Oleh: Soffa Ihsan
Channel9.id – Jakarta. Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa multi etnik, multikultural, multi aksara dan multi bahasa. Setiap suku bangsa di Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan bahkan ribuan mempunyai kekayaan pemikiran, sikap dan perilaku yang tertuang dalam berbagai wujud kebudayaan. Kemajemukan masyarakat Indonesia ini secara fakta deskriptif dapat diterima, namun secara preskriptif dalam beberapa kasus, kemajemukan tersebut seringkali dianggap sebagai faktor penyulit yang serius, yakni rentan terhadap konflik horizontal sebagaimana pernah berkali-kali terjadi konflik antar kelompok di berbagai daerah di Indonesia. Secara umum, konflik horizontal mendorong banyak pihak untuk semakin cermat memahami konteks relasi antar kelompok di Indonesia.
Multikultural
Relasi yang positif dalam masyarakat Indonesia sangat penting dalam membangun harmoni sosial. Namun kenyataannya, relasi antar kelompok tidaklah selalu terbangun indah mempesona. Berbagai persoalan muncul dalam relasi antar kelompok.
Konsep-konsep kehidupan bernegara, kehidupan berbangsa dan eksistensi nilai-nilai demokrasi serta pengakuan yang belum sepenuh dipahami oleh masyarakat dan bangsa Indonesia melahirkan suatu pola atau pemikiran baru yang dapat memperkokoh dan mempersatukan keragaman tersebut yaitu konsep Multikulturalisme. Multikulturalisme merupakan suatu konsep yang memberikan pemahaman untuk mengakui akan keragaman budaya dan pengakuan eksistensi keragaman budaya.
Baca juga: Kitab Kuning, Tradisi Kritis dan Moderasi
Terdapat kehendak kuat mengganti asumsi beragamnya primordial Indonesia dengan tidak lagi menggunakan denotasi majemuk melainkan multikultural. Dalam multikultural, etnis-etnis yang berbeda setara posisinya dalam proses hidup dan berpolitik di dalam NKRI. Sebaliknya konsepsi masyarakat majemuk menyiratkan bias konsep dominasi salah satu etnis atau ras dalam kehidupan sosial dan politik Indonesia.
Masyarakat multikultural merupakan sebuah masyarakat yang didalamnya memiliki perbedaan budaya, namun tetap memiliki kesederajatan dalam memperoleh perlakuan. Seperti halnya pada masyarakat umum, dalam masyarakat multikultural juga terdapat berbagai unsur, diantaranya yaitu kelompok sosial. Kelompok sosial ialah gabungan dari individu yang memiliki tujuan serta kepentingan yang sama Menurut Clifford Gertz, masyarakat multikultural adalah merupakan masyarakat yang terbagi dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri dan masing-masing sub sistem terkait oleh ikatan-ikatan primordial.
Wacana tentang multikultural memang dibidikkan sebagai ikhtiar merespon fenomena konflik yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat yang berwajah multicultural. Wajah multikultur di negeri ini hingga kini bisa diibaratkan bagai api dalam sekam, yang suatu saat bisa muncul akibat poliitik, agama, sisio-budaya yang memanas.
Disinilah perlunya desentralisasi kebudayaan yang tidak hanya akan membiarkan sentra-sentra kebudayaan yang tersebar luas di kepulauan nusantara tumbuh subur, namun juga akan menumbuhkan kreatifitas bangsa. Hal ini pada gilirannya akan menciptakan ketahanan budaya dari gempuran globalisasi. Nilai-nilai budaya yang ada harus dilihat sebagai bagian dari masa depan, dikembangkan secara kreatif dan dalam suatu proses perubahan eksistensial. Jika tidak demikian, maka sentra dan kantung-kantung kebudayaan itu akan menjadi lembaga yang defensif dan konservatif.
Multiradikal
Terkait dengan kemajemukan bangsa dengan multikulturalnya, yang dipandang selama ini sebagai kekayaan bangsa Indonesia ada fenomena lain yang boleh disebut multiradikal. Artinya, dikalangan masyarakat Indonesia sedari dulu seperti dalam tradisi suku-suku atau etnis ternyata memperlihatkan ‘tradisi dan mitos kekerasan’ yang kerapkali menimbulkan gesekan dan konflik antar suku. Sementara disisi lain, kearifan lokal yang menyimpan hikmah perdamaian dan toleransi juga tersimpan dalam tradisi kesukuan. Disinilah pentingnya ‘dua segmen’ tersebut yang tampak paradoks dan berpunggungan untuk melihat sejauh mana bangsa ini dekat atau jauh dari kekerasan sekaligus merumuskan sikap dan tindakan yang tepat terhadap tumbuhnya radikalisme di Indonesia.
Ada hipotesis bahwa kemajemukan Indonesia dengan tradisi dan kearifan lokalnya baik tradisi kekerasan dan toleransi sesungguhnya bisa menjadi modal sosial dan budaya dalam menyikapi terhadap radikalisme secara tepat dibawah panji dan cita membangun demokrasi yang berpuncak pada rekonsiliasi
Tampak bahwa budaya sebagai mekanisme awal kemanusiaan yang adaptif dapat diterapkan untuk memahami aspek unik kejadian-kejadian perilaku. Mengutip Koentjaraningrat, budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh sebuah kelompok dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan dan karya seni.
Budaya lokal sendiri adalah pandangan hidup atau asumsi-asumsi dasar dan keyakinan-keyakinan yang diakui bersama oleh suatu kelompok masyarakat dalam suatu daerah yang mencakup cara berfikir, berperilaku, bersikap hidup dan cara hidup, nilai-nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak untuk melakukan penyesuaian.
Sementara, kearifan lokal menjadi pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-cerita, legenda-legenda, mitos, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat.
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal.
Hal itu dapat dilihat dari ekspresi kearifan lokal dalam kehidupan setiap hari karena telah terinternalisasi dengan sangat baik. Tiap bagian dari kehidupan masyarakat lokal diarahkan secara arif berdasarkan sistem pengetahuan mereka, dimana tidak hanya bermanfaat dalam aktifitas keseharian dan interaksi dengan sesama saja, tetapi juga dalam situasi-situasi yang tidak terduga seperti bencana yang datang tiba-tiba.
Bagaimana interkoneksitas kearifan lokal dengan upaya peredaman radikalisme? Umum diyakini bahwa nilai-nilai budaya dan kearifan lokal di sebagian besar daerah di Indonesia merupakan salah satu strategi untuk mencegah dan menangkal terorisme. Namun kearifan lokal di bangsa Indonesia ini tidak saja diarahkan untuk penangkalan terhadap radikalisme, melainkan juga untuk membangun cara pandang, sikap dan tindakan yang senantiasa didasari oleh obyektivitas dan proporsionalitas. Masalahnya memang bangsa Indonesia belum maksimal memecahkan masalah sosial dan kuktural sehingga kearifan lokal belum mendapat perhatian dengan baik. Disini, perlu ‘pembongkaran’ terhadap kearifan lokal yang terpendam ini terkait upaya menangkal radikalisme.
Konflik dan Endapan Budaya
Tidak ada masyarakat yang bisa terhindar dari konflik, setidaknya yang disebut konflik nir-wujud atau unreal conflict. Berbeda dengan konflik realistik yang betul-betul menjadi fakta empirik sehingga dapat dilihat secara kasat mata, sedangkan unreal conflict merupakan kesalahpahaman terhadap kelompok lain yang terdapat dalam pemikiran manusia. Tetapi jika ada pemicunya, konflik tersebut akan menjadi konflik realistik.
Selama kekuasaan Orde Baru, betapa dominannya peran negara sebagai pelaku utama di dalam menentukan hubungan-hubungan sosial-politik, untuk tidak mengatakan pemegang tunggal penafsir realitas, yang pada gilirannya sangat berpengaruh terhadap peran agama, khususnya Islam dalam mendorong suatu proses pemberdayaan civil society vis a vis dengan monopoli kekuasaan oleh negara. Asumsi yang ditekankan di sini adalah bahwa agama, baik sebagai sistem makna maupun tindakan, tidak dapat dipahami hanya sebagai suatu epifenomena dari hubungan-hubungan produksi sebagaimana terungkap dalam kategori Marxis-ortodoks, atau sebagai sistem makna prarasional dalam pemikiran Weberian. Lebih dari itu, agama adalah seperangkat struktur makna khusus yang memiliki kemampuan menjelaskan dan mengkonstruksi kenyataan sosial di dalam waktu dan tempat yang berbeda. Ia juga merupakan suatu sistem pengetahuan yang mampu menjadi suatu “kontra-diskursus” atau “kontra-hegemoni” terhadap ideologi dan tindakan-tindakan dominan yang ada. Kendati demikian, sikap hati-hati harus diambil agar kita tidak menaksir terlalu tinggi terhadap peranan agama. Agama, sebagaimana sistem makna dan tindakan lainnya, juga merupakan wilayah yang cenderung dipergunakan, baik oleh negara mau pun civil society, serta berbagai kelas yang berada di dalamnya, untuk memelihara dan mencapai kepentingan-kepentingan mereka. Karena itu, agama tidak dapat dilihat sebagai sistem makna yang statis, tetapi selalu harus dilihat dalam keadaan yang terus berubah, dan mampu mengartikulasikan berbagai kepentingan.
Dalam perspektif kebudayaan, kiranya dapat dipahami bahwa konflik yang sering muncul dan mencuat dalam berbagai kejadian yang memprihatinkan dewasa ini bukanlah konflik yang muncul begitu saja. Akan tetapi, merupakan akumulasi dari ketimpangan–ketimpangan dalam menempatkan hak dan kewajiban yang cenderung tidak terpenuhi dengan baik. Konflik merupakan gesekan yang terjadi antara dua kubu atau lebih yang disebabkan adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, kelangkaan sumber daya, serta distribusi yang tidak merata, yang dapat menimbulkan deprivasi relative di masyarakat. Konflik dan kehidupan manusia tidak mungkin untuk dapat dipisahkan dan keduanya berada bersama-sama karena perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumber daya itu memang pasti ada dalam masyarakat.
Konflik perlu dimaknai sebagai suatu jalan atau sarana menuju perubahan masyarakat. Keterbukaan dan keseriusan dalam mengurai akar permasalahan konflik dan komunikasi yang baik dan terbuka antarpihak yang berkepentingan merupakan cara penanganan konflik yang perlu dikedepankan. Adanya data dan informasi yang jujur dan dapat dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan merupakan syarat bagi terjalinnya komunikasi di atas. Keragaman budaya yang ada bisa juga berarti keragaman nilai-nilai. Keragaman nilai bangsa kita seharusnya dipandang sebagai modal bangsa, bukan sebagai sumber konflik. Interaksi lintas budaya yang apresiatif dan komunikatif dapat melahirkan proses sintesa–sintesa budaya. Budaya yang universal yang lebih dapat menaungi komunitas yang lebih besar, ataupun berkembanganya suatu sistem nilai (budaya) tertentu sebagai akibat “sentuhan–sentuhan” dengan sistem nilai (budaya) tertentu, adalah sesuatu yang kita harapkan.
Bagaimana faktor kebudayaan berpengaruh terhadap konflik dan radikalisme dalam kehidupan masyarakat? Dalam kebudayaan terdapat nilai, norma, simbol, rasionalisasi, dan ideologi, yang berpengaruh dalam tindakan manusia. Semua unsur kebudayaan ini tidak diperoleh manusia secara genetik, atau transmisi secara biologis, tetapi melalui proses belajar. Sebagaimana halnya mekanisme biologis pada makhluk hidup yang digerakkan oleh kebutuhan, manusia juga demikian. Salah satu proses penting untuk mempelajari berbagai unsur budaya tersebut adalah melalui sosialisasi, yakni proses dalam mana individu mempelajari budaya masyarakatnya. Melalui sosialisasi, individu bertindak sebagaimana yang dilakukan masyarakatnya. Proses semacam ini merupakan hal yang alami terjadi. Proses inilah yang disebut dengan identifikasi. Banyak aspek dalam kehidupan sosial yang menjadi bagian penting dalam proses identifikasi.
Nah, keragaman bisa membawa dampak dan kosekuensi sosial yang beragam pula. Dan kini, bangsa Indonesia tengah diuji berkelindannya antara konflik dan toleransi yang saling tarik tambang.
Penulis adalah Direktur Lembaga Daulat Bangsa (LDB) dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)