Channel9.id-Jakarta. Para peneliti di New York University dan Université Grenoble Alpes di Prancis membuktikan bahwa misinformasi di Facebook enam kali lebih digandrungi daripada berita fakta.
The Washington Post melaporkan bahwa sebelumnya, peneliti melihat lebih dari 2.500 penerbit berita di Facebook antara Agustus 2020 dan Januari 2021. Para peneliti mendapati bahwa halaman yang mengunggah konten misinformasi secara teratur mendapat lebih banyak suka, bagikan, dan komentar.
Engagement yang meningkat itu terlihat di seluruh konten politik. Namun, penelitian itu melihat bahwa penerbit berhaluan sayap kanan punya kecenderungan lebih tinggi membagikan informasi yang menyesatkan daripada penerbit dalam kategori politik lainnya.
Salah satu peneliti, Laura Edelson, mengatakan bahwa pihaknya akan membagikan hasil penelitian secara keseluruhan pada November mendatang—sebagai bagian dari Konferensi Pengukuran Internet 2021, dikutip dari The Verge (4/9).
Merespons temuan itu, seorang juru bicara Facebook mengatakan bahwa penelitian itu hanya melihat engagement, dan bukan “jangkauan”—istilah yang digunakan perusahaan untuk menggambarkan berapa banyak orang yang melihat konten di Facebook, terlepas dari apakah mereka berinteraksi dengannya.
Facebook tak menyediakan data jangkauan tersedia bagi para peneliti. Sebagai gantinya, siapa pun yang ingin memahami dan mengukur masalah misinformasi di platform—termasuk para peneliti ini—sering kali beralih ke alat yang disebut CrowdTangle, yang dimiliki oleh Facebook.
CrowdTangle merupakan alat yang digunakan kolumnis teknologi New York Times Kevin Roose untuk membuat daftar unggahan yang punya engagement terbanyak di Facebook. Praktik ini dilaporkan membuat gusar karyawan di perusahaan, karena daftar tersebut secara teratur didominasi oleh halaman sayap kanan yang mengunggah banyak misinformasi.
Sejak Agustus, Facebook memutus akses kelompok peneliti ke data ini—demikian pula akses terkait iklan politik di platform. Facebook mengatakan bahwa memberi peneliti pihak ketiga akses ke data bisa melanggar kesepakatan dengan Komisi Perdagangan Federal (FTC)—yang dibuat setelah skandal Cambridge Analytica.
Guna membantah klaim misinformasi adalah masalah Facebook, perusahaan merilis “laporan transparansi” pada Agustus. Laporan ini menunjukkan unggahan mana saja yang paling banyak dilihat di platform selama kuartal kedua tahun ini, dari April hingga Juni.
Namun, beberapa hari kemudian, The New York Times mengungkapkan bahwa Facebook membatalkan rencana untuk merilis laporan tentang kuartal pertama. Pasalnya, unggahan yang paling banyak dilihat antara Januari dan Maret adalah misinformasi yang mengaitkan vaksin COVID-19 dengan kematian seorang dokter Florida—sebuah unggahan yang digunakan oleh pendukung politik sayap kanan yang ingin mengaburkankan kemanjuran vaksin.
(LH)