Mengenal Fenomena FOMO dan Dampak Nyatanya
Lifestyle & Sport

Mengenal Fenomena FOMO dan Dampak Nyatanya

Channel9.id – Jakarta. Fear of Missing Out atau yang lebih dikenal sebagai FOMO terkesan sepele namun berpotensi pada masalah kesehatan mental serius. Media sosial salah satu pemantik utamanya.

Baru-baru ini, Meta merilis Threads sebagai media sosial terbarunya. Perusahaan milik Mark Zuckerberg ini secara terbuka menyatakan bahwa aplikasi mereka bertujuan untuk mengubur Twitter.

Rilisnya sosial media baru ini membuat banyak kalangan berbondong-bondong untuk mencobanya. Selain karena penasaran ada beberapa orang yang dapat merasakan stress nyata karena tidak ikut atau terlibat dalam hal “baru” ini. Sensasi tersebut dikenal sebagai Fear of Missing Out (FOMO).

Elizabeth Scott, pakar kesehatan mental, menuliskan bahwa FOMO sering kali diperparah dengan akses ke media sosial. Dilansir dari Verywellmind, FOMO sendiri adalah persepsi seseorang bahwa orang sekelilingnya memiliki kehidupan lebih menyenangkan atau lebih seru. Tentu saja media sosial dapat memperburuk hal tersebut.

Scott menyatakan bahwa fenomena ini terjadi saat seseorang mempertanyakan normalitas kehidupannya setelah melihat kehidupan orang lain. Sedangkan media sosial, sebagai tempat publikasi diri, memungkinkan update harian yang dikemas ciamik. Sehingga konsep normalitas diri itu menjadi ambigu.

Istilah ini sendiri sebenarnya sudah lama eksis. Pada penelitian oleh Dr. Dan Herman, ia pertama kali menelurkan istilah FOMO dalam konteks strategi pemasaran. Sedangkan dalam era media sosial seperti saat ini, istilah ini sudah banyak mendapatkan perhatian dalam berbagai riset.

Salah satunya riset oleh Ursula Oberst pada 2016, menyebutkan bahwa terdapat perbedaan gejala FOMO bagi pengguna perempuan dan laki-laki. Pengguna perempuan lebih mudah depresi dalam penggunaan media sosial, sedangkan pengguna laki-laki cenderung mudah mengalami masalah kecemasan.

Baca juga: Pengguna Twitter Mulai Migrasi ke Media Sosial Lain

Penelitian serupa dilakukan oleh Claire A Wolneiwicz dan rekan pada 2017 yang berfokus pada penggunaan ponsel pintar dan gejala FOMO. Akses yang didapat dari media sosial menyebabkan berbagai faktor pendorong kecemasan atau depresi. Terutama kalangan muda yang mendapat akses seringkali dapat merasakan FOMO yang intens jika membandingkan diri dengan orang disekeliling.

Scott menyebutkan digital detox sebagai salah satu sarana penganggulangan FOMO. Beruntungnya fitur pembatasna pengguna sudah secara internal ada di berbagai aplikasi media sosial. Instagram memiliki fitur ini yang mengingatkan pengguna jika sudah mencapai batas waktu tertentu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  71  =  77