Oleh: Faishal Rahman*
Channel9.id-Jakarta. Pandemi COVID-19 telah menimbulkan guncangan dan tekanan yang luas serta cukup merata di setiap sektor ekonomi. Pemerintah dituntut untuk bergerak cepat dan tepat agar pandemi ini tidak semakin berdampak buruk pada perekonomian.
Pembatasan mobilitas manusia sebagai upaya menghentikan penyebaran virus ternyata justru mengganggu aggregate demand dan aggregate supply secara bersamaan. Pembatasan mobilitas ini berdampak pada terhambatnya proses distribusi barang untuk kebutuhan produksi.
Akibatnya, penyesuaian biaya produksi harus dilakukan oleh pelaku usaha, baik dari aspek produksi ataupun tenaga kerja yang dibutuhkan. Dengan kata lain, pendapatan perusahaan maupun rumah tangga akan menurun.
Tidak hanya itu, pembatasan mobilitas juga mempengaruhi distribusi barang untuk kebutuhan konsumsi, misalnya hasil panen sayuran. Terganggunya distribusi ini menyebabkan hasil produksi tidak terserap dan secara bersamaan ada keterbatasan pasokan di pasar. Alhasil, timbulah gejolak harga kebutuhan pokok.
Dengan kondisi tersebut, guncangan demand dan supply ini akan mempengaruhi aspek pembiayaan setiap pelaku usaha. Mereka yang bergantung dengan pendapatan harian inilah yang akan sangat terganggu kondisi keuangannya.
UMKM merupakan kelompok usaha yang mendapatkan dampak terbesar dari kondisi pandemi ini, khususnya usaha mikro dan kecil. Ironinya, mereka mempunyai kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, baik dalam aspek penyerapan tenaga kerja maupun kontribusi terhadap PDB.
Indikator | Tahun 2018 | |||
Jumlah | Proporsi | |||
Unit Usaha | 64,199,606 | |||
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah | 64,194,057 | 99.99% | ||
Usaha Mikro | 63,350,222 | 98.68% | ||
Usaha Kecil | 783,132 | 1.22% | ||
Usaha Menengah | 60,702 | 0.09% | ||
Usaha Besar | 5,550 | 0.01% | ||
Tenaga Kerja | 120,598,138 | |||
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah | 116,978,631 | 97.00% | ||
Usaha Mikro | 107,376,540 | 89.04% | ||
Usaha Kecil | 5,831,256 | 4.84% | ||
Usaha Menengah | 3,770,835 | 3.13% | ||
Usaha Besar | 3,619,507 | 3.00% | ||
PDB Atas Harga Berlaku | 14,038,599 | |||
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah | 8,573,895 | 61.07% | ||
Usaha Mikro | 5,303,076 | 37.77% | ||
Usaha Kecil | 1,347,104 | 9.60% | ||
Usaha Menengah | 1,923,715 | 13.70% | ||
Usaha Besar | 5,464,703 | 38.93% |
Pada tahun 2018, UMKM kita mampu menyerap tenaga kerja sekitar 97%, atau setara dengan 116,98 juta orang. Dan mereka mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap PDB yaitu 61,07%. Keberpihakan kebijakan pemerintah dalam kondisi krisis seperti ini dibutuhkan agar pekerja dapat bekerja kembali dan memberikan kontribusinya kepada perekonomian nasional, karena perekonomian kita masih ditopang oleh konsumsi rumah tangga sekitar 58%.
Keberpihakan Membangkitkan UMKM
Keterpurukan ekonomi akibat krisis biasanya diikuti dengan adanya peningkatan angka kemiskinan dan kerawanan pangan sebagai akibat keterbatasan aktivitas ekonomi dan rendahnya investasi. Kebangkitan UMKM menjadi hal penting dalam proses pemulihan dari krisis ini. Sektor inilah yang sebenarnya mampu menyerap tenaga kerja kita yang mayoritas berpendidikan rendah, yaitu sekitar 56% berpendidikan SMP ke bawah.
Di sinilah pentingnya bagi UMKM untuk segera hadir kembali dan memegang peranan menggerakkan perekonomian nasional. Namun rencana kebangkitan UMKM ini harus diikuti keberpihakan pemerintah dalam menciptakan kebijakan/regulasi. Sayang, keberpihakan ini sepertinya belum terlihat dari postur anggaran yang dialokasikan untuk UMKM dalam program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Pemulihan UMKM hanya mendapatkan porsi sebesar 20,3% atau setara Rp123,46 triliun. Angka ini sangat kecil dibandingkan dengan partisipasi dan kontribusi yang dimiliki oleh UMKM terhadap perekonomian nasional. Dan ironinya, besaran stimulus ini relatif tidak berubah dibandingkan dengan sektor korporasi sejak pertama adanya program ini dicetuskan.
Dengan alokasi anggaran yang kecil ini, upaya menyelesaikan permasalahan UMKM–baik yang disebabkan oleh adanya pandemi ini ataupun yang sebelumnya belum terselesaikan–menjadi terbatas, misalnya terkait pendanaan/pembiayaan dan investasi.
Pendanaan ini menjadi persoalan bagi UMKM, khususnya mereka yang ingin mengembangkan usahanya dan memiliki keterbatasan mengakses perbankan. UMKM memiliki kecenderungan bergerak di sektor informal dan kurangnya informasi yang tersedia untuk umum. Aspek inilah yang menciptakan risiko dan information asymmetric yang membuat perbankan kurang tertarik.
Di saat yang bersamaan, pandemi ini semakin membuat UMKM menjadi vulnerable bagi perbankan. Kegagalan mereka dalam mengelola keuangan pada masa krisis ini semakin membuat posisi mereka “tersudutkan”. Pendapatan harian yang menjadi tulang punggung usaha mereka dalam mempertahankan usahanya musnah ketika pembatasan mobilitas ini diterapkan.
Permasalahan antara pembiayaan dan investasi ini tidak dapat dipisahkan. Keduanya melihat aspek risiko dan ketersediaan informasi terkait usaha tersebut dalam setiap mengambil keputusan. Potential return menjadi hal menarik bagi investor dan hal ini ditentukan oleh infrastruktur yang dimiliki oleh usaha tersebut, baik fisik maupun non-fisik seperti kualitas produk, struktur keuangan usaha, adopsi teknologi, dan kualitas sumber daya manusia.
Dengan demikian, keberpihakan untuk dorongan pembiayaan dan investasi ini harus dilakukan dan dimulai oleh pemerintah guna menciptakan sumber pertumbuhan ekonomi baru. Potensi pasar domestik yang besar harus dimanfaatkan dan pemerintah harus mengambil langkah sebagai inisiator.
*Ekonom SigmaPhi Research, Master dari Birmingham University