Oleh : Lukis Alam
Channel9.id – Jakarta. Pendidikan kita saat ini dihadapkan pada keberlangsungan untuk tetap mengadakan kegiatan belajar mengajar di tengah pandemi yang diselenggarakan dari rumah. Hal tersebut merupakan konsekwensi dari tingginya penyebaran virus corona di Indonesia.
Sebenarnya tidak hanya sektor pendidikan yang terkena imbasnya, sektor-sektor lain juga merasakan hal sama. Segala macam aktivitas masyarakat untuk sementara waktu telah ‘tiarap’ akibat pandemi ini. Terlebih lagi kalangan masyarakat menengah ke bawah yang merasakan dampaknya, mereka sama sekali tidak punya pemasukan, bahkan banyak di antara mereka terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal ini merupakan ironi sosial, di mana keberlangsungan hidup tidak bisa dipertahankan lagi di satu sisi, namun di sisi lain, mereka juga harus ‘mengenyangkan perut’ dari himpitan kesulitan hidup.
Pendidikan nasional, baik dari sekolah dasar hingga universitas di tengah pandemi ini untuk mengubah rutinitas keseharian yang awalnya offline menjadi online. Barangkali bagi sebagian kalangan, rutinitas semacam itu harus dipersiapkan dengan cukup matang ‘perbekalan’ semisal, paket internet, aplikasi video online, dan materi-materi pembelajaran. Terlebih bagi para Guru dan Dosen yang saat ini aktivitas mengajarnya harus berpindah haluan, dari-di dalam kelas-ke kelas virtual.
Selain Guru dan Dosen, kalangan yang direpotkan di tengah pandemi sekarang adalah para orangtua murid yang harus menjadi ‘Guru’ penuh waktu untuk mengajar anak-anak mereka sendiri di rumah. Oleh karena itu, para orangtua diharapkan bisa beradaptasi dan bertransformasi dengan keadaan demikian, agar kegiatan pembelajaran tetap berlangsung.
Pembacaan saya terhadap Surat Edaran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 36962/MPK.A/HK/2020 merupakan bentuk sikap antisipatif pemerintah akan efek corona terhadap pendidikan nasional kita. Di sisi ini, Pemerintah berupaya untuk meminimalisir dampak penyebaran corona lebih jauh lagi, tetapi di sisi berbeda, ada semacam ‘kekagetan’ masyarakat kita menyikapi kebijakan ini. Reaksi ini muncul cukup wajar, karena sebagian masyarakat kita tidak ‘cukup melek’ dengan kehadiran teknologi internet, belum lagi tersedianya jaringan internet yang stabil untuk menunjang kegiatan pembelajaran tersebut serta ketersediaan biaya, mungkin bagi orangtua yang tidak mampu terasa sulit menghadirkan pembelajaran model tersebut.
Barangkali instruksi Mendikbud Nadiem Makarim di atas mudah direalisasikan di Perkotaan, tetapi sebaliknya, bagaimana penyelenggaraannya di daerah-daerah 3 T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). Di masa pandemi sekarang, corak pendidikan ekslusif di daerah-daerah tersebut juga harus menjadi perhatian banyak pihak. Eksklusivitas di sini adalah kurangnya aksesbilitas internet yang digunakan untuk aktivitas pembelajaran di sana. Di saat yang sama, era pandemi sekarang perlunya ‘mengecek ulang’ kesiapan Pemerintah dalam menghadapi revolusi industri 4.0. Konon, slogan itu juga yang menjadi senjata ampuh dalam menghadapi persaingan global.
Setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan akses pendidikan sebagaimana dituangkan dalam Sisdiknas (Sistem Pendidikan Nasional) yang secara implisit tercantum dalam batang tubuh UUD 1945 yaitu Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) yang menyatakan bahwa Negara menjamin ketersediaan pendidikan jarak jauh. Dalam situasi demikian, negara harus sepenuhnya memfasilitasi apa yang menjadi hak setiap warga negara dalam soal pendidikan, terutama penyediaan pembelajaran di mana para peserta didik tidak bisa hadir di sekolah dan universitas, sehingga model kelas online menjadi pilihan terbaik di saat pandemi sekarang.
Ketimpangan digital menjadi masalah klasik dalam dunia pendidikan di Indonesia manakala ketersediaan infrastruktur teknologi internet yang masih minim dan ketidakmampuan guru dalam menguasai teknologi pembelajaran. Masalah lain juga timbul di saat orangtua murid menemani anak-anak mereka belajar di rumah. Sekolah memberikan tugas terlalu banyak, sehingga beban pembelajaran dirasa terlalu berat dan pada akhirnya orangtua ikut merasa stres.
Lalu sebenarnya, bila dilihat secara umum berapa data mahasiswa dan murid kita yang saat ini ‘terpaksa’ menikmati pembelajaran virtual ? Saya belum menemukan data akurat mengenai hal tersebut, tetapi bila merujuk data yang berseliweran di internet didapati sekitar lebih dari 9 juta mahasiswa dan 50 juta murid sekolah dasar dan menengah beralih pada pembelajaran daring. Mungkin saja jumlah tersebut bisa bertambah mengingat semakin banyak kampus dan sekolah menyelenggarakan pembelajaran di rumah.
Beberapa bulan ke depan, masihkah sistem pendidikan kita akan bertahan bila corona masih seperti ini? tentunya hal itu tidak bisa dijawab sekarang. Paling tidak, perlu adanya sikap-sikap kolaboratif di antara Guru, Dosen dengan murid dan mahasiswanya dalam mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan dan komprehensif. Tidak serta merta dengan kehadiran internet, bisa merepresentasikan pembelajaran yang berkualitas dan inovatif.
Kondisi tersebut tidak akan tercapai bilamana kesadaran kolektif di antara Guru, Dosen dengan murid dan mahasiswa masih bersifat parsial, yang masih mengganggap pembelajaran di tengah pandemi hanya sebatas ‘menggugurkan kewajiban’ harian. Lebih jauh lagi, barangkali ini bisa menjadi kritikan, seyogyanya situasi pembelajaran yang saat ini sedang berlangsung di tengah pandemi perlunya dibangun konektivitas suasana yang dapat menumbuhkan sikap solidaritas sosial, peduli, dan empati guna memahami setiap kejadian yang melintasi bangsa Indonesia seperti kejadian pandemi saat ini.
Oleh karena itu, kita kembalikan lagi esensi pendidikan yang memulai memudar untuk diletakkan pada porosnya menjadikan manusia lebih bermartabat.
Penulis: Dosen Institut Teknologi Nasional Yogyakarta