Channel9.id – Denpasar. Pulau Serangan yang terletak di sebelah tenggara Bali ini merupakan proyek reklamasi pertama di Pulau Dewata. Reklamasi Pulau Serangan itu mulai dikerjakan tahun 1990-an.
Berdasarkan beberapa informasi yang dihimpun, Pulau Serangan yang merupakan daratan terpisah dari Pulau Bali mulai terjadi proses perubahan karena adanya pembebasan lahan perkebunan. Ada selat kecil yang membelah Pulau Serangan dengan Kota Denpasar.
Selain menjadi tempat wisata, di Pulau ini juga ada beberapa pura yang menjadi tempat ibadah. Salah satunya adalah Pura Sakenan. Seiring berjalannya waktu, pada 1995, perusahaan besar mulai masuk, PT Bali Turtle Island Development, yang membangun proyek besar di Pulau Serangan.
Mereka melakukan reklamasi secara besar-besaran, Pulau Serangan yang tadinya selus sekitar 112 hektar berkembang menjadi kurang lebih 500 hektar.
Reklamasi menyebabkan krisis perubahan untuk Pulau Serangan, baik dari sisi manusianya maupun lingkungannya karena banyak terumbu karang dan tanaman bakau yang terkena imbasnya. Para nelayan kesulitan mencari ikan karena terumbu karang di laut sudah rusak.
Apa yang menimpa terumbu karang yang kini sudah disulap menjadi reklamasi Pulau Serangan, tak menutup kemungkinan juga akan terjadi pada terumbu karang dan berbagai spesies laut yang menguntungkan bagi nelayan di Tanjung Benoa, Denpasar Selatan, Bali.
Dari hasil penelitian dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dipublikasikan di Jurnal Internasional Regional Studies in Marine Science (2018). Disampaikan bahwa sirkulasi arus di Teluk Benoa pada tahun 1995 sebelum reklamasi, lalu tahun 2016 setelah reklamasi, kecepatan arus Teluk mengalami pelambatan sekitar empat persen.
Pelambatan arus ini diduga akibat perubahan lahan di sekitar kawasan, terutama dari dampak reklamasi Pulau Serangan dan pembangunan jalan tol yang membelah Teluk Benoa. Pelambatan arus akan memicu terjadinya sedimentasi dan pendangkalan.
Ketua Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional Satu Napas Tanjung Benoa, Abdul Latif mengungkapkan cerita masa lalunya ketika reklamasi Pulau Serangan mulai dikerjakan.
Pria yang sudah menjadi seorang nelayan selama 40 tahun itu mengungkapkan kesedihannya saat melihat sumber pencahariannya sehari-hari dihancurkan oleh reklamasi.
“Saya sendiri sebenarnya sudah trauma, sudah punya pengalaman, sudah 40 tahun saya jadi nelayan, tau saya peristiwa pengerukan Pulau Serangan. Tidak ada komplain dari siapa-siapa. Kita cuma bisa nangis aja. Rumah ikan diuruk. Seluas itu (Pulau Serangan) kan rumah ikan, rumput laut sampai ke timur,” ungkap Abdul di Kampung Bugis, Tanjung Benoa, Bali.
Saat itu, kata Abdul, ia hanya bisa menangisi hancurnya laut yang sudah menjadi tempatnya mengadu nasib selama puluhan tahun itu. Ia tak tahu harus protes ke siapa.
“Mau teriak kemana kita dulu? Bener-bener saya nangis, kan sering saya masuk ke sana dulu, menyelamnya,” ungkapnya.
Reklamasi Pulau Serangan itu menyisakan tangis bagi para nelayan-nelayan tradisional sekitar, nelayan kecil, nelayan penyelam, dan pencari ikan ketika air surut. Abdul mengatakan, salah satu mata pencaharian nelayan yang hilang hingga kini yaitu kerang batu-batu.
“Batu-batu yang sekarang banyak orang jual ini yang palsu, karena itu sudah dikeruk, sudah jarang didapat, yang aslinya sudah sulit didapat. Maksudnya yang agak ke darat, yang di bakau dia. Karena sudah ada reklamasi langka nyarinya, jadi mahal. Dulu yang aslinya itu yang di pasir itu, rumput laut. Rasanya memang enak itu, manis dia. Habis, susah nyarinya,” ungkap Abdul.
Melihat kondisi sekarang, ketika reklamasi saat ini dilakukan di Pelabuhan Benoa, Abdul merasa reklamasi Pulau Serangan harusnya menjadi contoh agar kejadian serupa tidak terjadi kembali.
“Sekarang mau kejadian lagi kan, kita jaga-jaga,” tuturnya. Namun lagi-lagi nelayan hanya menjadi korban, mereka kesulitan untuk mencari ikan, karena air keruh.
Lurah Serangan, I Wayan Karma masih ingat bagaimana dulu ia di datangi pihak pengembang di Pulau Serangan yang mengelola Kura-Kura Bali. “Kami di datangi hampir tiap hari, bahkan malam-malam dirayu-rayu agar memberikan ijin,”jelasnya. Ia hanya bisa menyampaikan tergantung bagaimana masyarakat, kalau masyarakat setuju, maka pihaknya akan memberikan ijin.
Akhirnya terjadilah kesepakatan dengan pihak pengembang, dan setelah berjalan. Ternyata ada beberapa kesepakatan tidak berjalan dengan baik. Warga kesulitan mendapatkan akses jalan untuk pergi ke pantai, mencari nafkah, budidaya rumput laut. Karena akses terbatas, mereka tidak leluasa lagi. “Padahal dulu kesepakatannya tidak begitu,”ujarnya.
Selain itu juga agar harapan warga untuk bisa bekerja di lokasi wisata kura-kura Bali juga belum sepenuhnya terlaksana. Ada beberapa orang yang bekerja namun hanya menjadi satpam saja. “Di serangan ini kan banyak juga tenaga yang memiliki kompetensi, harapannya mereka bisa terserap di sana,”pungkasnya.