Opini

Meninjau Ulang Esensi Kampus Merdeka di Tengah Wabah Corona

Oleh: Dr. Ali Muhtarom

Channel9.id – Jakarta. Salah satu gebrakan yang digulirkan oleh Mendikbud Nadiem Makarim adalah munculnya istilah merdeka belajar, yang mana kemudian menjadi kebijakan pemerintah melalui Permendikbud menjadi kampus merdeka. Munculnya kampus merdeka oleh pemerintah telah dituangkan secara berturut-turut melalui Permendikbud nomor 3, 4, 5, 6, dan nomor 7 tahun 2020. Secara umum aturan tersebut menjadi pijakan Mendikbud sebagai payung hukum kampus merdeka, di mana orientasi kebijakannya mengarah pada standar nasional pendidikan tinggi, perubahan perguruan tinggi negeri menjadi perguruan tinggi berbadan hukum, penerimaan mahasiswa baru bagi program pascasarjana dan PTN, dan pendirian/ perubahan PTN serta pendirian/pencabutan izin perguruan tinggi swasta.

Akan tetapi, kampus merdeka sebagaimana yang telah ditetapkan dalam lima payung kebijakan tersebut menurut saya belum mengarah pada substansi dari pemaknaan kampus merdeka. Permendikbud tersebut menurut saya masih perlu dirumuskan kembali untuk menemukan hakikat dari kampus merdeka yang menjadi bagian penting dari esensi merdeka belajar, apalagi Permendikbud tersebut dikhawatirkan justeru akan menjadi instrumen dalam menciptakan ketidakadilan semisal perubahan PTN menjadi PT Berbadan Hukum.

Secara substansi, kemunculan kampus merdeka masih perlu ditinjau ulang, terutama dalam kondisi pandemi covid-19 yang saat ini masih melanda dunia, khususnya di Indonesia. Kehadiran kampus merdeka yang digagas oleh pemerintah memang memberikan sinyal positif bagi tumbuhnya kesadaran baru dalam proses pendidikan yang selama ini terkesan formalistik dan birokratif. Namun sekali lagi, kampus merdeka bukan semata-mata didasarkan pada teknis kebijakan sebagaimana disinggung di atas. Kemerdekaan di sini lebih mengarah pada substansi dalam pembelajaran yang komprehensif.

Secara teoretis keberhasilan pendidikan, selain ketercapaiannya pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagaimana masyhur dirujuk dari Benjamin S. Bloom, bisa dilihat dari tingkat kepatuhan peserta didik yang terpatri dalam kesadaran intrinsik, bukan pada kesadaran ekstrinsiknya. Kesadaran intrinsik adalah bagaimana pendidikan berhasil menciptakan peserta didik memiliki sikap kritis yang dilandasi oleh kesadaran diri tanpa adanya pemaksaan atau motif lain dari luar kesadaran diri.

Kesadaran baru dalam proses pendidikan yang saya maksud di sini adalah bagaiman pola komunikasi dan interaksi proses pembelajaran yang berlangsung di dalam institusi pendidikan baik dari unsur kampus, dosen, dan mahasiswa berjalan dengan baik atas dasar saling memahami. Pada saat yang sama, iklim pendidikan berjalan kondusif, institusi pendidikan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada pihak-pihak yang terlibat di dalam proses pembelajaran, terutama kepada mahasiswa, di mana dalam konteks wabah pandemi Covid-19 ini dampak kemerdekaan belajar menjadi masalah tersendiri bagi mahasiswa.

Di sisi lain, kampus, sebagai lembaga pendidikan yang diatur dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional merupakan jalur pendidikan formal. Dalam ketentuannya, pendidikan formal berbeda dengan jalur pendidikan non formal maupun dengan jalur informal. Dalam konteks ini perlu dipahami juga bahwa kampus sebagai institusi formal tetap memiliki aturan-aturan yang mengikat bagi segenap civitas akademika. Sekencang apapun gema kampus merdeka, saya meyakini tidak bisa terlepas dari ikatan keformalannya, di mana di dalam lembaga pendidikan kampus tersebut pasti mengandung aturan-aturan formal dalam penyelenggaraan akademiknya.

Keberadaan lembaga pendidikan seperti kampus juga tidak bisa dipisahkan dari berbagai komponen vital, terutama dari unsur tenaga pendidik atau dosen, unsur mahasiswa, dan kebijakan kampus. Tenaga pendidik atau dosen memiliki paran penting di dalam proses pembelajaran di kampus. Seorang dosen memililki tanggung jawab tinggi dalam bidang akademik. Dalam undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen dijelaskan bahwa pendidik dan dosen harus memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Kompetensi pedagogik berkaitan dengan kecakapan penguasaan metodologi pengajaran, profesional berhubungan dengan kecakapan dalam penguasaan materi secara luas dan mendalam mengenai bidang studi yang diampu seorang pendidik atau dosen. Sedangkan kompetensi sosial dan kepribadian mengarah pada kecakapan yang berhubungan dengan sosio-psikologis, di mana kompetensi sosiologis berkaitan dengan kecakapan seorang pendidik atau dosen dalam berkomunikasi dan berinteraksi kepada seluruh civitas di lingkungan kampus, sedangkan kompetensi kepribadian berhubungan dengan perilaku dosen, baik secara penampilan (showing performance) maupun kepribadian sebagai individu yang mampu memberikan tauladan hasanah bagi lingkungannya, terutama bagi peserta didik atau mahasiswanya.

Kembali kepada esensi kampus merdeka ketika dikaitkan dengan situasi pandemi covid-19 yang hingga saat ini masih berlalu, pemerintah atau institusi kampus belum mampu menemukan solusi kongkrit yang memenuhi rasa kenyamanan belajar, terutama bagi mahasiswa. Pemberlakuan kebijakan untuk melaksanakan perkuliahan dengan sistem dalam jaringan (daring) yang diinstruksikan oleh pemerintah pusat belum menyentuh pada aspek kemerdekaan bagi mahasiswa. Pembelajaran dengan menggunakan sistem online tersebut justeru menjauh dari esensi kemerdekaan bagi mahasiswa. Kondisi ini bisa dipahami karena banyak dari mahasiswa yang mengeluh harus membeli paket data dalam setiap perkuliahan daring yang diikutinya. Bagaimana bisa dibilang merdeka ketika dalam proses belajar, mahasiswa terbebani pikirannya dengan paket data.

Memang ada kebijakan dari pemerintah untuk membebaskan paket data kepada mahasiswa di situasi wabah pandemi covid-19 ini. Dalam konteks PTKIN, kebijakan yang diinstruksikan oleh pemerintah pusat adalah terbitnya surat edaran Dijen Pendidikan Islam nomor 697/03/2020, terutama dalam poin 1c, di mana pimpinan PTKIN diminta untuk melakukan kebijakan strategis, terutama penanganan paket kuota/akses bebs (free access) bagi mahasiswa dan civitas akademika. Namun, kebijakan tersebut belum mampu dilaksanakan oleh sebagian besar kampus di beberapa daerah karena alasan tertentu. Bisa saja kebijakan dari pemerintah pusat yang belum dilaksanakan tersebut karena keterbatasan anggaran yang dimiliki kampus, belum adanya alokasi anggaran, atau memiliki anggaran, tapi masih kebingungan untuk mengeluarkannya.

Melihat berbagai hal tersebut, terutama kebijakan pemerintah untuk menangani pendidikan di tengah wabah pandemi covid-19 yang terlihat begitu rumit menunjukkan bahwa keberadaan kampus merdeka secara substansi perlu ditinjau ulang, terutama dalam memenuhi rasa nyaman belajar bagi mahasiswa untuk terwujudnya hakikat merdeka belajar.

Penulis: Direktur Eksekutif Gerak Literasi Indonesia dan Dosen UIN SMH Banten

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  35  =  36