Nasional

Moeldoko Tanggapi Isu Pemakzulan Jokowi: Tidak Produktif!

Channel9.id – Jakarta. Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko menanggapi isu pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang disampaikan oleh salah satu kelompok masyarakat. Menurut Moeldoko, isu pemakzulan ini tidak produktif karena hanya mengganggu konsentrasi Jokowi yang sedang fokus menuntaskan sembilan bulan terakhir masa jabatannya.

“Kita lagi fokus pada penyelenggaraan pemilu yang demokratis. Jangan ada agenda-agenda lain yang menurut saya tidak produktif bagi masyarakat dan pemerintah karena Presiden masih sangat concern untuk menyelesaikan tugas-tugasnya,” kata Moeldoko dalam jumpa pers di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (15/1/2024).

Moeldoko mengeklaim saat ini apresiasi masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Jokowi sangat tinggi. Ia melihat sambutan warga saat Jokowi berkunjung ke berbagai daerah masih ramai.

Selain itu, kata Moeldoko, Jokowi juga sedang mengebut berbagai program pemerintah di sisa akhir masa jabatannya. Di saat yang sama, Moeldoko menyebut Jokowi mendukung penyelenggaraan pemilu yang baik.

“Ini kita gas habis-habisan. Kita gas pol istilahnya untuk menuntaskan berbagai program-program pemerintah,” ujar Moeldoko.

“Pemerintah juga sangat concern mengikuti jalannya pemilihan umum yang baik di Indonesia ini,” imbuh Moeldoko.

Sebelumnya, wacana pemakzulan Jokowi muncul setelah 22 tokoh seperti Faizal Assegaf, Marwan Batubara, hingga Letjen Purn. Suharto yang tergabung dalam Petisi 100 bertemu dengan Menko Polhukam Mahfud Md pada pekan lalu. Petisi 100 meminta agar Jokowi dimakzulkan dan menginginkan Pemilu 2024 tanpa Presiden Jokowi.

“Ada 22 orang (yang datang). Mereka menyampaikan, tidak percaya, pemilu ini berjalan curang. Oleh sebab itu nampaknya sudah berjalan kecurangan-kecurangan. Sehingga mereka minta ke Menko Polhukam untuk melakukan tindakan, melalui desk pemilu yang ada,” kata Mahfud di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (9/1/2024).

Sebagai informasi, usulan pemakzulan Presiden telah diatur dalam UUD 1945. Dalam pasal 7A, disebutkan bahwa presiden dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR setelah terbukti melakukan pelanggaran hukum, berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, perbuatan tercela, dan terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  9  =  14