manusia (HAM).
Memang selama ini yang terhujam dalam benak banyak kalangan, kebijakan kontra-terorisme yang mengacu pada strategi ofensif dan penggunaan kekuatan militer untuk memberantas terorisme yang dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan negara dan mengedepankan hard power menyisakan beberapa masalah seputar HAM, khususnya dinegara dengan sistem demokrasi seperti Indonesia. Penggunaan strategi kontra-terorisme untuk menangani kasus terorisme oleh banyak kalangan dipandang rawan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia karena strategi ini kerap tidak mengindahkan asas proporsionalitas dan kerap berlebihan. Terorisme dan respons terhadapnya dengan menggunakan kontra-teror menimbulkan dilema keseimbangan antara security dan liberty, terlebih di negara demokrasi seperti di Indonesia. Dengan kata lain, terjadi pertentangan antara keamanan nasional versus demokrasi. Negara demokrasi lebih rentan mengalami dilema dalam pengelolaan keamanan nasionalnya termasuk dalam penanganan dari ancaman terorisme dan hal tersebut terjadi di Indonesia.
Para pegiat HAM misalnya mengingatkan bahwa bila terorisme dan intoleransi dilawan dengan cara yang mendelegitimasi HAM serta menafikan perbedaan dan keragaman, dikhawatirkan justru akan semakin mereproduksi rantai kekerasan, melemahkan langkah-langkah kontra radikalisasi dan upaya-upaya deradikalisasi terhadap benih ekstremisme lainnya, serta semakin memperbesar polarisasi ditengah masyarakat. Memang sangat disadari terdapatnya dilema dan tantangan yang dihadapi penegak hukum dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam memerangi terorisme, sehingga dinilai tetaplah penting untuk memastikan langkah-langkah yang menyeluruh dan bermartabat dalam menyikapi masalah ini, serta jangan mencari jawaban dan solusi reaktif yang mendelegitimasi HAM.
Dalam konteks inilah, maka parameter HAM akan menguji apakah kita mampu memerangi terorisme dengan cara yang bermartabat dan akuntabel, atau ‘berlebihan’ sehingga mengabaikan standar hukum dan HAM?. Karenanya, tampaknya penting untuk merumuskan yang lebih komprehensif dalam strategi dan pendekatan yang lebih preventif dan mitigatif dalam memerangi terorisme
Sebenarnya sudah diakui oleh aktor negara sendiri seperti kepolisian dan BNPT bahwa pendekatan represif tidak selamanya efektif dan bahkan bisa menumbuhkan kekerasan berlanjut. Karenanya, sejauh ini sudah dilakukan prioritas pada pendekatan soft power seperti dalam program deradikalisasi terhadap napiter maupun eks napiter secara gencar dan bahkan menjadi core business.
Amanah
Maraknya aksi teror yang terjadi dengan jatuhnya banyak korban telah mengidentifikasikan bahwa terorisme adalah sebuah kejahatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Teror telah menunjukkan gerakan nyata sebagai tragedi atas hak asasi manusia. Pada dasarnya, tindak pidana terorisme adalah kejahatan yang tergolong luar biasa (extraordinary crime).
Selama ini yang telah diakui sebagai extraordinary crime adalah pelanggaran Hak Asasi Manusia berat yang meliputi crime against humanity yaitu tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang mengakibatkan individu, golongan danmasyarakat umum ada dalam suasana teror dan genocide, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama.
Tak pelak, terorisme merupakan kejahatan yang luar biasa (extraordinary), dikarenakan akibat yang ditimbulkan dari kejahatan tersebut berdampak sangat luar biasa dan mengancam keamanan serta perdamaian umat manusia (human security). Sehingga, diperlukan tindakan yang luar biasa untuk dapat mengungkap, mencegah, dan memberantas tindak pidana tersebut. Salah satu aspek penting yang berkaitan dengan tindak pidana terorisme adalah masalah Hak Asasi Manusia. Tindak pidana terorisme pada hakikatnya merupakan penghancuran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, martabat, dan norma-norma agama, yang dapat digolongkan kepada kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pemberantasan tindak pidana terorisme sebagai wujud perlindungan kepada warga negara merupakan amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Negara Indonesia adalah negara hukum, karena itu, Pemerintah Republik Indonesia memiliki tugas dan tanggungjawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai dan sejahtera serta ikut aktif memelihara perdamaian dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah wajib memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungitiap warga negaranya dari setiap ancaman atau tindakan destruktif, baik dari dalam maupun luar negeri.
Pemerintah Republik Indonesia dibebani oleh amanat sebagaimana dikemukakan dalam Pembukaan UUD 1945, yakni agar negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman kejahatan baik bersifat nasional, transnasional apalagi bersifat internasional. Negara juga berkewajiban untuk mempertahankan kedaulatan dirinya serta memelihara keutuhan dan integritas nasional dari setiap bentuk ancaman, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Untuk itu, diperlukan suatu kebijakan yang bersandar kepada ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945 yang dirumuskan ke dalam bentuk norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk undang-undang yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam mengantisipasi dan menanggulangi setiap ancaman terhadap keselamatan jiwa warga negara Republik Indonesia serta memelihara keutuhan dan integritas bangsa dan negara kita.
Keamanan Nasional dan Demokrasi
Keamanan nasional dan demokrasi tidak saling menegasikan satu sama lain dan tidak berada dalam zero-sum game. Keamanan nasional adalah sesuatu yang harus ada dalam negara demokrasi dan negara demokrasi sejati telah dilengkapi dengan kemampuan untuk menghadapi ancaman keamanan nasional yang tujuan akhirnya adalah untuk mempertahankan demokrasi itu sendiri. Dengan demikian, yang harus dicari bukanlah mana yang harus dimenangkan dan dikalahkan,tapi, bagaimana mencari keseimbangan di antara keduanya di situasi darurat (Makmur Keliat; 2011).
Negara demokrasi sendiri telah memiliki mekanisme untuk menghadapi situasi-situasi exigencies atau darurat, salah satunya adalah serangan terorisme. Dari segi hukum, misalnya, ada yang bernama UU Keadaan Darurat, UU Perang, dan sebagainya. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut memberi kewenangan yang lebih besar pada aktor-aktor keamanan dan melegalkan pembatasan hak-hak sipil warga negara hingga derajat tertentu, misalnya hak atas privasi atau normal procedure dalam proses hukum (Makmur Keliat; 2011)
Negara memang sudah seharusnya selalu bertindak dalam koridor hukum. Selajur itu pula, perlu adanya pembangunan dan pengembangan kerangka hukum yang memadai, mekanisme institusional, mekanisme demokratis, dan peningkatan kapasitas aktor-aktor keamanan untuk untuk menyediakan legitimasi bagi para penindak teroris. Dengan begitu, keamanan nasional dan demokrasi tidak lagi dipandang sebagai dua tujuan atau nilai yang berkonflik atau saling menegasikan, melainkan dua pilar yang saling mendukung satu sama lain, yang tujuanya sama-sama untuk melindungi rakyat.
Deradikalisasi Berbasis HAM
Prinsip pelaksanaan kebijakan terorisme di Indonesia sesungguhnya sudah diatur dan ditetapkan dengan mendasarkan pada menjunjung tinggi Prinsip Supremasi Hukum, Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), Prinsip Kesetaraan dan Prinsip Pembinaan dan Pemberdayaan.
Sebenarnya di negara demokrasi sendiri -mencuplik Walter Benyamin (2014)–telah memiliki mekanisme untuk menghadapi situasi-situasi exigencies atau darurat, salah satunya adalah serangan terorisme. Dari segi hukum, misalnya, ada yang bernama UU Keadaan Darurat, UU Perang, dan sebagainya. Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut memberi kewenangan yang lebih besar pada aktor-aktor keamanan dan melegalkan pembatasan hak-hak sipil warga negara hingga derajat tertentu, misalnya hak atas privasi atau normal procedure dalam proses hukum.
Di Indonesia sendiri berkembang wacana perlunya UU Darurat misalnya dalam bentuk Undang-Undang Keamanan Nasional atau Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri. Pemberlakuan UU tersebut memang belum waktunya untuk dilakukan secara permanen. Artinya, sifatnya ínsidental’ atau bersifat sementara.
Indonesia memerlukan UU Keamanan Dalam Negeri ini, hanya pada saat insiden teroris tereskalasi dalam skala nasional. Indonesia tidak perlu mencontoh Singapura dan Malaysia yang memiliki Internal Security Act yang berlaku sepanjang masa. Barangkali Indonesia dapat menyusun “UU Darurat Teroris” yang dapat diberlakukan pada situasi-situasi tertentu. Terorisme jelas-jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang harus dihukum seberat-beratnya melalui mekanisme hukum. Sejauh ini, rasanya terorisme tidak perlu secara tergesa-gesa dikonsepsikan sebagai “perang”. Sebab, bilamana dikonsepsikan demikian, maka yang justru berpotensi meningkatkan status kelompok teror itu sendiri menjadi kelompok insurgent dan dampaknya bisa berkelanjutan.
Indonesia berbeda misalnya dengan kebijakan Amerika dalam menanggulangi terorisme. Kontraterorisme di Indonesia tidak bersifat militeristik. Sementara penerapan hukum militer model Amerika dengan pengadilan-pengadilan militer dan penjara khususnya yang justru akan mencederai legitimasi penegak hukum dan pemerintah yang demokratis itu sendiri.
Memang pendekatan hukum saja tidak akan cukup untuk menanggulangi bahaya terorisme. Hal ini lantaran terdapat permasalahan-permasalahan yang bersifat inheren dalam sistem hukum itu sendiri, di antaranya keterbatasan pembuktian pengadilan, pembinaan napi teroris dan pengawasan setelah napi teroris itu mengakhiri masa penahanannya. Pembinaan napiter dan pengawasan eks napiter selama ini tampaknya merupakan titik lemah penanggulangan terorisme melalui jalur hukum di Indonesia. Karena itu, justru dua masalah itulah yang harus diperkuat.
Dalam kacamata hukum, perhatian harus diberikan pada penempatan terdakwa terorisme. Akan tetapi, hal ini menimbulkan dilema. Di satu sisi, terdakwa teroris harus dipenuhi hak-hak asasinya, termasuk hak untuk bergaul dengan napi lainnya. Di sisi lain, napi teroris seringkali seperti “magnet” yang dapat mengajak atau menginspirasi napi lain untuk melakukan tindak terorisme. Solusi yang kompromistis mungkin tetap membiarkan napi teroris demi mengaktualkan dirinya di penjara, tetapi diawasi secara ketat dan dijauhkan dari kesempatan untuk menginspirasi tindak terorisme
Terorisme di Indonesia sifatnya idiologis dan lebih pada idiologi berbasis keagamaan. Oleh karena ideologi dipandang sebagai faktor penyebab utama terorisme di Indonesia, maka kontraideologi adalah hal yang mau tidak mau harus dijalankan sebagai strategi antiterorisme jangka panjang. Kontraideologi atau deideologi merupakan elemen strategi penanggulangan terorisme di Indonesia saat ini. Kontraideologi membutuhkan ideologi baru yang dapat digunakan untuk menggantikan ideologi lama, yaitu ideologi teroris yang berlandaskan pemikiran keagamaan radikal.
Saat ini justru yang digencarkan adalah program deradikalisasi. Penindakan hanya dilakukan pada saat terjadi teror dan juga ‘membersihkan’ jaringan teror yang masih bercokol. Deradikalisasi sebagai elemen kebijakan konstruktivis karena deradikalisasi berkenaan dengan “pembongkaran” ide-ide, gagasan-gagasan, dan elemen-elemen normatif-ideasional tertentu dari kepala seorang teroris untuk membuatnya tidak lagi terlibat dalam aksi terorisme. Deradikalisasi adalah elemen integral dalam penanggulangan terorisme melalui mekanisme hukum karena salah satu “ekses” dari mekanisme ini adalah membludaknya napi teroris yang pada suatu titik harus kembali ke masyarakat. Program deradikalisasi merupakan konsekuensi logis dari mekanisme hukum pidana dalam penanggulangan teror. Hal yang mungkin dapat ditambahkan untuk memperkuat program deradikalisasi di Indonesia adalah pelibatan lebih banyak lagi elemen masyarakat sipil, terutama para pemimpin agama sampai ke pelosok-pelosok desa, lembaga-lembaga keagamaan di kampus-kampus, LSM dan pengadaan program konseling keluarga serta pemberian pendampingan kepada eksnapi teroris yang telah bebas.
Kebijakan penanggulangan terorisme di Indonesia menunjukkan hal yang positif. Indonesia dipandang berhasil dan menekankan pendekatan yang lunak. Sehingga banyak negara yang justru belajar dari kebijakan penanggulangan terorisme dengan Indonesia. Persoalan HAM yang seringkali diributkan, pada satu sisi Indonesia sudah menerapkan kebijakan berbasis HAM seperti lebih menekankan pada pendekatan lunak. Melalui program deradikalisasi membuktikan bahwa kebijakan penanggulangan terorisme di Indonesia lebih fokus pada ‘merangkul’ dan membina terhadap para napiter dan eksnapiter. Disisi lain, memang masih membutuhkan waktu untuk penyempurnaan dan implementasi kebijakan yang sudah ditetapkan. Dan ini tantangan yang selalu muncul dalam merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan penanggulangan terorisme di Indonesia.
Penulis adalah Peneliti dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)