Channel9.id – Jakarta. Anthrax menjadi perhatian masyarakat setelah tiga orang meninggal dunia selepas mengkonsumsi daging sapi mati di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Korban ditemukan positif spora anthrax setelah jalani uji lab. Keadaan ini mendorong para peneliti untuk memberikan perhatian serius kepada masyarakat dalam rangka pencegahan penyakit yang berpotensi kematian ini.
Indro Cahyono, pakar Virologi, menjelaskan bahwa Gunungkidul adalah salah daerah wilayah endemic wabah anthrax, sehingga sudah ada mekanisme penanganan dari otoritas setempat.
“Pada April 2023, dinas setempat sudah temukan enam kambing dan enam sapi terkena anthrax yang kemudian mati satu per satu,” ucapnya.
Namun, pada 22 Mei, salah satu satu sapi itu disembelih dan dibagikan ke 85 orang. Menurut Cahyono, disinilah mulai terjadinya gejala anthrax.
Cahyono mempresentasikan analisis ilmiah kronologi kasus anthrax yang berujung jatuhnya korban jiwa, seorang warga lansia berusia 73 tahun. Menurut Cahyono, warga tersebut tidak mendapatkan penanganan medis selama 10 hari dan berakhir meninggal dunia pada 4 Juni 2023. Menurut pakar virus ini, hal ini seharusnya jadi pelajaran bersama.
Untuk mencapai hal tersebut seluruh pihak harus mengetahui cara penanganan hewan ternak yang terindikasi mengidap bakteri ini. Terkait ini, Cahyono menjelaskan pengalamannya menangani anthrax.
“Di burung unta, saya buka pembuluh darah dan ketauan kalo ini anthrax, maka saya langsung buat lubang dengan kapur dan dibakar selama satu jam,” ucapnya.
Cahyono jabarkan tujuh langkah menghancurkan spora Anthrax yang dimulai dengan penggalian lubang dan pelapisan dasar lubang dengan kapur gamping. Selanjutnya hewan mati dimasukan ke lubang tersebut dan lakukan pembakaran dengan bensin. Setelah satu jam, bangkai disiram dengan dengan hydrogen peroksida (H202) 5%. Setelah itu lapisan atas lubang dengan kapur gamping dan tutup lubang tersebut. Setelah itu, secara rutin harus dilakukan penyemportan dengan sodium hipoklorit 2% pagi dan sore selama sepekan kedepan.
Sedangkan untuk Cahyono yang melakukan Nekropsi terhadap mayat, ia menceritakan bahwa dirinya harus mandi dengan Sodium Hipoklorit setelahnya dan meminum antibiotik untuk semua orang terkait. Menurutnya, berbagai zat kimiawi penanganan yang disebutkan sebelumnya semua dapat dibeli dengan harga terjangkau.
Selain penanganan bangkai hewan, penanganan terhadap manusia juga harus dilaksanakan. Cahyono menjelaskan bahwa Anthrax sendiri dibagi jadi tiga kategori: tipe pernafasan, tipe kulit, dan tipe pencernaan.
Untuk kasus Anthrax kulit tidak terlalu sulit ditangani karena potensi kematian yang kecil dan tidak menyebar di tubuh walaupun akan cukup menderita bagi korbannya. Cahyono menyebut pengobatannya cukup menggunakan salap Oxytetracylin dan minum antibiotic Ciprofloxacin atau doxyciclin.
Sedangkan Anthrax pencernaan justru yang lebih sulit penanganannnya. Diawali dengan konsumsi daging yang terkontaminasi spora Anthrax.
“Dalam proses peralihan dari Spora, bakteri ini mengeluarkan racun yang merusak sel sehingga menyebabkan sakit,” ucapnya.
Namun sebagai racun, zat tersebut dapat dinetralisi dengan konsumsi karbon aktif dan keju Gouda (keju tua) yang mengandung bakteri Lactococcus Lactus. “ Hal ini menyebabkan terciptanya nisin yang merupakan lactobiotic alami yang mencegah germinasi spora antracis,” pungkasnya.