Channel9.id – Jakarta. Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail menyatakan, rasa galau yang melanda Pekerja Migran Indonesia (PMI) sektor informal, jadi celah yang dimanfaatkan kelompok ekstremis kanan menyebarkan radikalisme.
Saat PMI galau, ia menuliskan keluh kesahnya di media sosial. Celah itu yang dimanfaatkan kelompok ekstrimis kanan untuk menarik mereka menjadi anggota. Terlebih, media sosial sudah menjadi sarana kelompok ekstremis kanan untuk menyebarkan ajaran-ajaran radikalnya.
“Masalah dengan cinta, seperti suaminya selingkuh, cerai. Mereka mengalami kesunyian diri. Kemudian mereka tebar pesona di media sosial. Kemudian ada anggota kelompok teroris yang menanggapi dan merayu mereka,” kata Huda dalam diskusi ‘Upaya Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Sektor Informal dari Kemungkinan Terpapar Radikalisme’ yang diadakan ISNU DKI Jakarta, Sabtu (6/6).
Pemanfaat media sosial, tak terlepas dari perubahan strategi kelompok ekstremis kanan. Dahulu, mereka memanfaatkan organisasi-organisasi untuk menarik anggota dengan pendekatan kolektif action. Namun, media sosial kini dimanfaatkan untuk menarik banyak anggota dengan pendekatan koneksi action.
“Dari pendekatan itu, ada kesamaan ide di antara mereka. Hal ini membuat mereka merasa satu identitas,” kata Huda.
Oleh karena itu, banyak PMI yang dijebak dengan propaganda kelompok ekstremis kanan di media sosial. Bahkan, di sejumlah kasus, banyak PMI perempuan menikah dengan salah satu anggota kelompok ekstremis kanan yang sebelumnya bertemu di media sosial.
“Teman-teman, bisa menonton film buatan kami berjudul Pengantin. Film itu menjelaskan proses PMI perempuan yang melakukan aksi terorisme setelah menikah dengan anggota kelompok ekstremis kanan yang bertemu di media sosial,” kata Huda.
Film Pengantin menceritakan dua teroris perempuan yang sebelumnya bekerja sebagai PMI di luar negeri. Masing-masing perempuan tersebut melakukan aksi terorisme di Indonesia usai menikah dengan anggota kelompok ekstremis kanan. Masing-masing perempuan itu terpapar radikalisme dari suaminya itu. Film ini juga ingin menunjukan penyebab perempuan melakukan aksi terorisme yang biasanya dilakukan oleh laki-laki.
Ketika masih bekerja sebagai PMI, masing-masing dari mereka bertemu dengan anggota kelompok ekstremis kanan di media sosial. Kemudian, masing-masing perempuan itu diajak menikah oleh anggota kelompok tersebut. Masing-masing pasangan tersebut menikah melalui media sosial tanpa bertemu secara langsung.
(HY)